Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Syiah dalam Perjalanan Sejarah (Bag.2)

Muhammad Kurdi Ali, salah seorang ulama Ahlussunah yang lain menulis: “Sebagian sahabat utama yang sejak awal sejarah Islam telah mengikuti Ali a.s., akhirnya dikenal sebagai Syiah. Apa yang bisa disimpulkan dari sumber-sumber tertulis adalah bahwa orang-orang tertentu yang memiliki pandangan sempit menganggap Syiah sebagai sekumpulan bid’ah dan pemalsuan yang dikaitkan bersama-sarna dengan orang yang dikenal dengan Abdullah bin Saba atau Ibn as­Sauda. Namun tidak diragukan lagi bahwa pandangan ini benar­benar merupakan takhayul dan fantasi belaka, karena sang Yahudi, Abdullah bin Saba, hanya ada dalam dunia imajinasi. Usaha apa saja yang mengaitkan asal-usul Syiah kepadanya mesti dianggap sebagai tanda kebodohan sejati.(Kurd Ali, Hitan asy-Syam, Vol. VI, hal. 246)

Bertentangan dengan semua pendapat yang telah dibahas secara panjang lebar tadi, sekelompok ulama justru percaya bahwa Syiah pertama kali tidak dikemukakan oleh orang lain kecuali oleh Nabi Muhammad Saw sendiri, dan soal ini dipertegas dengan perintahnya.

Hasan bin Musa an-Naubakhti dan Sa’ad bin Abdullah menulis: “Kelompok Ali bin Abi Thalib a.s. adalah kelompok yang pertama kali muncul pada masa Nabi Muhammad Saw, kemudian terkenal dengan Syiah (pengikut) Ali. Telah diketahui bahwa mereka cenderung memilih Ali untuk mengemban tugas kepemimpinan umat, dan mereka terdiri dari sahabat-sahabat yang setia kepadanya. Al-Miqdad, Salman, Abu Dzar dan Ammar termasuk anggota kelompok ini, mereka adalah orang-orang pertama yang disebut dengan Syiah. Penggunaan kata syi’ah sendiri bukanlah sesuatu yang baru ia telah digunakan untuk menyebut para pengikut nabi-nabi terdahulu, seperti Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa.” (An-Naubahkti, al-Maqalat wa al-Firaq, hal. 15)

Pandangan ini telah ditegaskan oleh sejumlah ulama Syiah, dan ada sejumlah hadis yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw menggunakan nama Syiah bagi sahabat dan pengikut Ali bin Abi Thalib a.s.

Baca: Syiah dalam Perjalanan Sejarah (Bag.1)

Ketika mendiskusikan turunnya ayat berikut: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal salih mereka itu adalah sebaik-baik mahkluk di dunia ini.  (QS. al-Bayyinah: 7)

Para ahli tafsir (mufasirin) serta para ahli hadis (muhadisin) Ahlussunah meriwayatkan bahwa Jabir bin Abdullah telah mengatakan: “Suatu hari aku datang di majelis Rasulullah Saw, kemudian Ali masuk ke ruangan, sehingga Nabi Saw pun bersabda, Saudaraku telah tiba. Demi Tuhan, aku bersumpah bahwa orang ini dan syiahnya (pengikutnya) adalah termasuk di antara orang-orang yang diselamatkan oleh Allah di Hari Kebangkitan kelak.” (Ibn Hajar, as-Sawa’iq, bab 1; al-Khawarizmi, al-Manaqib, hal. 66; al-Hamawini, Fara’id as-Simtain, vol. I. Bab XIII; al-Qunduzi, Yanabai al-Mawaddah, bab 56)

Sehubungan dengan ayat yang sama, ath-Thabari, sejarawan dan ahli tafsir Ahlussunah, juga menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw menggunakan kata syi’ah ketika merujuk kepada para pengikut Ali bin Abi Thalib a.s. Dengan demikian, di sana terdapat otoritas kenabian untuk menetapkan para pengikut Ali a.s., orang-orang yang secara khusus mengabdi kepadanya, sebagai Syiah. Karena itu, kita menyaksikan bahwa kata syi’ah mempunyai batasan yang sama dengan kata Islam itu sendiri, karena Nabi Saw sendiri menggunakan kata itu.

Sehubungan dengan esensi Syiah, Muhammad Fikri Abu an­Nasr, salah seorang penulis terkemuka Mesir dari kelompok Ahlussunah mengatakan: “Dalam prinsip-prinsip teologisnya, Syiah berbeda dengan Abu Hasan al-Asy’ari, dan dalam detil ketetapan-ketetapan hukumnya, ia sama sekali tidak berkaitan dengan satu pun di antara keempat mazhab Ahlusunah. Karena mazhab yang ditegakkan oleh para imam Syiah lebih tua umurnya, karena itu lebih bisa dipercaya dan lebih layak untuk diikuti dibandingkan mazhab lain. Semua orang Islam mengikuti mazhab mereka pada tiga abad pertama dari abad Islam. Mazhab hukum Syiah juga lebih berhak untuk diikuti karena di dalamnya pintu ijtihad (penalaran hukum secara mandiri) tetap terbuka sampai Hari Kiamat, dan karena pembentukannya sama sekali tidak dipengaruhi  oleh berbagai faktor dan perjuangan politik.” (al-Muraja’at, hal. 10)

Abu Wafa’ al-Ghunaimi at-Taftazani, salah seorang ulama Ahlussunah lainnya menyatakan: “Banyak peneliti di masa lalu dan sekarang, baik di Timur mau pun di Barat telah mengekspresikan pandangan-pandangan yang keliru tentang Syiah. Orang-orang kemudian mengulang-ulangnya tanpa berusaha mempertanyakan pandangan-pandangan ini, tanpa sedikit pun mengemukakan bukti yang nyata. Salah satu alasan yang menyebabkan Syiah diperlakukan secara tidak adil adalah karena orang­orang yang menyebarkan dan mendakwahkan pandangan-pandangan [yang keliru] itu tidak mendasarkan karya mereka dari tulisan orang Syiah sendiri, melainkan hanya mengandalkan tulisan musuh­musuh Syiah. Dalam masalah ini imperalisme Barat juga memainkan peran dengan berupaya terus menerus untuk menebarkan benih pertentangan di antara Syiah dan Ahlussunah serta melakukan propaganda tesis-tesis yang tidak jujur dan kontroversial atas nama obyektifitas penelitian ilmiah. (Ar-Radawi, Ma’a ar-Rijal al-Fikr dalam al-Qahirah, hal. 40-41)

Baca: Tradisi Penulisan Hadis dalam Mazhab Syiah

Pernyataan-pernyataan ini memungkinkan kita untuk memahami dengan baik mendalamnya penyimpangan yang terjadi, melebarnya pembelokan dari kebenaran, juga mentalitas orang-orang yang telah terinspirasi oleh motif-motif kotor atau terpengaruh oleh faktor-faktor politik. Alih-alih dari memberikan perhatian kepada Alquran, Islam dan qiblat yang menyatukan seluruh umat Islam, mereka justru saling berkompetisi dengan orang lain untuk menebarkan benih-benih pertentangan dan membuat perpecahan. Islam telah dikorbankan demi meraih tujuan-tujuan mereka, sehingga musuh-musuh umat Islam yang beruntung.

*Dikutip dari buku karya Sayyid Mujtaba Musawi Lari – Imam Penerus Nabi Muhammad Saw


No comments

LEAVE A COMMENT