Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Kemandirian Akal tentang Baik dan Buruk

Adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya yang berjudul “Tolok Ukur Baik dan Buruk”. Di sini, dua poin yang akan diketengahkan: proposisi aksiomatis dan dalil teori baik-buruk rasional.

Para filosof membagi akal pada: teoritis dan praktis. Akal teoritis mengkonfirmasi pengetahuan yang tidak berurusan dengan perbuatan. Sedangkan yang berurusan dengan perbuatan manusia atas kehendaknya, adalah akal praktis.

Sabzawari menjelaskan bahwa kedua macam akal tersebut:

Pertama, adalah keberfikiran. Bedanya, kalau akal teoritis terkait dengan pengetahuan mutlak tanpa berurusan dengan perbuatan. Misal, Allah ada nan esa; sifat-sifat-Nya adalah Dzat-Nya itu sendiri, dan sebagainya.

Baca: Pilih Memuji atau Lebih Baik Diam?

Sedangkan akal praktis terkait dengan pengetahuan yang berurusan dengan perbuatan. Misal, tawakal adalah baik, sabar adalah terpuji dan sebagainya. Akal inilah yang diaplikasi dalam ilmu akhlak.

Kedua, bukanlah semacam dua daya yang berlainan. Melainkan seperti dua sisi bagi sesuatu, yaitu jiwa yang berfikir.

Akal dan Perkara-perkara Aksiomatis

Akal –dengan sendirinya- mengetahui perkara-perkara yang sangat jelas (proposisi aksiomatis) tanpa harus mengkonsepsi sesuatu yang lain, di dalam filsafat teoritis maupun filsafat praktis.

Di dalam akal praktis, salah satu di antara proposisi aksiomatis adalah masalah (penilaian sesuatu itu) baik dan buruk secara rasional, bahwa: adil itu baik dan aniaya itu buruk; kebaikan dibalas dengan kebaikan adalah baik dan kebaikan dibalas dengan keburukan adalah buruk; menepati janji adalah baik dan mengingkari janji adalah buruk, dan sebagainya.

Akal praktis -dengan sendirinya- memahami semua proposisi itu pada saat mendapatinya. Dengan demikian ia dapat membuktikan kebenaran penilaian-penilaian yang tak aksiomatis di dalam filsafat praktis terkait dengan akhlak, bina rumah tangga atau politik sipil, berdasarkan proposisi-proposisi primer tersebut.

Baca: Tak Ada Jalan Meraih Tujuan Selain Tunaikan Tugas dan Kewajiban

Dalam akhlak misalnya, menghormati kedua orangtua, guru, adalah sebuah keharusan. Karena, penghormatan ini merupakan kebaikan dibalas kebaikan, dan hal ini adalah baik secara esensial. Sedangkan penghinaan terhadap mereka merupakan kebaikan dibalas keburukan, dan hal ini adalah buruk secara esensial.

Dalam hukum bina rumah tangga, melaksanakan tugas suami-isteri adalah sebuah keharusan, karena hal itu memenuhi perjanjian, maka dinilai baik. Mengabaikannya berarti melanggar perjanjian, maka dinilai buruk. Di dalam pemerintahan, misalnya, pajak haruslah adil sesuai inkam. Lebih dari ketentuan itu adalah penindasan terhadap rakyat, dan ini buruk.

Dalil Teori Baik-Buruk Rasional

Teori ini berargumen dengan beberapa alasan, di antaranya, pertama yang disebutkan di dalam “Talkhis Muhadharat fi al-Ilahiyat” ialah bahwa:

Baik dan buruk atas penilaian akal, ia mengetahui kebaikan jujur dan keburukan dusta secara mandiri, terlepas dari apa yang syariat katakan itu adalah baik dan buruk. Karena akal menilai bahwa dusta itu buruk, dan pembawa syariat adalah suci dari perbuatan buruk.

Sekiranya akal tidak memiliki kemandirian dalam hal itu, lalu syariat mengabarkan bahwa perbuatan ini dan itu adalah baik atau buruk, kita tidak dapat memastikan kebenarannya sebelum tersingkap dan diyakini bahwa kabarnya itu benar demikian. Karena di dalam kabarnya terdapat kemungkinan tidak benarnya, bahwa dusta belum kukuh keburukannya.

Pengukuhan bagi dusta sebagai yang buruk melalui pemberitahuan syariat, meniscayakan daur (circular reasoning; sesuatu sebagai sebab bagi dirinya sendiri dengan satu atau beberapa perantara). Bahwa, untuk mengetahui baik atau buruknya suatu perbuatan bergantung pada kabar dari syariat, sementara kebenarannya bergantung pada pengetahuan baik dan buruknya perbuatan.

Baca: Jalinan Ruh Suci Imam Husein a.s. dengan Allah Kekasihnya Lewat Lantunan Doa

Ibarat orang mengatakan, “Apa yang saya katakan itu benar, karena saya orang jujur.” Untuk mengetahui kebenaran ucapannya bergantung pada pengetahuan kejujurannya. Pada saat yang sama, untuk mengetahui kejujurannya bergantung pada kebenaran ucapannya.

Argumen tersebut kemudian dikomentari oleh Fadhil Qusyji dengan mengatakan: “Kita tidak menjadikan perintah dan larangan (syar’i) sebagai dalil baik dan buruk.. Tetapi, baik ialah perbuatan itu terkait perintah dan pujian. Sedangkan buruk adalah perbuatan itu terkait larangan dan celaan.”

Perkataan tersebut mendapat kritikan, bahwa baik dan buruk tak tersingkap secara syariat dengan hanya mendapati perintah dan larangannya terkait sesuatu. Karena kemungkinan adanya kesia-siaan di dalam perintah dan larangan syariat. Sekiranya tiada kesia-siaan, belum kukuh kemungkinan tiadanya. Sebab, bisa saja itu iseng atau gurauan, bahkan dusta.

Dengan demikian, akal kita mandiri dalam menilai keburukan berdusta, sehingga ia dapat mengetahui apa yang dikabarkan syariat mengenai perbuatan yang diperintahkannya adalah baik, dan yang dilarangnya adalah buruk. Inilah maksud yang dikatakan oleh Muhaqqiq Thusi bahwa: Sekiranya akal tak mandiri dalam menilai perbuatan, niscaya kebaikan dan keburukan takkan pernah kukuh.

Referensi:
Talkhish Muhadharat fi al-Ilahiyat/Ayatullah Syaikh Subhani.


Latest comment
  • Ada yg bekata tingkatkan keimanan dan ketakwaan maka hati.akal dan dunia akan di permudahnya…. demikian yg saya simak

LEAVE A COMMENT