Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Jika Allah Tidak Bertempat, Mengapa Mikraj?

??

Sebagian orang mungkin bertanya bahwa Allah Swt tidak terbatasi oleh tempat seperti yang disepakati oleh ulama mazhab Ahlulbayt as. Pertanyaannya adalah bagaimana cara kita memahami adanya Mikraj Rasulullah Saw ke langit kemudian ke Sidartul Muntaha lalu menembus Hujub Nur (tabir-tabir cahaya) dan bermunajat dengan Allah?

Perlu dipahami sebenarnya Mikraj itu ke langit lalu ke Sidratul Muntaha kemudian ke surga Ma’wa dan tidak Mikraj ke Allah Swt sehingga sebagian beranggapan Allah berada di satu tempat seperti pertanyaan di atas. Sehingga ayat Alquran di surah Isra’ dan surah An-Najm mengatakan bahwa tujuan utama dari Isra’ dan Mikraj adalah untuk memperlihatkan / menunjukkan  tanda-tanda kebesaran Allah Swt kepada Nabi Saw.

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Maka tujuannya sesuai ayat di atas tak lain adalah untuk memperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah Swt yang tidak mungkin disaksikan oleh Rasulullah Saw tanpa melalui Isra’.

مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى لَقَدْ رَأَى مِنْ آَيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى

Ayat ini juga menegaskan bahwa Mikraj ke Sidartulmuntaha telah tergapai tujuannya saat Rasulullah Saw telah menyaksikan di sana tanda-tanda kebesaran tuhannya yang tidak mungkin disaksikan tanpa Mikraj.

Adapun munajatnya dengan Allah di malam Mikraj bukan berarti juga Allah bersemayam di sana. Nabi Musa as saat berada di bumi sekalipun beliau bermunajat dengan Allah di gunung Thur. Memang demikian, Allah memilih tempat-tempat untuk para nabi-Nya bermunajat dengan-Nya. Allah telah memilih untuk Musa as lembah Thuwa dan berdialog di sana dengan firman-Nya:

إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى وَأَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَى

Dan ketika ingin menurunkan kepadanya kitab Taurat Allah memerintahkannya untuk berpindah ke lembah Thur untuk serah terimanya.

وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلَاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً إلى أنْ قال: وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ

Begitulah, Allah telah memilih lembah Thur untuk munajatnya Nabi Musa as dan memilih Sidratulmuntaha untuk Nabi Muhammad Saw dan itu bukan berarti di tempat-tempat itulah Allah berada.

Begitu juga Allah telah memilih beberapa tempat untuk dijadikan tempat ibadah kepada diri-Nya lalu menyandarkannya kepada-Nya, Maka diberilah nama Ka’bah contohnya sebagai rumah Allah dan haram-Nya. Memberi nama Baitul Makmur di langit sebagai rumah dan haram-Nya.

Perjalanan menuju rumah-rumah ini pun disebut hijrah kepada Allah. Sebagaimana Nabi Musa as mengatakan hal tersebut saat bergegas ke Thur Sina dengan sabdanya: وَعَجِلْتُ إِلَيْكَ رَبِّ لِتَرْضَى  dan menurut ungkapan Nabi Luth as juga dikatakan, إِنِّي مُهَاجِرٌ إِلَى رَبِّي   Sesungguhnya aku sedang hijrah menuju tuhanku. Nabi Ibrahim as dalam konteks ini juga bersabda, وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِ  padahal hijrah keduanya hanya menuju daerah / negara yang tidak dihuni mereka saat itu.

Ahlulbayt as telah menepis anggapan bahwa Mikraj Nabi Saw ke langit bertentangan dengan akidah tauhid dari Allah; jika Allah tidak bertempat. Di antaranya hadis yang berasal dari Yunus bin Abdurrahman. Dia  berkata, Aku bertanya kepada Abu Hasan bin Musa bin Ja’far as: Mengapa Allah memikrajkan nabi-Nya ke langit dan dari langit menuju Sirdratul muntaha dan darinya menuju  tabir-tabir cahaya lalu berdialog dan munajat di sana, sedang Allah sendiri tak bertempat? Maka beliau menjawab, Sesungguhnya Allah tidak berada di sebuah tempat dan juga tak dikenai waktu. Akan tetapi, Allah ingin memuliakan para malaikat dan seluruh penduduk langit dengan (kehadiran beliau) memuliakan mereka dengan menyaksikan Rasulullah Saw. Dan Allah ingin memperlihatkan kepada Nabi Saw keajaiban dan keagungan-Nya yang akan disampaikannya setelah turun nanti. Dan tidak seperti yang diduga para Musyabihun (kelompok yang meyakini Allah berjisim). Maka suci Allah dari hal yang mereka sifatkan.

Hadis lainnya adalah yang diriwayatkan oleh Syekh Shaduq dengan Sanadnya dari Abi Hamzah Tsumali, Tsabit bin Dinar. Dia berkata, Aku bertanya Imam Zainal Abidin as tentang Allah, apakah dia bertempat? Maka beliau menjawab, Allah lebih agung dari hal tersebut dan berada di satu tempat. Lalu aku bertanya, Jika demikian mengapa diisrakkan ke langit? Beliau menjawab, Untuk memperlihatkan kerajaan langit dan isinya yang menakjubkan dan mencengangkan.

