Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Kedekatan Imam Ali dengan Rasulullah saw

Salah satu khutbah Imam Ali as, yang terdapat dalam Nahjul Balaghah ialah yang dikenal dengan “Syiqsyiqiyah”. Artinya, sebagaimana ucapan beliau setelah menyampaikan khutbah ini, kepada Ibnu Abbas: تلك شقشقة هدرت ثم قرت; “Hal itu seperti uap dengusan unta yang menyembur keluar tetapi (kemudian) mereda.”

Ayatullah Syaikh Makarim Syirazi dalam “Peyame Emam”, kitabnya yang memberi syarah atas Nahjul Balaghah, menjelaskan bahwa kalimat tersebut dalam bahasa Persia dikatakan: “Ialah kobaran api yang menjilat-jilat lalu meredam”.

Bagian awal dari khutbah ini, Imam mengungkapkan:
إَنّ محَلَیّ مِنهَا مَحَلّ القُطبِ مِنَ الرّحَی ; “Sesungguhnya posisiku dalam masalah khilâfah, ibarat poros batu penggiling (yang takkan berputar tanpanya). (Baca: Makna Al-Ghadir dalam Penjelasan Imam Khamenei)

Penggiling besar memerlukan poros yang kokoh, yang mampu menjaga tatanannya pada saat bergerak kencang dan dari penyimpangan serta pada saat terjadi kekacauan. Ia berputar demi kepentingan Islam dan muslimin. Khilafah bukanlah busana yang dikenakan menutupi badan, melainkan ibarat batu penggiling yang menggerakkan masyarakat dan ia memerlukan poros yang kuat.

Dasar Makna

Beberapa poin penting atau makna terkait yang disampaikan Ayatullah Makarim Syirazi di dalam Syarahnya sebagai berikut:

1-Bukti nyata atas makna tersebut ialah ucapan beliau selanjutnya:یَنحَدِرُ عنَیّ السّیلُ وَ لَا یَرقَی إلِیَ‌ّ الطّیر; “Bah (ilmu dan keutamaan) yang gemuruh senantiasa mengalir dari “kaki gunung” keberadaanku; dan burung (pemikiran) yang melambung tinggi takkan menggapai puncak eksistensiku.”

Dalam dua hal yang berlawanan itu; “یَنحَدِرُ” (turun) dan “یَرقَی” (naik), menjelaskan sebuah poin yang menarik, bahwa keberadaan Imam seperti gunung agung yang berpuncak tinggi menjulang. Alamnya di satu sisi, menampung siraman langit untuk dialirkan secara berkesinambungan ke dataran yang luas, menumbuhkan tanaman dan pepohonan. Di sisi lain, tak seekor burung pun yang terbang tinggi mampu melampaui ketinggiannya. (Baca: Berbahagialah Para Pencinta Fatimah Az-Zahra a.s.)

Kiasan tersebut mengisyaratkan pada apa yang diterangkan Alquran tentang peran gunung dalam memakmurkan bumi:

وَ أَلْقى‏ فِي الْأَرْضِ رَواسِيَ أَنْ تَميدَ بِكُمْ وَ أَنْهاراً وَ سُبُلاً لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak mengguncangmu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk.” (QS: an-Nahl 11)

Sekiranya rangkaian gunung besar itu tiada, niscaya umat manusia dalam ketidak tenangan oleh tekanan dalam perut bumi; daya tarik bulan dan matahari, mengkerut dan memuainya permukaan bumi; dan hembusan angin kencang. Air yang turun dari langit ke laut meluap ciptakan banjir besar, tanpa penampungan berupa sungai dan mataair.

Hikmah Keberadaan Imam

Keberadaan seorang imam yang alim, arif, teguh dan suci bagi setiap umat, menjadi sumber ketenangan dan berbagai keberkahan. Ungkapan Imam Ali as di atas mengisyaratkan bahwa tak seorang pun yang setinggi beliau dalam pemikiran, makrifat dan kepribadian. Selain Rasulullah saw yang adalah guru besar Imam, tiada orang yang menembus rahasia-rahasia keberadaan beliau. Para sahabat dan pengikutnya mendapat pencerahan dari samudera ilmu ini yang tepi-tepinya tak diketahui.

2-Poin penting lainnya, bahwa manfaat keberadaan sungai-sungai ialah menggerakkan “batu penggiling” (roda penggerak) itu, dan sungai-sungai itu bersumber dari pegunungan yang besar. Selain batu penggiling dibedakan dari gunung dalam kiasan ini, ungkapan di atas mengisyaratkan semua makna ini. Ialah bahwa “Aku adalah poros, batu penggiling dan daya penggeraknya”, yang tiada lain adalah ilmu. (Baca: Pentingkah Seorang Imam di Setiap Zaman? Lalu, Al-Mahdi?!)

3-Poin berikutnya, ialah bahwa puncak gunung menampung keberkahan-keberkahan langit berupa hujan atau salju. Kemudian secara bertahap menyirami tanah-tanah yang gersang. Merupakan isyarat pada keberadaan Imam Ali as yang dekat dengan keberadaan Sang Pembawa Wahyu dan Samudera Mahaluas, Nabi Muhammad saw.

Sebagian pensyarah menerangkan bahwa kata “Sail” (bah) dalam ungkapan Imam, mengisyaratkan ilmunya yang sedemikian luas, sebagaimana sabda Rasulullah saw tentang Imam Ali: انا مدينة العلم وعلي بابها; “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya.” (Ihqaq al-Haq, juz 5, hal 468-501)

Firman Allah dalam QS: al-Mulk 30:

قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَصْبَحَ ماؤُكُمْ غَوْراً فَمَنْ يَأْتيكُمْ بِماءٍ مَعينٍ

Katakanlah, “Jelaskanlah kepadaku jika sumber airmu menjadi kering, maka siapakah yang dapat mendatangkan air yang mengalir bagimu?” Mengenai ayat suci ini, Imam Ridha as menafsirkan “air yang mengalir” itu adalah ilmu Imam.” (Nur ats-Tsaqalain, juz 5, hal 386)

[*]

Baca: “Munajat Imam Ali Bin Abi Thalib as.

No comments

LEAVE A COMMENT