Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Imam Husain Melawan Jahiliah Model Baru

Saat Imam Husain a.s. bangkit basis utama kekuatan revolusi telah lenyap. Para sahabat yang melancarkan gerakan perlawanan telah disingkirkan dan dibungkam. Mereka yang masih tetap setia terhadap pesan revolusi Rasul Saw memilih untuk tidak menyerah dan berkata “tidak” dihadapan kezaliman jahiliah pun telah dimandulkan kekuatannya dan ditekan sedemikian rupa hingga akhirnya mengucilkan diri dari keramaian. Mereka tergelincir ke balik jubah kesalehan seraya tetap bungkam.

Saat itulah mulai tumbuh semangat untuk memperhitungkan untung rugi perjuangan menegakkan kebenaran. Orang-orang mulai menimbang-nimbang resiko yang terkandung dalam perjuangan berdimensi sosial-politik. Mereka mulai mencari dalih dan rasionalisasi atas tanggung jawab untuk memerdekakan rakyat dan membebaskan mereka dari penindasan dengan semangat kesalehan gaya baru. Di balik kedok kehormatan itu pula, semangat egosentrisme dan individualisme mulai tumbuh berkembang.

Sekelompok tokoh terkemuka lainnya rela ikut bergelimang dalam kemewahan Istana Hijau Muawiyah seraya mengenyam uang rakyat tanpa rasa malu. Sementara itu, generasi kedua revolusi, seperti Hujr bin Adi yang berapi-api mengobarkan perlawanan dan perjuangan melawan Bani Umayyah telah dipatahkan dan dieksekusi. Saat itu semangat revolusi syahadah telah diganti Bani Umayyah dengan semangat kekuasaan. Mereka tak segan-segan menggunakan berbagai kemungkinan yang ada, baik permainan uang, kedudukan, penipuan dan kelicikan, maupun pedang dan kesewenang-wenangan, demi membuat semua orang bungkam dan tunduk di bawah kaki mereka.

Baca: Kesyahidan Al-Husain a.s.: Pilihan yang Benar dan Terbaik

Mekanisme neomistifikasi (tasawuf gaya baru) beroperasi secara bersama-sama dengan ancaman, uang, dan tipu daya; sementara kebebasan yang korup hadir bersamaan dengan tekanan terhadap cita-cita, keimanan, dan rasa tanggung jawab, kita bisa menyebutnya dengan “kebebasan menindas” dan “menindas kebebasan”.  Dengan cara inilah, rezim tiran tersebut menjadikan urat moral masyarakat membusuk. Mereka membombardir dan memusnahkan keimanan sejati, revolusi warisan Nabi Saw, basis-basis gerakan dan Islam itu sendiri. Mereka telah melumpuhkan jiwa dan pikiran umat Islam, serta dengan cara licik menariknya ke arah kebungkaman.

Rezim neo-jahiliah tahu betul bahwa bahaya revolusi tidak akan padam dengan menghancurkan rumah Rasulullah Saw, membunuh Imam Ali, menaklukkan tentara Imam Hasan, atau secara diam-diam dan tanpa perikemanusiaan membunuh Imam Hasan itu sendiri. Mereka tahu bahwa mereka takkan menuai hasil apa pun dengan menumbangkan setiap basis perlawanan atau sejumlah kecil pasukan pembangkang yang tersebar di seluruh Kufah, melakukan pembantaian keji terhadap para figur revolusioner penuh semangat semacam Hujr, atau mengasingkan, membunuh, dan memfitnah orang-orang miskin, serta merampas hak-hak mereka sebagaimana yang dialami Abu Dzar yang telah berjuang dengan semangat keimanan begitu agung.

Ini artinya, sensitivitas kesadaran yang lembut, keimanan yang tajam dan kukuh terhadap kebenaran, pemahaman yang mendalam terhadap semangat Islam, pengetahuan yang benar tentang jalan yang lurus, makna sejati dari misi Nabi Saw, tidak akan pernah mampu ditindas oleh kekuatan brutal, agresi, tekanan, dan pelecehan keadilan, sebagaimana gencar dilakukan Bani Umayyah. Bahkan, menangkap dan membantai jiwa yang berani, seperti sahabat Abdullah bin Mas’ud yang berdiri memprotes ketidakadilan. Pemberangusan ini tidaklah berguna, meskipun  dibarengi dengan rezim yang meningkatkan setiap barikade untuk melawan keadilan dan memberantas setiap potensi perlawanan.