Riwayat lainnya, dari Syekh Shaduq dalam Kitab Tauhid dengan sanadnya dari Amr bin Khalid, dari Zaid bin Ali as. Dia berkata: Aku bertanya ayahku Zainal Abidin as, Wahai Ayahanda kabari diriku tentang kakek kita Rasulullah Saw ketika dimikrajkan ke langit dan memerintahkannya dengan kewajiban lima puluh rakaat shalat. Mengapa beliau tidak meminta keringanan untuk umatnya sehingga Musa as bersabda: Kembalilah ke tuhanmu dan mintalah pengurangan karena umatmu tidak akan mampu… Maka aku bertanya, Apa maksud dari ungkapan Nabi Musa as, Kembalilah ke tuhanmu. Beliau menjawab, Maksudnya adalah seperti ungkapan nabi Ibrahim dan ungkapan Musa sendiri dan makna ayat    Jadi artinya adalah tujulah dan pergilah ke rumah Allah. Wahai putraku, sesungguhnya Ka’bah adalah Baitullah maka barang siapa berhaji / menuju ke Baitullah maka sama dengan menuju Allah. Masjid-masjid adalah rumah-rumah Allah, sesiapa menuju ke sana sama seperti kepada Allah (langsung). Orang yang shalat sebenarnya sedang berdiri di hadapan Allah begitu juga para jamaah yang sedang wuquf di Arafah, mereka sedang berdiri di hadapan Allah. Dan sesungguhnya Allah memiliki beberapa tempat di langit yang barang siapa mikraj ke sana seakan-akan dia telah mikraj langsung ke Allah. Tidakkah engkau mendengar firman Allah:       dan dalam firman lainnya terkait kisah Nabi Isa as,   Serta firmannya:

Adapun riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Saw telah melewati batas-batas dan tabir cahaya adalah tabir-tabir makrifatullah. Karena sesungguhnya makrifatullah memiliki tingkatan yang tak terhingga, setiap tingkatan dan lapis itu merupakan tabir, setiap hamba melangkah (dengan ilmu dan amalnya) maka akan menghilang tabir dan penutup dari hatinya berupa makrifat maka dia akan lebih dekat dengan makrifat Allah. Maksud nabi telah sampai kepada tabir-tabir cahaya adalah nabi telah melangkah di tingkatan-tingkatan tersebut, walaupun demikian beliau beliau sampai juga kepada makrifat sempurna karena masih ada tabir-tabir / lapis cahaya yang tak mampu beliau lewati. Hal ini dikuatkan oleh sabda beliau: Maha suci Engkau Ya Allah kami tidak dapat mengenalimu / memakrifahimu dengan sebenar-benarnya. Begitu juga dalam doa yang diriwayatkan dari Imam Zainal Abdin as, Wahai Dzat yang tidak mengetahui Dia selain Dirinya.

Hanya saja, kendatipun tabir-tabir yang telah dilalui Nabi Saw telah melampaui para Malaikat bahkan Jibril as sekalipun. Akan tetapi, tabir-tabir dari keagungan Allah masih tetap menghalagi beliau untuk mengetahui Allah secara utuh dan sempurna. Mungkin inilah maksud dari ungkapan Jibril ketika sampai di posisi / tempat berkata kepada Nabi, Majulah dan dia sendiri mundur. Dan Dia berkata, Jika aku maju niscaya aku akan terbakar karena dia sudah sampai pada batas akhir yang diperkenankan oleh ilmu dan makrifahnya sedangkan Nabi Saw ilmu dan makrifah beliau mempersilahkan beliau maju ke depan lebih jauh lagi.

Hal ini dikuatkan oleh ayat ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى Begitu juga riwayat dari Abu Nashr dari Abi Hasan Ar-Ridho as, beliau bersabda, Nabi bersabda, ketika aku diisrakan ke langit saya bersama Jibril sampai di satu tempat yang belum dipijak oleh Jibril maka tersingkaplah baginya dan Allah memperlihatkan apa yang diinginkannya dari cahaya keagungannya.

Dan apa yang diriwayatkan dari Imam Hasan Askari as, sesungguhnya beliau bersabda: Sesungguhnya Allah memperlihatkan Rasul-Nya dengan (penglihatan) hatinya hal-hal yang Dia inginkan.

Dengan demikian apa yang disingkap untuk Nabi di malam Mikraj dan beliau lihat dengan mata hati beliau adalah secuil dari cahaya keagungan Allah dengan kadar yang disukai oleh Allah. Sedangkan maksud dari cahaya itu sendiri bukanlah cahaya materi, tapi cahaya makrifah dan ilmu.

Hal ini dikuatkan oleh riwayat dari Amirul mukminin as di kitab Ihtijaj: Maka dia mendekat dengan ilmunya, … Dan cahaya memenuhi pandangan beliau maka beliau melihat keagungan tuhannya dengan mata hatinya dan tidak melihatnya dengan mata telanjang.

No comments

LEAVE A COMMENT