Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Kawin Kontrak dan Kontrak Kawin

Oleh Dr. Muhsin Labib, MA

Tentu masih segar dalam ingatan kita, kehebohan seputar kawin kontrak. Entah bagaimana awalnya, isu dan praktiknya seketika mengundang badai pro kontra. Sinisme hingga cemoohan pun berseliweran tanpa interupsi di banyak media.

Frasa “kawin kontrak” terlanjur dipahami khalayak umum, termasuk sebagian kalangan yang dianggap sebagai agamawan dan ulama, sebagai nikah sementara, pernikahan berjangka, atau menikah dengan niat cerai (bergantung persepsi masing-masing mazhab).

Baca: Mengabaikan Pernikahan Karena Takut Melarat

Namun, bila diperhatikan lebih seksama, pernikahan sementara sama sekali tidak identik dengan kawin kontrak. Tak hanya itu, predikat “kontrak” pada kata “nikah atau kawin”, disengaja atau tidak, merupakan sebentuk salah kaprah yang menyesatkan.

Semantik Kawin dan Nikah

Etimologi kawin adalah perpaduan. Sementara terminologinya dipahami beragam sesuai perspektif tertentu. Umumnya, “kawin” dianggap sebagai aktivitas biologis berupa proses pemaduan dan penggabungan sifat-sifat genetik untuk mewariskan ciri-ciri suatu spesies agar tetap lestari (disebut reproduksi). Proses ini acapkali menghasilkan dimorfisme seksual dalam suatu spesies sehingga dikenal adanya jenis kelamin jantan dan betina.

Karena dalam perkembangannya terbentuk pula sel-sel yang terspesialisasi berdasarkan tipe seksual, kemudian dikenalkan istilah sel kelamin (gametosit). Pada jantan biasanya disebut sel sperma (spermatozoid), dan pada betina disebut sel telur (ovum). Perkawinan sebagai peristiwa natural ini terjadi dalam dunia tumbuhan, hewan, dan manusia.

Baca: Syarat dan Mahar Nikah Mut’ah

Di tengah masyarakat manusia, perkawinan bersifat natural juga konvensional atau konstruktif. Sebagai aktivitas natural dalam kehidupan hewan juga manusia, ‘kawin” lebih dipahami sebagai interaksi seksual (intercourse) di antara dua individu. Namun secara konstruktif dan konvensional, kawin juga bermakna “nikah” lantaran berupa kontrak sosial administratif yang mengikat dua individu dengan menerima hak dan kewajiban secara mutual demi pemenuhan kebutuhan seksual, emosional, dan sosial. Kawin natural dalam spesies hewan juga manusia dan kawin konvensional berupa nikah yang hanya dilakukan manusia, secara umum disebut dalam bahasa Arab sebagai zawaj.

Intinya, “kawin” dalam pengertian hubungan yang dikontruksi oleh suatu perjanjian dan kontrak dengan persyaratan khusus berdasarkan ajaran agama Islam disebut “nikah”.

Semantik Kontrak

Kata “kontrak” merupakan unsur serapan dari bahasa Inggris, contract. Menurut KBBI, artinya adalah kesepakatan di antara dua orang atau lebih mengenai hal tertentu yang disetujui mereka.

Sebagai nomina (kata benda), “kontrak” memiliki dua arti:

  1. Perjanjian (tertulis) di antara dua pihak dalam perdagangan, sewa-menyewa, dan sebagainya
    Persetujuan dengan sanksi hukum di antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan suatu kegiatan.
  2. Persetujuan dengan sanksi hukum di antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan suatu kegiatan.

Semantik Akad

Baik dalam bahasa agama maupum bahasa Arab secara umum, “kontrak” diartikan sebagai عقد (‘aqd).

Etimologi عقد adalah ikatan erat yang kuat dengan dua simpul berupa benang atau lainnya. Terminologisnya adalah perjanjian dua pihak dengan ikatan agama yang disebut kontrak hukum keagamaan (عقد شرعى) yang di Indonesia lazim disebut akad nikah, akad jual beli, atau dalam fikih mu’amalah dan ikatan administratif disebut aqd idari (عقد ادارى).

Baca: Restu Nikah dari Orang tua

Kata akta atau akte juga diduga merupakan serapan dari aqd dan akad. Dalam KBBI, kata ak·ta adalah surat tanda bukti berisi pernyataan (keterangan, pengakuan, keputusan, dan sebagainya) tentang peristiwa hukum yang dibuat menurut peraturan yang berlaku, disaksikan, dan disahkan oleh pejabat resmi, baik berupa kelahiran, perkawinan, atau lainnya.

Atas dasar etimologi dan terminologi kata kontrak, maka frasa nikah kontrak, juga aqd dan kawin kontrak, lebih tepat dibalik menjadi kontrak nikah, yang dalam bahasa Arab disebut aqdun-nikah, bukan nikahul-aqd.

Kontrak Nikah bukan Nikah Kontrak

Akibat penggunaan salah kaprah ini, banyak pihak yang bertendensi intoleran dan sektarian terhadap Muslim Syiah menganggap semua pernikahan yang justru dilakukan non Syiah (terutama wisatawan Arab dari Saudi yang hampir pasti bermazhab Sunni dan tidak mengimani kemubahan atau kehalan nikah mut’ah) sebagai nikah mut’ah yang kemudian secara serampangan dilabeli “nikah kontrak”.

Padahal

  1. Semua nikah harus dilakukan dengan aqad (akad) alias kontrak. Semua nikah adalah buah kontrak.
  2. Nikah dengan kesepakatan cerai (yang dibenarkan salah satu mazhab Sunni dan kerap dilakukan pasangan sunni yang tak mengimani kehalalan nikah mut’ah atau nikah mu’aqqat) bukanlah nikah mut’ah.
  3. Istilah nikah kontrak karenanya tidak tepat. Justru yang tepat adalah kontrak nikah atau aqdun-nikah.

Tulisan ini tidak dilanjutkan dengan memaparkan dalil kemubahan nikah mut’ah karena tujuan penulis adalah meluruskan kesalahkaprahan frase kawin kontrak atau nikah kontrak.

Mudah-mudahan klarifikasi ini sedikitnya memberi kita wawasan dan sikap yang jelas agar tidak lagi terseret dalam ombang-ambing isu hingga fitnah murahan yang terkait dengannya.


No comments

LEAVE A COMMENT