Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Keharusan Bertaubat (1)

attaubahTaubat bukanlah urusan yang mudah bagi kebanyakan orang, karena taubat berarti melawan arus kecenderungan kuat untuk memenuhi hawa nafsu, kesenangan, dan kepuasan jangka pendek dan sesaat, sementara kecenderungan demikian sangat dominan pada kebanyakan orang di tengah gemerlap dan godaan dunia. Betapapun demikian, bertaubat merupakan keharusan bagi setiap manusia.

Keharusan bertaubat merupakan konsekuensi dari keharusan beriman. Dengan kata lain, filosofi taubat tak ubahnya dengan filosofi keimanan dan ketaatan. Orang yang memandang filosofi keimanan dan ketaatan sebagai pelarian dari neraka dan hasrat kepada surga maka filosofi dan faktor yang sama juga berlaku pada taubat. Karena satu-satunya jalan di mana Allah berjanji  atau “mewajibkan atas DiriNya” untuk memberikan ampunan dan Dia tidak mungkiin akan melanggar janji ini ialah kebertaubatan hambaNya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT;

إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَة ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيب فَأُوْلَـئِكَ يَتُوبُ اللّهُ عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللّهُ عَلِيماً حَكِيماً.

“Sesungguhnya (menerima) taubat adalah kewajiban bagi Allah bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[1]

Adapun ampunan diberikan tanpa didahului taubat adalah ampunan yang memang akan diberikan oleh Allah SWT, tapi Dia tidak mewajibkan atas DiriNya untuk memberikannya, melainkan Dia gantungkan pada kehendaknya, sebagaimana disebutkan dalam firmanNya;

إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.”[2]

Syafaat manusia-manusia suci juga demikian, Dia gantungkan kepada keridhaan-Nya, sebagaimana disebutkan dalam firmanNya;

وَلاَ يَشْفَعُونَ إِلاَّ لِمَنِ ارْتَضَى.

“Dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai (Allah).”[3]

يَوْمَئِذ لاَّ تَنفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلاَّ مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمنُ وَرَضِيَ لَهُ قَوْلاً.

“Pada hari itu tidak berguna syafa’at, kecuali (syafa’at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.”[4]

مَا مِن شَفِيع إِلاَّ مِن بَعْدِ إِذْنِهِ.

“Tiada seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya.”[5]

وَلاَ تَنفَعُ الشَّفَاعَةُ عِندَهُ إِلاَّ لِمَنْ أَذِنَ لَهُ.

“Dan tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa’at itu.”[6]

وَكَم مِّن مَّلَك فِي السَّمَاوَاتِ لاَ تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئاً إِلاَّ مِن بَعْدِ أَن يَأْذَنَ اللَّهُ لِمَن يَشَاء وَيَرْضَى.

“Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikitpun tidak berguna, kecuali sesudah Allah mengijinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya).”[7]

مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إلاَّ بِإِذْنِه.

“Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya?”[8]

Dengan demikian, satu-satunya jalan di mana Allah SWT mutlak berjanji untuk memberikan ampunan adalah kebertaubatan hambaNya.

Imam Ali bin Abi Thalib as berkata;

لا شفيع أنجح من التوبة.

“Tak ada pemberi syafaat yang lebih ampuh daripada taubat.”[9]

Demikian pula, orang yang memandang filosofi keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT adalah penyempurnaan diri dan pembersihan jiwa maka perkaranya menjadi lebih jelas daripada filosofi pertama. Filosofi ini juga mendorong manusia kepada taubat, karena taubat adalah ibarat mata air yang membersihkan relung kalbu dari noda dan kotoran. Imam Muhammad al-Baqir as berkata;

ما من عبد إلاّ وفي قلبه نكتة بيضاء، فإذا أذنب ذنباً خرج في النكتة نكتة سوداء، فإن تاب ذهب ذلك السواد، وإن تمادى في الذنوب زاد ذلك السواد حتّى يغطّي البياض، فإذا غطّى البياض لم يرجع صاحبه إلى خير أبداً، وهو قول الله عزّ وجلّ: ﴿… بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِم مَا كَانُوا يَكْسِبُون﴾.

“Tiada hamba kecuali di dalam kalbunya terdapat noktah putih yang ketika dia berbuat dosa maka dalam noktah putih ini keluar noktah hitam. Jika dia bertaubat maka hilanglah noktah hitam itu, sedangkan jika berkelanjutan dalam dosa maka bertambahlah noktah hitam itu hingga menutupi noktah putih. Ketika noktah putih sudah tertutupi penuh maka pemiliknya tak akan kembali kepada kebaikan lagi untuk selamanya. Dan inilah firman Allah Azza wa Jalla; ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka[10][11].

(Bersambung)

[1] QS. al-Nisa’ [4]: 17.

[2] QS. al-Nisa’ [4]: 48.

[3] QS. al-Anbiya’ [21]: 28.

[4] QS. Thaaha [20]: 109.

[5] QS. Yunus {10]: 3.

[6] QS. Saba’ {34]: 23.

[7] QS. al-Najm {53]: 26.

[8] QS. al-Baqarah {2]: 255.

[9] Bihar al-Anwar, jilid 6, hal. 19.

[10] QS. Al-Muthaffifin [83]: 14.

[11] Al-Wasa’il, jilid 15, hal. 303, Bab 40 di antara Bab-Bab Jihad al-Nafs, Hadis 16. Hadis serupa no. 12, hal. 302. Ayat

Post Tags
Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT