Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)

Islam diyakini sebagai agama samawi yang terakhir, paling sempurna, untuk seluruh umat manusia. Kedatangannya menggugurkan semua agama sebelumnya dan ajaran selainnya. Artinya, manusia mau tidak mau harus menerima agama Islam dan tidak boleh menolaknya. Namun demikian, selain keharusan ini, setiap manusia memiliki ikhtiar dan pada saat yang sama Islam mengatakan, “Tak ada paksaan di dalam agama. Dengan kata lain, ia harus menerima Islam dengan kesadarannya.” Salah satu kewajiban dalam Islam yang harus dilakukan pada kondisi tertentu ialah jihad.

Jihad merupakan usaha dalam memajukan Islam dan menghadapi para penentang ajarannya. Ia tak lepas dari cara-cara khusus yang dilakukan oleh Nabi saw dan para washinya yang suci, dan berlaku pada masa kehadiran mereka. Sedangkan untuk masa kini dalam kegaiban seorang dari mereka, pada asalnya, jihad menjadi tidak wajib. Namun demikian, ada kewajiban lain untuk melawan musuh-musuh Islam, yang disebut dengan difa’i.

Yang dimaksud jihad difa’i ialah pertahanan dan pembelaan diri, dan ini merupakan hak muslimin di mana pun mereka berada dan kapan pun. Demi menjaga jiwa dan agama, mereka harus melakukan perlawanan terhadap musuh-musuh yang membahayakan agama Islam. (Baca: Akhlak Mulia – 1)

Makna Jihad

hizbuJihad bisa diartikan sebagai usaha dan perlawanan untuk dakwah dan penyebaran Islam, atau sebagai pertahanan terhadap musuh yang melampaui batas. Hukumnya wajib, dan kewajiban ini merupakan perkara yang jelas di dalam Islam (min dharuriyatiddin). Ia terbagi dua macam: jihad ibtida`i (memulai penyerangan) dan jihad difa’i (pertahanan atau pembelaan).

Jihad ibtida`i dilakukan untuk meminimalkan faktor-faktor penghalang dakwah. Para pejuang Islam melakukannya tanpa ada penyerangan dari pihak musuh. Jihad ini juga bertujuan untuk menyingkirkan faktor-faktor yang menghalangi suatu wilayah dari ajaran Islam; menyebarkan Islam; meninggikan kalimah kebenaran, menegakkan syiar keagamaan; memberi petunjuk kepada kaum kafir; dan memberantas kesyirikan serta keberhalaan.

Jadi, tujuan sebenarnya dari jihad ibtida`i bukanlah penaklukan negara, apalagi menjajah. Akan tetapi, ia merupakan wujud pembelaan hak-hak asasi yang diabaikan oleh kekuatan kufur dan syirik. Jihad ini bentuk perlawanan terhadap penguasa yang menindas penghambaan kepada Tuhan, dan bentuk perjuangan demi ketauhidan serta keadilan. (Baca: Tauhid Rububiyah)

Berikutnya, jihad difa’i bertujuan membela dan mencegah kezaliman musuh, ketika musuh menyerang wilayah-wilayah muslimin, dan berkepentingan menguasai berbagai aspek: politik, militer, budaya, ekonomi dan sebagainya.

Tujuan Difa’

Secara ringkas, tujuan Difa’ ialah: pertama, untuk mempertahankan agama dan negara Islam. Adalah wajib bagi muslimin melakukan pertahanan terhadap berbagai serangan musuh dan menggagalkan rencana buruknya. Musuh yang dimaksud adalah yang menyerang dan ingin menguasai, serta berkepentingan dalam aspek-aspek ekonomi, militer, dan politik negara Islam. Kedua, untuk mempertahankan jiwa dan hak-hak individual, lantaran;

1-jiwa dan harta muslimin adalah sebuah kehormatan yang harus dijaga. Jika seseorang melakukan penyerangan terhadap orang yang tak bersalah, mukallaf wajib melakukan pertahanan dan perlawanan terhadapnya,sekalipun kemudian si pelaku sampai terbunuh. (Baca: Bagaimana AlQuran Menjelaskan Ciri-ciri Seorang Ibu? – 1)

2-Jika ada orang menyerang untuk mencuri harta, si pemilik harus melakukan difa’ dan perlawanan terhadapnya.

