Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Keharusan Bertaubat (3)

attaubahDemikian pula halnya dengan sosok wanita agung, Hazrat Zainab as, yang dalam satu hari pada tragedi Karbala telah kehilangan anak-anak, saudara-saudara, dan kemenakan-kemenakannya, lalu ditawan dan digelandang bersama para wanita anggota keluarga besarnya bagai kawanan budak di bawah sengatan terik mentari serta menyaksikan keterbantaian Imam Husain as dan para pengikut setianya.

Pasca tragedi pembantaian Imam Husain as, dengan hati remuk redam Hazrat Zainab as menatap pilu wajah kemenakannya, Imam Ali Zainal Abidin al-Sajjad as, yang menjadi imam penerus Imam Husain as. Hazrat Zainab as berucap lirih:

مالي أراك تجود بنفسك يا بقيّة جدّي وأبي وإخوتي؟

“Apa yang terjadi padamu sehingga engkau seolah hendak mempersembahkan jiwamu, wahai pusaka kakek, ayah dan saudara-saudaraku?”

Beliau kemudian berusaha menentram kemekanannya itu dengan berkata;

سيأتي جمع لا تعرفهم فراعنة هذه الاُمّة ـ وهم معروفون في أهل السماوات ـ إنّهم يجمعون هذه الأعضاء المتفرّقة، فيوارونها وهذه الجسوم المضرّجة، وينصبون لهذا الطفّ علماً لقبر أبيك سيّد الشهداء لا يُدرَس أثره ولا يعفو رسمه على كرور الليالي والأيّام …

“Akan datang segolongan orang -yang tak diketahui oleh para Fir’aun (penindas) muka bumi ini tapi diketahui oleh para malaikat penghuni langit- yang akan mengumpulkan tubuh-tubuh yang tercincang dan berlumur darah ini lalu menguburnya. Mereka akan memasang pertanda untuknya di makam ayahmu. Penghulu para syuhada tidak akan musnah jejaknya, dan tak akan lekang oleh perjalanan waktu siang dan malam….”[1]

Dengan cara ini beliau dapat menentramkan hati Imam al-Sajjad as dan membebaskan dari keadaan remuk redam yang sangat menekan jiwanya. Sosok wanita seagung dan sesakral ini hingga dapat menerawang betapa nama para pahlawan Karbala akan senantiasa hidup dan agung sepanjang zaman juga sulit dibayangkan berbuat maksiat barang sesaat.

Memang, apa yang masyhur bahwa para figur yang maksum sejak zaman Rasulullah saw hanyalah 14 orang maksudnya ialah bahwa hanya mereka sajalah yang diciptakan dalam keadaan maksum sehingga tidak termasuk orang-orang lain yang berhasil menjaga diri dari dosa berkat tarbiyah dan ketekunan mengikuti jejak para insan maksum yang menjadi suri tauladannya, sehingga ketekunan ini pada gilirannya juga mendatangkan taufik dan inayah dari Allah SWT untuk keterlindungannya secara ketat dari segala dosa.

Sebagai penutup, ada ungkapan menarik yang layak dikutip di sini dari figur arif terdahulu yang meskipun tidak berpangkal pada para imam maksum namun mengandung ibrah atau pelajaran yang sangat mendidik. Ungkapan itu dimuat dalam Ihya’ Ulumuddin karya al–Ghazali[2] sebagai berikut;

Diriwayatkan dari sebagian salaf bahwa dia berkata;

“Setiap kali hamba berbuat maksiat maka tanah tempatnya berpijak selalu meminta izin (kepada Allah) untuk menelannya, dan langit sebagai atap di atas kepalanya juga meminta izin untuk menimpanya. Tapi Allah SWT berfirman kepada bumi dan langit, ‘Biarkanlah hambaKu dan berilah dia waktu karena sesungguhnya kalian tidak menciptakannya, dan seandainya kalian menciptakannya niscaya kalian akan menyayanginya. Bisa jadi dia akan bertaubat kepadaKu lalu Akupun mengampuninya. Bisa jadi dia akan berubah menjadi salih sehingga Akupun mengubah (keburukannya) menjadi kebaikan.’ Inilah makna firman Allah SWT:

إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالاْرْضَ أَنْ تَزُولاَ وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَد مِّن بَعْدِهِ ..

‘Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorangpun yang dapat menahan keduanya selain Allah..’”[3]

Ungkapan tersebut sesuai dengan doa sesudah shalat ziarah Imam Ridha as;

سيّدي لو علمت الأرض بذنوبي لساخت بي أو الجبال لهدّتني أو السماوات لاختطفتني أو البحار لأغرقتني…

“Wahai Junjunganku, seandainya bumi mengetahui dosa-dosaku niscaya ia akan menelanku, atau gunung akan menimpaku, atau langit akan menyambarku, atau lautan akan menenggelamkanku,…”[4]

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda;

ما من يوم طلع فجره ولا ليلة غاب شفقها إلاّ وملكان يتجاوبان بأربعة أصوات:  يقول أحدهما: يا ليت هذا الخلق لم يُخلَقوا. ويقول الآخر: يا ليتهم إذ خُلقوا علموا لماذا خُلقوا.  فيقول الآخر: ويا ليتهم إذ لم يعلموا لماذا خلقوا عملوا بما علموا. فيقول الآخر: ويا ليتهم إذ لم يعملوا بما علموا تابوا ممّا عملوا .

“Setiap hari ketika fajar menyingsing dan malam kehilangan cahaya lembayungnya dua malaikat berdialog dengan empat suara. Satu berkata; ‘Alangkah baiknya jika makhluk ini (manusia) tidak diciptakan.’ Yang lain berkata, ‘Alangkah baiknya seandainya mereka diciptakan lalu mereka mengetahui mengapa diciptakan.’ Yang satu berkata, ‘Alangkah baiknya seandainya mereka tidak mengetahui mengapa diciptakan tapi mengamalkan apa yang mereka ketahui.’ Yang lain berkata, ‘Alangkah baiknya jika mereka tidak mengamalkan apa yang mereka ketahui tapi bertaubat atas apa yang mereka kerjakan.’”[5]

(Selesai)

[1] Bihar al-Anwar, jilid 45, hal. 179.

[2] Dikutip oleh al-Mahajjah al-Baidha’ jilid 7, hal. 94.

[3] QS. Fathir [35]: 41.

[4] Mafatih al-Jinan, Ziarah Imam Ridha as, hal. 502.

[5] Dikutip oleh al-Mahjjah al-Baidha’, jilid 7, hal. 22 dari Ihya’ Ulumuddin karya al-Ghazali.

Post Tags
Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT