Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Iman tak Bisa Dipaksakan

Kebebasan adalah perkara yang diinginkan oleh semua orang. Namun demikian, sebebas-bebasnya orang tetaplah akan mentok di batasan tertentu. Yakni, tidak mutlak.

Kebebasan, pada kenyataannya terkadang membawa manfaat dan atau dapat memenuhi keinginannya. Terkadang juga membawa madharrat baginya. Sebagai contoh, seseorang bebas memilih di antara sekian banyak makanan, mana yang akan dia makan, yang ini atau yang itu, atau semuanya yang ada dia makan. Ia pun bebas mau makan atau tidak. Tetapi di balik kebebasannya itu, terdapat perkara-perkara yang membahayakan dirinya dan atau yang membatasi kebebasannya.

Di dalam kehidupan sosialnya terdapat perkara-perkara yang disepakati dan untuk kepentingan bersama. Yaitu, hukum sosial yang membatasi sebagian urusan pribadi atau sebagian keinginan seseorang. Ialah berupa hak-hak yang dimiliki setiap individu, yang membatasi dirinya atau menjadikan dirinya tidak bebas, tetapi pada hakikatnya adalah untuk kepentingan dia juga. (Baca: Kemandirian Akal tentang Baik dan Buruk)

Mungkin dapat disimpulkan, bahwa sebagian ketidak bebasan itu terkadang baik atau bermaslahat bagi setiap orang, sebagaimana kebebasan itu terkadang juga demikian.

Kebebasan dalam Keyakinan

Di antara persoalan kebebasan, yang diangkat oleh Islam ialah masalah kebebasan dalam agama atau yang disebut dengan hak keyakinan. Islam memiliki slogan kebebasan ini yang diungkapkan dalam Alquran, “lâ ikrâha fid dîn” (Tiada paksaan dalam agama!), dan “lakum dînukum wa liya dîn” (Bagimu agamamu dan bagiku agamaku!).

Almarhum Syaikh Ibrahim Amini dalam bukunya Azadi, Iman wa Aql menjelaskan bahwa di dalam Islam, kebebasan keyakinan terbangun atas dua prinsip: kebebasan iman dan kebebasan akal.

Mengenai prinsip yang pertama, di sana terlontar dua pertanyaan:

1-Apakah iman dapat dipaksakan? Ialah pertanyaan terkait dengan iman itu sendiri atau hakikat iman.

2-Apakah dalam urusan iman, Islam membolehkan tindakan paksa? Hal ini melihat pada iman dalam kaitannya dengan sosial.

Mengenai soal pertama, telah disampaikan dan diketahui bahwa agama menolak paksaan. Penjelasannya ialah bahwa iman dan keyakinan itu berada di posisi di luar jangkauan pemaksaan. Sebab, wilayah pikiran dan hati -yang merupakan ruang privasi iman- takkan dapat dimasuki melalui jalan pemaksaan. (Baca: Menghilangkan Pola Komunikasi Buruk)

Suatu pemikiran menjadi tertolak dan suatu keyakinan menjadi tak tersampaikan, apabila disampaikan dengan tindakan paksa dan penggunaan kekuasaan. Pedang yang terhunus di leher seseorang takkan mampu membuka pintu singgahsana hatinya. Hati tak dapat ditaklukkan dengan cara paksa itu.

Keyakinan seperti cinta dan benci- merupakan urusan hati yang takkan berkesan dengan paksaan. Sebab, efektifitas tindakan paksa berlaku pada tindakan-tindakan lahiriah dan gerakan-gerakan fisik. Tetapi keyakinan hati, memiliki faktor-faktor tertentu yang merupakan perkara-perkara pemahaman dan keyakinan.

Interpretasi Kalimat Lâ ikrâha fid dîn

Sebagian mufassir memandang ayat lâ ikrâha fid dîn menunjukkan prinsip rasional tersebut, yang berarti bahwa agama menolak pemaksaan terkait sekumpulan keyakinan yang membuahkan prilaku tertentu. Mengenal hal ini, Almarhum Ibrahim Amini mengutip perkataan Mulla Shadra: Agama adalah perkara internal (batiniah). Tak seorangpun yang mampu menguasai batin dan hati manusia, kecuali Allah swt karena kedekatan spiritual dengan manusia.”

Hal bersifat batin dalam arti bahwa di dalam iman terdapat semacam ketertarikan atau menerima sebuah ide. Daya tarik ini berkaitan dengan dua syarat yang mendasar berikut ini:

1-Secara keilmuan diterima oleh akal.

2-Secara perasaan dicenderungi oleh hati.

Keduanya itu tidak berada di wilayah paksaan. Sebab, akal mengikuti temuan-temuan logis, dan hati cenderung pada prinsip-prinsip yang khas baginya. Oleh karena itu, senjata dan ancaman bukanlah cara untuk memahamkan sebuah masalah matematis di benak pelajar. Dengan cara inipun tidak dapat membuat hati seseorang jatuh cinta. (Baca: Tolok Ukur Baik dan Buruk)

Penafsiran yang demikian terkait ayat tersebut ditegaskan oleh Syahid Mutahari, dan kebanyakan atas dasar itulah kebebasan keyakinan terbangun. Beliau kemudian mengatakan: Adakah di dalam Islam pemaksaan dalam iman, dalam arti umat dipaksa harus menjadi orang-orang yang beriman? Tidak! Mengapa?

Syahid menjelaskan, Banyak alasannya, dan alasan yang terutama ialah bahwa iman bukan yang dipaksakan. Yang diinginkan para nabi adalah iman, (pada hakikatnya) bukan islam lahiriah dan penampakan islam. Iman bukanlah yang dipaksakan. Karena, iman adalah keyakinan, kecondongan dan keterkaitan. Keyakinan tak dapat diwujudkan dengan paksaan, (sebagaimana) cinta dan kasih sayang juga demikian, bahwa kecenderungan batiniah tak dapat diwujudkan dengan paksaan.”

Beliau memberi misal, Bisakah seorang ayah dan ibu kepada putri mereka, yang tidak suka dengan seorang laki yang melamarnya, mengatakan: Kami akan bertindak yang membuatmu suka padanya. Ambilkan kayu untuk memukulmu sampai kau menjadi suka padanya!? Ya, bisa! Dengan dipukul sedemikian rupa sampai putri mereka mengatakan, Saya suka padanya. Artinya, dia berdusta mengatakan demikian itu. Akan tetapi, andaipun kayu-kayu di dunia ini dikumpulkan semua untuk mendera badannya, apakah dengan kayu akan melahirkan cinta? (Baca: Belajar Mencintai Alquran dari Sayyidah Fatimah Az-Zahra’ a.s.)

Hal itu tidaklah mungkin. Jadi, jika kita ingin mewujudkan iman dalam hati orang-orang, caranya adalah bukan paksaan.

Alquran menyatakan tiada paksaan dalam agama, tidak menghendaki agama itu dengan paksaan. Maka janganlah Anda melakukan pemaksaan. Biarkan orang-orang beragama tanpa paksaan, tetapi dalam arti bahwa agama tidak dapat disampaikan dengan pemaksaan. Apa yang disampaikan dengan paksaan itu bukanlah (bagian dari) agama.

Islam menyatakan itu, hendak mengatakan bahwa wilayah iman dan keyakinan bukanlah wilayah paksaan. Yakni, agama yang dimaksud dalam tiada paksaan dalam agama, tidak mengejar amal semata. Tetapi ia menghendaki amal itu sebagai kembaran iman.[*]

Baca: Mencegah Kematian Buruk

 

No comments

LEAVE A COMMENT