Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Iran dalam Dinamika Politik Irak dan Lebanon

Kejutan dan dinamika politik Irak dan Lebanon pasca pemilu legislatif mencuatkan pertanyaan seputar posisi geopolitik Iran di kawasan Timteng dan posisi strategisnya dalam peta blok resistensi.

Tak bisa disangkal, peran Iran di Lebanon, Irak, Suriah, dan Yaman sangat besar terutama dalam menumpas ISIS dan faksi-faksi bersenjata dukungan Saudi dan Qatar. Namun itu tak berbanding lurus dengan fakta politik yang dinamis di sebagian negara tersebut.

Kejutan pertama terjadi di Lebanon. Dalam pemilu parlemen belum lama ini, Hizbullah yang didukung Iran meraih tambahan kursi. Sementara partai Perdana Menteri Saad Hariri kehilangan sebagian kursi.

Israel sangat geram terhadap hasil pemilu ini dan menyatakan pihaknya tidak akan membedakan keduanya (Hizbullah dan Lebanon) jika terjadi perang di masa depan. Israel menuturkan, kemenangan Hizbullah dalam pemilihan umum di Lebanon secara tidak langsung telah membuat Beirut menjadi musuh Tel Aviv.

“Hizbullah sama dengan Lebanon,” kata Menteri Pendidikan Israel, Naftali Bennett dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Reuters pada Senin (7/5).

Kejutan kedua terjadi di Irak. Dalam pemilu terakhir, Koalisi Fatah pimpinan Hadi al-Amiri yang didukung Iran menempati posisi kedua dan Koalisi Nasr yang dikendalikan oleh Perdana Menteri Haider al-Abadi harus puas di urutan ketiga. Sedangkan koalisi kubu Moqtada Sadr dan Partai Komunis (Sairun) secara tak terduga menjadi pemenang dan menempati urutan pertama dalam perolehan suara.

Kubu al-Amiri, komandan Hashd Sya’bi yang menumpas ISIS dan kubu Haider Abadi bisa dianggap sebagai pro-Iran dengan kadar kedekatan yang berbeda. Sedangkan Moqtada, meski bermazhab Syiah dan sempat dekat dengan Iran, kini mulai memperlihatkan inklusivitas, meski sebelumya dikenal konservatif. Dia bahkan tak ikut berjuang melawan ISIS dan menjalin hubungan baik dengan putra mahkota kerajaan Arab Saudi, Pangeran Muhammad bin Salman. Di sisi lain, kubu Nuri al-Maliki, mantan PM, mengalami difisit suara secara signifikan.

Di Suriah, posisi politik Bashar Asad makin kuat meski dihantam beragam konspirasi. Secara umum, tak ada kejutan politik di Suriah setelah kemenangan militer Pemerintah atas ISIS dan faksi-faksi bersenjata.

Ada apa di balik dua kejutan diametrikal politik di Lebanon dan Irak? Mengapa hasil pemilu Lebanon dan Irak berbeda?

Iran dan Irak punya banyak kesamaan tapi juga punya sentimen sinisme mutual terselubung bahkan dalam masyarakat Syiah.

Secara etnik, Arabisme Irak lebih kental dibandingkan Lebanon yang secara historis dan kultural lebih inklusif dan “tak seberapa arabis”.

Secara historis, perang Irak-Iran selama 8 tahun dengan korban lebih dari 500.000 dari kedua pihak,  menyisakan luka mendalam.

Secara kesyiahan, Irak yang direpresentasi oleh Najaf yang ortodok berjarak dengan Iran yang direpresentasi oleh Qom yang filosofis dan mistik.

Setelah dirundung diktatorisme Saddam, okupasi AS dan maraknya aksi-aksi teror yang memuncak dengan berdirinya ISIS secara mengejutkan dengan peragaan sadisme di dua provinsi, rakyat Irak yang jenuh dengan konflik sektarian ingin mengubah nasib dan sejarahnya seraya menerima pluralitas dalam sistem sosial dan politik yang lebih sekular dan demokratis.

Sedangkan di Lebanon yang secara geografis bersebelahan dengan satu-satunya rezim rasis Israel, rakyatnya justru memilih memperkuat salah satu unsur dominan secara militer dan sosial, Hizbullah, demi menjamin keamanannya.

Hizbullah telah melakukan transformasi nilai bahkan revolusi visi, misi dan strategi sehingga berhasil membuat rakyat yang multi kultur dan agama jatuh hati.

Sayid Hasan Nasrallah (SHN) bahkan menjadi ikon Nasionalisme dan kebanggaan identitas Lebanon dan Arab progresif ala Gamal Abdel Naser.

Meski mengalami proses politik yang berbeda, Irak dan Lebanon yang punya kedekatan khusus dengan Iran yang menganut sistem pemerintahan Islam, tidak serta merta menduplikasinya. Justru sebaliknya, kedekatan itu tak membuat masyarakat Syiah di kedua negara itu kehilangan independensi politik dan Nasionalisme.

Lebih dari itu, dinamika politik ini mengonfirmasi bahwa dalam negara yang dihuni oleh masyarakat plural, sistem demokrasi tanpa dasar keyakinan sektarian adalah opsi logis dan realistis.

Lalu bagaimana kaitannya dengan sistem Wilayatul Faqih yang selama ini diterapkan di Iran?

Dari sini bisa ditarik kesimpulan, Wilayatul Faqih bisa diterapkan sebagai sistem kepemimpinan formal bila dijadikan sebagai bagian dari konstitusi negara sebagaimana berlaku di Iran dan bisa pula diterapkan sebagai sistem kepemimpinan spiritual keagamaan dengan fungsi pembimbingan keagamaan semirip dengan kedudukan  al-Azhar  bagi sebagian besar umat Islam di Indonesia sebagai puncak otoritas keagamaan yang sama sekali tidak berkaitan dengan sistem negara.[*]

(Dikutip dari rubrik Opini, Buletin Al-Wilayah, edisi 23, Mei 2018, Ramadan 1439)

 

Written by
No comments

LEAVE A COMMENT