Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Ibuku Seorang Nasrani, Ya Imam!

Salah seorang ahli hadis Syiah dan sahabat Imam Ja’far Shadiq a.s. bernama Zakaria bin Ibrahim. Suatu hari ia bercerita tentang dirinya demikian:

“Dahulu aku seorang Nasrani, lalu masuk agama Islam. Seluruh rukun Islam, termasuk haji aku laksanakan. Dalam perjalanan haji, aku berkesempatan bertemu dengan Imam Ja’far Shadiq a.s. dan menceritakan bahwa dahulu aku seorang Nasrani dan telah masuk Islam.

Imam Ja’far Shadiq a.s. bertanya, “Keistimewaan apakah yang engkau lihat dari Islam sehingga engkau menerimanya (sebagai agamamu)?”

Aku jawab, “Ayat Alquran berikut ini yang telah menarik perhatianku dan dari situlah aku memperoleh hidayat:

مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَٰكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ

Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Alkitab (Alquran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Alquran itu cahaya yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki.”” (QS. Asy-Syura [42]: 52)

Baca: “Fenomena Gagal Paham tentang Islam (1)

Imam Ja’far Shadiq a.s. berkata, “Allah swt telah menunjukkanmu kepada Islam dan menerangi hatimu dengan cahaya Islam.”

Kemudian Imam Shadiq a.s. mendoakanku dan memohon kepada Allah swt. supaya memberikan petunjuk-Nya lebih besar lagi.

Aku katakan kepada Imam Shadiq a.s., “Wahai Imam! Ayah, ibu dan familiku masih memeluk agama Kristen. Adapun ibuku adalah seorang yang buta. Apakah aku masih boleh hidup bersama mereka dan tetap menjalin hubungan?”

“Apakah mereka makan babi?” tanya Imam Shadiq a.s.

“Tidak,” jawabku.

Imam Shadiq a.s. berkata, “Tidak ada halangan bagimu untuk bergaul dengan mereka.”

Beliau a.s. menambahkan, “Terkait ibumu, perhatikanlah ia dan berbuat baiklah kepadanya. Saat ia tutup usia, engkau sendiri yang harus mengurus pengafanan dan pemakamannya.”

Ketika aku kembali dari perjalanan haji dan sampai di kota Kufah, aku memperlakukan ibuku dengan baik dan penuh kasih sayang sesuai dengan pesan Imam Shadiq a.s. Aku sendiri yang memberikan makan kepadanya, merapikan pakaiannya, menyisir rambutnya dan melayani seluruh kebutuhannya.

Baca: “Keluarga dalam Perspektif Ajaran Islam

Saat ibuku merasakan perbedaan dalam diri dan perilakuku, ia berkata, “Dahulu ketika engkau masih memeluk agama kami, engkau tidak memperlakukanku sebaik ini. Sejak masuk Islam, engkau sangat menyayangiku. Apakah alasannya?”

“Salah seorang putera keturunan Nabi Muhammad saw. memerintahkan supaya aku berperilaku baik seperti ini,” sahutku.

Ibuku bertanya, “Apakah ia nabi kalian?”

Aku menjawab, “Tidak, karena setelah Nabi Muhammad saw. tidak ada nabi lagi yang diutus. Ia adalah putera keturunan Nabi kita.”

Ibuku melanjutkan, “Perintah-perintah seperti ini adalah ajaran para nabi. Agamamu lebih baik dari agamaku. Tolong, bimbinglah aku untuk masuk agama Islam.”

Baca: “Makna Islam

Aku ajarkan tata cara memeluk agama Islam kepada ibuku dan ia pun masuk Islam. Setelah itu, ia melaksanakan salat zuhur, asar, maghrib dan isya. Saat pertengahan malam, ia mengeluh sakit. Aku merawatnya dan selalu berada di sampingnya.

Ibuku berkata kepadaku, “Puteraku! Sebutkan kembali keyakinan-keyakinan Islam untukku.”

Aku pun menyebutkannya satu demi satu. Ia berikrar dengan seluruh keyakinan yang aku sebutkan. Malam itu, ia memejamkan mata untuk selamanya dengan tenang.

Pagi harinya, jenazahnya diurus oleh sekelompok kaum muslim dengan tata cara Islam. Lalu aku menyalati dan memakamkannya.”[*]

Sumber: Ushul Kafi, Bab Berbakti Kepada Kedua Orang Tua

Baca: “Doa Imam Zainal Abidin Untuk Kedua Orang Tuanya


No comments

LEAVE A COMMENT