Seluruh segi kehidupan para nabi adalah didasarkan pada wahyu. Mereka semua maksum, tulus dan sungguh-sungguh dalam memimpin tiada banding ketegaran, keuletan, kesabaran dan ketabahannya, dan berbuat untuk kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan bagi alam semesta ini. Kita telah tahu bahwa wahyu mewujudkan suatu revolusi yang jelas dan kuat dampak positif dan produktifnya dalam kehidupan para nabi.
Sekarang mari kita lihat bagaimana peran wahyu dalam kehidupan kita. Wahyu tidak otomatis berperan langsung dalam kehidupan kita, kecuali kalau kita mengakui kebenaran para nabi, mengetahui dan menyadari sumber luar biasa ilmu dan iman ini. Kalau kita tidak beriman kepada nabi, maka satu-satunya sumber pengetahuan kita adalah pengalaman kita sendiri, pikiran dan pemahaman kita sendiri.
Namun kalau kita sudah mengakui kebenaran nabi dan yakin betul bahwa nabi memiliki kontak langsung dengan, atau memiliki jalan untuk menjangkau, sumber baru pengetahuan, dan juga percaya sekali bahwa ajaran yang disebut-sebutnya diterima melalui kontak langsungnya dengan sumber eksistensi, bukan pikiran, pemikiran, atau pandangan pribadinya, dan juga bukan produk pengalaman pribadinya, melainkan jelas-jelas merupakan risalah dari Sang Pencipta, maka otomatis wahyu akan mendasar atau sangat penting perannya dalam kehidupan kita. Lewat nabi, kita dapat menjangkau sumber baru pengetahuan tentang awal akhir dunia ini dan jalan untuk bisa hidup lurus atau berakhlak mulia.
Baca: Kiat Mengembangkan Kekuatan Akal
Bila orang tidak mengimani atau mempercayai nabi, maka satu-satunya sumber pengetahuannya adalah pikiran dan pengalamannya sendiri. Namun orang yang mengimani dan meneladani nabi, maka sumber pengetahuannya ada dua; pikiran dan pengalamannya sendiri, serta wahyu.
Pengetahuan, akal, dan wahyu ini saling berhubungan. Karena pengetahuan, akal dan wahyu memiliki tujuan yang sama, yaitu mengungkapkan kebenaran dan manfaat atau aplikasi kebenaran dalam kehidupan manusia. Namun untuk keandalannya, pengetahuan, akal, dan wahyu tidak sama kelasnya. Wahyu seratus persen andal (dapat dipercaya untuk memberikan apa yang kita butuhkan atau harapkan) dan benarbenar jelas makna atau maksudnya sehingga tidak mungkin disalahpahami. Wahyu bebas dari kekeliruan atau kesalahan.
Namun keandalan pengetahuan dan akal tidak seratus persen. Karena pengetahuan dan akal ada kemungkinan untuk salah. Kalau kita melakukan kajian perbandingan tentang fakta-fakta yang diungkap melalui pengetahuan dan akal, serta tentang fakta-fakta yang diungkap melalui wahyu, kita akan melihat bahwa sedikit pun tak ada bedanya. Kalaupun tampak ada perbedaan, maka penjelasannya adalah karena fakta tersebut tidak didasarkan pada wahyu yang sejati, atau karena konklusi pengetahuan dan akal merupakan estimasi belaka, dan sekalipun fakta tersebut berbentuk hukum yang selaras dengan ilmu pengetahuan atau prinsip-prinsipnya dan cukup memiliki nilai manfaat, namun arti pentingnya hanyalah relatif.
Itulah sebabnya kenapa Alquran, wahyu sejati Allah, tak hentihentinya mendorong manusia untuk berpikir, merenung dan melakukan pengkajian. Alquran menuntut kita semua untuk menggunakan seluruh kemampuan pikir dan jiwa kita dan untuk mencoba mengkaji dan mengkaji.
Baca: Kemutlakan Wahyu dan Kenisbian Persepsi
Pada saat yang sama kita mendeteksi bahwa ilmu praktis yang tidak berprasangka, dan argumen (penggunaan pemikiran yang logis) yang didasarkan pada fakta-fakta yang ada, bukan saja selaras dengan Alquran dan sistemnya, namun juga memperkuat kebutuhan manusia untuk mencintai dan menaati Allah, para nabi dan sistem yang didukung mereka. Mereka menuntut manusia untuk bekerja sungguh-sungguh untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas dirinya dan lingkungan sekitarnya, dan untuk mencapai tujuan ini manusia didorong untuk memanfaatkan sumbersumber pengetahuan yang ada.
*Disarikan dari buku Inti Sari Islam – Prof. Dr. Muhammad Husaini Bahesyti