Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Kartun Anak: Dialog Imam Al-Jawad a.s dengan Yahya bin Aktsam di Hadapan Al-Makmun

Imam Jawad a.s. Dialah Muhammad bin Ali Ar-Ridha bin Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Al-Husein bin Ali bin Abi Thalib salam atas mereka.

Dia terkenal dengan keilmuan, keutamaan, dan kemurahan hatinya, padahal dia masih kecil. Disebutkan dalam riwayat bahwa para ulama kota Madinah Al-Munawarah meminta fatwa kepadanya perihal yang dihadapi mereka padahal imam belum mencapai usia 10 tahun. Terdapat banyak riwayat yang menunjukkan hal itu.

Namun kita akan mengetengahkan tentang protes Bani Abbas atas khalifah mereka, Al-Makmun, lantaran memuliakan, meninggikan kedudukan sang imam dari para ulama saat itu, dan menikahkan putrinya sendiri kepada sang imam.

Baca: “Kisah-kisah Menarik Imam Jawad a.s. (I)

Seserang yang protes mengatakan, “Kami memohon kepada Allah agar Anda mengurungkan niat untuk menikahkan putri Anda dengan putra Ar-Ridha. Kami khawatir apa yang Allah tetapkan sebagai milik kita akan lepas dari kita. Kejayaan yang Allah telah berikan kepada kita akan tercabut dari kita.

Apakah Anda sendiri yang mengatakan demikian ataukah seluruh putra paman-pamanku dari Bani Abbas?

Itu adalah pendapat kami semua. Aku tidak menyangka Anda akan menyelisihi pendapat kami padahal Anda sungguh mengetahui bagaimana hubungan kita dengan Bani Abi Thalib, dahulu dan sekarang! Dulu kami merasa khawatir dengan tindakan Anda terhadap Ar-Ridha. Cukuplah Allah bagi kami orang-orang sebelum Anda.

Jangan sampai Anda menjemput kami pada kegundahan yang telah surut ini. Buanglah pikiran Anda dari putra Ar-Ridha. Bersikap bijaklah terhadap orang dari keluarga Anda yang perhatiannya kepada Anda lebih baik dari orang lain.”

Al-Makmun menjawab, “Yang terjadi di antara kalian dan mereka, maka kalianlah penyebabnya! Sementara yang dilakukan khalifah sebelumku adalah memutuskan silaturahmi. Sementara Abu Ja’far, aku memilihnya lantaran keunggulannya di atas seluruh pemilik keutamaan dan ilmu meski usianya masih belia.

Mereka berkata, “Arahkan anak muda itu walau telah membuat diri Anda kagum kepadanya. Dia itu anak kecil yang tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman. Tangguhkanlah dia agar belajar terlebih dahulu. Setelah itu, perbuatlah yang Anda mau!”

Al-Makmun menjawab, “Celakalah kalian! Aku lebih mengenal anak muda itu ketimbang kalian. Jika kalian mau, ujilah Abu Ja’far.”

“Kami sepakat dengan Anda. Biarkanlah kami bersamanya agar kami dapat menentukan siapa yang akan menanyainya di hadapan Anda tentang fikih. Jika dia menjawab dengan benar, kami tidak akan memprotesnya. Akan nyata bagi kalangan elit dan umum kebenaran pandangan Anda mengenainya.”

Baca: “Kisah-kisah Menarik Imam Jawad a.s. (II) “

Al-Makmun pun bersepakat. Bani Abbas menghadirkan Yahya bin Aktsam, Mufti tertinggi dunia Islam pada masa itu, untuk menguji Al-Jawad, mempermalukannya dan memastikan kebenaran opini mereka di hadapan Al-Makmun.

Berkumpullah para tokoh ternama dan ulama Baghdad. Namun ketika imam berbicara, mengejutkan mereka dan memancarkan cahaya Allah yang mereka ingin redupkan, maka Allah justru menampakkannya.

Yahya berkata kepada Al-Makmun, “Wahai Amirul Mukminin, izinkan aku bertanya satu masalah kepada Abu Ja’far?”

“Minta izinlah kepadanya, jika dia mengizinkan, silakan saja,” kata Al-Makmun.

Yahya menghadap Imam dan berkata, “Aku menjadikan diriku sebagai tebusanmu. Bolehkah aku bertanya tentang suatu masalah?”

Imam Jawad as. berkata, “Bertanyalah yang Anda mau!”

Yahya berkata, “Bagaimana menurut Anda orang yang berihram tetapi membunuh hewan buruan?”