3-Jika seseorang mendatangi rumah orang lain untuk mengintip yang bukan muhrim di dalamnya, ia harus dicegah sekalipun dengan pukulan.

Fatwa Jihad

Beberapa soal tentang jihad disampaikan dalam buku “Fatwa-fatwa” antara lain:

1-Apa hukum jihad ibtida’i (memulai menyerang) pada zaman ghaibah Imam Maksum a.s.? Bolehkah seorang faqih yang memenuhi syarat dan kuasa (wali amril muslimin) memutuskannya?

Ayatullah Uzhma Sayed Ali Khamene`i menjawab: Tak jauh kemungkinan bolehnya bila maslahat menuntut demikian. Lebih dari itu, pandangan inilah yang lebih kuat. (Baca: Ayatullah Khamenei: Isu Paling Penting di Dunia Islam adalah Persatuan)

2-Apa hukum melakukan difa’ (pertahanan dan pembelaan) untuk Islam yang dalam terancam bahaya, tanpa direstui keduaorang tua?

Beliau menjawab: membela Islam adalah wajib tanpa bergantung pada izin kedua orangtua. Walau demikian, sepatutnya kita berusaha sebisa mungkin untuk mendapatkan restu mereka.

3-Apakah Ahlul kitab yang hidup di negara-negara Islam diperlakukan secara hukum sebagai ahlu adzdzimmah?

Beliau menjawab: secara hukum mereka diperlakukan sebagai mu’ahid (yang mengikat perjanjian damai) selama tunduk pada undang-undang dan ketentuan negara Islam yang menaungi mereka, dan selama mereka tidak berbuat sesuatu yang menyalahi (perjanjian) keamanan.

4-Bolehkah seorang muslim memiliki orang kafir dari ahli-kitab atau non ahli-kitab, laki ataupun perempuan, di negara-negara orang kafir atau muslim? (Baca: Fatwa Seputar Kafir)

Beliau menjawab: hal itu tidak diperbolehkan. Nasib tawanan perang dari kalangan orang kafir yang menyerang negara Islam berada di bawah wewenang penguasa Islam. Umat muslim sebagai pribadi tidak mempunyai wewenang semacam itu.

5-Seandainya, demi memelihara Islam sejati yang dibawa Nabi Muhammad saw hanya dapat dilakukan dengan mengalirkan darah seorang yang muhtaraman-nafs (yang jiwanya terhormat), apakah hal itu diperbolehkan?

Beliau menjawab: mengalirkan darahnya tanpa hak syar’i adalah haram berdasarkan syariat dan bertentangan dengan hukum-hukum Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. karena itu, tidak benar bahwa memelihara Islam Muhammadi hanya bisa dilakukan dengan cara membunuh seorang yang bersalah (bari’). (Baca: Perpecahan di Tengah Umat Islam; Sebuah Telaah)

Sebaliknya, apabila yang dimaksud adalah jihad yang dilakukan mukallaf (orang yang dikenai kewajiban) di jalan Allah swt demi mempertahankan Islam yang sejati, kemudian terjadi situasi yang diduga berakibat ia terbunuh, konteksnya jadi berbeda. Apabila keberadaan Islam terlihat (baidhatul islam) berada dalam bahaya, mukallaf wajib bangkit untuk mempertahankan Islam, meskipun ada kekhawatiran akan terbunuh.

Dengan demikian, jelas bagi kita apa arti jihad dan bagaimana macam-macamnya. Tatkala kaum muslimin dihadapkan pada kondisi yang menuntut mereka untuk berjihad, mereka akan melakukannya dengan pemahaman yang benar dan berdasarkan syariat Islam. Tidak gegabah atau bahkan liar dalam mempraktikkannya sebagaiman yang marak dilakukan sebagian kelompok muslim khususnya di Timteng. Sebagaimana diketahui, kelompok muslim itu dengan pekikan takbir memerangi dan membunuh kaum muslimin lainnya yang taksepaham atas nama jihad. [Ustaz Ilyas]

Baca: “Tafsir Surah Al Insyiqaq 6 – 15: Berjuang adalah Sifat Dasar Kehidupan di Dunia

 

No comments

LEAVE A COMMENT