Faham Jabriyah / Determinisme meyakini bahwa manusia dalam segala aktivitasnya tidak memiliki pilihan, semua perbuatannya yang baik dan buruk dilakukan oleh Allah Swt. Mazhab Syi’ah menganggap ini salah dengan berbagai alasan di antaranya; bertentangan dengan keadilan ilahi, bertentangan dengan tujuan pengutusan para nabi dan lain-lain.
Akan tetapi, ada ayat-ayat Alquran yang sekilas pandang bisa dijadikan sebagai dalil akan kebenaran Farhan jabriyah ini. Di antaranya ayat ke-78 dari surat an-Nisa’. Allah berfirman:
وَإِن تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُواْ هَذِهِ مِنْ عِندِ اللَّهِ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُواْ هَذِهِ مِنْ عِندِكَ قُلْ كُلًّ مِّنْ عِندِ اللَّهِ
“Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)”. Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah””.
Dari ayat ini seakan-akan menjadi dalil dari Faham Jabriyah / Determinisme. Hal ini disebabkan kata “al-Hasanah” di dalam bahasa Arab memiliki arti banyak yang salah satu di antaranya adalah kasih sayang dan kebaikan. Sedangkan kata “al-Sayyi’ah” juga memiliki beberapa makna seperti musibah, kejadian yang menyakitkan dan kekurangan harta.
Sebagaimana terdapat di dalam surat Ali Imran ayat 120 Allah berfirman:
إِن تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِن تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُواْ بِهَا
“Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya”.
Yang perlu dipertegas lagi dan dijabarkan adalah bagian terakhir yang disebutkan di dalam ayat 78 dari surat an-Nisa’ di atas. ﴿قُلْ كُلًّ مِّنْ عِندِ اللّهِ﴾ Ini yang menegaskan kebaikan atau keburukan berasal dari Allah.
Untuk menjawab dan melakukan klarifikasi perlu disampaikan, bahwa maksud dari “al-Hasanah” dari ayat suci tersebut bukan bermakna ketaatan sebagaimana “al-Sayyi’ah” yang juga terdapat di dalamnya bukan bermakna kemaksiatan. Akan tetapi, “al-Hasanah” dalam pembahasan ini adalah hal-hal yang selaras dan sesuai dengan tabiat manusia berupa kesehatan, kebahagiaan, kelapangan, keluasan, keamanan serta keselamatan. Sementara yang dimaksud dengan “al-Sayyi’ah” adalah hal-hal yang manusia lari serta menghindar darinya semisal kemiskinan, kelaparan, sakit, kekalahan, rasa takut, serta kesulitan. Dan ungkapan
قُلْ كُلًّ مِّنْ عِندِ اللَّهِ
“. Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah”. Adalah berkaitan dengan hal-hal tadi.
Bahwa segala apa yang menimpa manusia secara mutlak baik yang dianggapnya baik atau yang dianggapnya buruk maka kesemuanya itu datangnya dari Allah Swt.
Dalil dan argumentasi yang menunjukkan bahwa maksud dari “al-Hasanah” dan “ al-Sayyi’ah” sebagaimana yang telah kita sebutkan adalah adanya ungkapan dengan menggunakan kata “al-Ishabah” yang artinya menimpa,
إِن تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ
وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ
“Jika mereka dikaruniai kebaikan”
“Jika ditimpa sesuatu bencana”
Dua ungkapan tersebut menunjukkan bahwa hal itu keluar dari perbuatan manusia karena artinya kata menimpa adalah terjadinya sesuatu atas mereka yang muncul dari kuasa dan kehendak mereka.
Lebih lagi, jika merujuk kepada beberapa riwayat, kita akan mendapati titik terang lagi. Sesuai riwayat-riwayat disebutkan, bahwa orang-orang munafik dan orang-orang yahudi Madinah jikalau ladang-ladang yang mereka miliki menghasilkan buah-buahan yang baik, hujanpun terus turun, binatang ternak mereka berkembang dengan baik serta beranak-pinak maka pada saat itu mereka berkata: “Ini semua datangnya dari Allah”. Akan tetapi, sebaliknya ketika mereka ditimpa oleh paceklik, binatang ternak mereka habis, ladang-ladang mereka rusak karena wabah dari langit atau selainnya maka pada saat itu mereka berkata: ini semua dikarenakan Nabi Saw dalam artian kedatangan beliau ke Madinah merupakan kesialan dan bencana bagi mereka. Maka Al-Qur’an menjawab mereka dengan tegas:
قُلْ كُلًّ مِّنْ عِندِ اللّهِ فَمَا لِهَؤُلاء الْقَوْمِ لاَ يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا
“Mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)”. Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah”. Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?”
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan alur cerita pada kasus ini serupa dengan alur cerita Bani Israel di mana Allah berfirman:
وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُواْ بِمُوسَى وَمَن مَّعَهُ
“jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya”.
Jika kesusahan dan musibah menimpa mereka, mereka mengatakan bahwa Nabi Musa as serta orang-orang mukmin yang bersamanya adalah penyebab di balik semua itu.
Dari apa yang telah kita paparkan maka menjadi jelas bahwa ayat tersebut sama sekali tidak menunjukkan dan menguatkan teori “Jabr” bahwa segala perbuatan yang dilakukan manusia baik yang berupa ketaatan maupun yang berupa kemaksiatan pada hakikatnya bukan dari kehendak dan ikhtiyar manusia melainkan ia telah dipaksa.
Maka dari apa yang dijelaskan, ayat tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan dalil jabriyah, karena ayat tersebut sama sekali tidak dalam rangka membicarakan tentang perbuatan manusia yang didasari atas ikhtiyar, melainkan ayat tersebut sedang membicarakan tentang kejadian-kejadian yang menimpa manusia baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan dan itu berasal dari Allah Swt.
قُلْ كُلًّ مِّنْ عِندِ اللَّهِ
“. Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah”.