Baca: Beberapa Nasihat Imam Husain A.S.

Bani Umayyah berusaha meraih kembali kejayaannya di masa jahiliah, sebelum kehadiran revolusi tauhid hadir menenggelamkannya di masa lalu. Mereka memanfaatkan momentum yang diperoleh Muawiyah, berpijak atas keberhasilan pengembangan pengaruh Islam untuk kemudian membentuk hegemoni total Kerajaan Umayyah di seluruh wilayah Islam, mulai dari Suriah hingga ke Khurasan.

Para politikus Bani Umayyah yang licik tahu dan sungguh-sungguh menyadari akan potensi serta suasana zaman itu. Masyarakat yang terbentuk saat itu hanya terpaut satu generasi dari saat lahirnya revolusi intelektual, sosial, politik, dan spiritual yang besar, yakni kehadiran Islam dan Nabi Muhammad Saw. Dari sisi lain, itu berarti pula bahwa rezim Umayyah terpisah hanya satu generasi dari zaman jahiliah; masa di mana politeisme masih dipuja habis-habisan dan semangat ateis, musyrik, serta kapitalistik mampu membuahkan perdagangan manusia sebagai budak. Zaman yang ditentang oleh Muhammad Saw dalam perjuangan hidup-mati di Badar, Uhud, dan Khandaq.

Meskipun saat itu mereka telah berhasil menduduki kursi kekhalifahan, mereka sadar betul bahwa dalam tubuh masyarakat, di bawah debu hitam kekalahan para pengikut setia revolusi besar itu, terpendam bara panas yang sewaktu-waktu dapat meledak. Pasukan revolusi itu boleh ditaklukkan, tetapi Islam masih tetap tegar berdiri. Para pengikut agama sejati itu telah bubar, tetapi agama itu tetap hidup. Para pemimpin keadilan, para pendukung kebenaran, senjata serta perisai kebebasan dan kemanusiaan, semuanya telah dilucuti. Benteng-benteng kemerdekaan telah diporak-porandakan dan benih perlawanan pun telah dihancurleburkan.

Akan tetapi, bagaimana dengan cita rasa kebebasan serta cinta kasih terhadap kemanusiaan sebagai benih perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran yang telah diletakkan landasannya oleh revolusi itu? Imam Ali dibunuh saat menunaikan salat, tetapi bagaimana dengan semangatnya? Abu Dzar dibuang dan kemudian wafat di pengasingannya di Rabadzah, tetapi bagaimana dengan seruannya yang mengobarkan semangat itu? Hujr dihukum mati di Suriah, tetapi bagaimana dengan  semangat perlawanannya?

Baca: Doa Imam Ja’far a.s. untuk Peziarah al-Husain a.s.

Sumber mara bahaya yang akan membarakan semangat pemberontakan terhadap kekuasaan bukannya berasal dari Madinah, di mana rakyat telah dibungkam dan dibantai; bukan di Ka’bah, di mana orang-orang telah ditaklukkan; bukan di Kufah yang dikuasai kudeta dan kemunafikan; bukan di Masjid Nabawi, di mana rakyat diinjak-injak ladam kuda dan tubuh mereka dicabik para penunggangnya; bukan di rumah Rasulullah Saw yang telah hancur; bukan di gubuk Fathimah a.s. yang telah hangus menjadi debu; bukan pula dari huruf-huruf di atas mushaf Alquran yang telah  mereka rajah dan permalukan di ujung tombak. Sumber mara bahaya bagi rezim tiran tidak lain terpatri dalam kalbu dan pikiran. Di situlah terletak misi revolusi yang mulia, dipindahkan, dan diendapkan dari kitab suci Alquran.

*Dikutip dari buku Doa, Tangisan, dan Perlawanan karya Dr. Ali Syariati


No comments

LEAVE A COMMENT