Abu Ja’far balik bertanya, “Apakah orang yang berihram itu seorang alim ataukah seorang bodoh? Sengajakah atau tidak? Apakah dia seorang merdeka ataukah budak? Apakah dia seorang anak kecil ataukah dewasa? Apakah dia pertama kali membunuh ataukah berpengalaman? Apakah buruannya itu dari jenis burung ataukah yang lain? Hewan buruan yang besar ataukah kecil? Apakah dia menyesali perbuatannya ataukah tidak? Apakah dia membunuhnya di malam hari ataukah siang hari? Apakah saat membunuhnya sedang berihram dengan umrah ataukah dengan haji?”

Yahya bin Aktsam bingung dan gagap. Orang-orang yang hadir mengetahui bahwa persoalan tersebut menghasilkan puluhan pertanyaan yang diketahui jawabannya oleh Imam Jawad, namun justru tidak diketahui Yahya. Oleh karenanya, tampak wajahnya menjadi lesu.

Baca: “Sang Alim yang Syahid Muda

Al-Makmun berkata, “Apakah sekarang kalian telah mengenal orang yang telah kalian ingkari? Anda luar biasa, wahai Abu Ja’far. Semoga Allah menambah kebaikan atasmu. Silakan jika Anda ingin bertanya kepada Yahya tentang suatu masalah, sebagaimana dia bertanya kepadamu.”

Imam Jawad as menyampaikan pertanyaannya, “Aku bertanya kepada Anda, wahai Ibnu Aktsam, “Bagaimana pendapatmu tentang seorang lelaki yang memandang seorang perempuan di awal siang hari? Pandangannya kepada perempuan itu adalah haram. Namun, ketika waktu siang telah naik, perempuan itu halal baginya. Saat matahari tergelincir, perempuan itu menjadi haram baginya. Tiba waktu asar, perempuan itu halal baginya. Saat matahari terbenam, perempuan itu menjadi haram baginya. Masuk akhir waktu isya, perempuan itu halal baginya. Saat tiba pertengahan malam, perempuan itu haram baginya. Ketika terbit fajar, perempuan itu menjadi halal baginya. Siapakah perempuan itu? Mengapa dia menjadi halal dan haram bagi lelaki tersebut?”

Al-Makmun menawarkan kepada hadirin untuk menjawab, “Adakah di antara kalian yang akan menjawab pertanyaan ini?”

Yahya bin Aktsam berkata, “Demi Allah, aku tiada menemukan jawaban atas hal itu. Bahkan aku tidak mengetahui maksudnya. Jika berkenan sudikah Anda mengajarkannya kepada kami?”

Imam Jawad as. pun menguraikan jawabannya, “Perempuan itu adalah budak seseorang. Seorang lelaki asing (bukan mahram) telah melihatnya di awal siang hari. Pandangannya pada perempuan itu haram baginya. Ketika waktu siang naik, lelaki itu membelinya dari tuannya, maka halallah perempuan itu baginya. Saat zuhur, dia memerdekakannya, maka perempuan itu menjadi haram baginya. Saat asar tiba, ia menikahinya, maka perempuan itu halal baginya. Saat magrib tiba, dia melakukan zihar kepadanya, maka perempuan itu menjadi haram baginya. Saat akhir waktu isya, ia membayar kafarat zihar, lalu perempuan itu halal baginya. Saat pertengahan malam tiba, ia menceraikan satu talak, maka perempuan itu haram baginya. Saat fajar tiba, dia merujuk kepadanya, maka perempuan itu halal baginya.”

Baca: “Kisah-kisah Nabi Muhammad saw.: Bantuan dan Canda Nabi Kepada Wanita Tua

Demikianlah cahaya imamah menyinari lisan suci Al-Jawad, salah satu keluarga Nabi Muhammad salam atas mereka. Maka sadarlah para musuh-musuh mereka dan orang-orang yang berniat buruk terhadap mereka, sehingga Allah menjadikan mereka termasuk orang-orang yang paling merugi. (QS. Al-Anbiya’ [21]: 70)

Anda dapat mengikuti kami di:

Instagram: https://instagram.com/SafinahOnline
Facebook: https://Facebook.com/SafinahOnline
Pinterest: https://pinterest.com/SafinahOnline
Telegram: https://Telegram.me/SafinahOnline
Twitter: https://Twitter.com/SafinahOnline
Vidio: https://vidio.com/@SafinahOnline

Written by
No comments

LEAVE A COMMENT