Seseorang datang kepada Imam Ja’far as-Sadiq a.s. seraya berkata, “Aku jenuh dengan dunia, karenanya aku berharap kematian kepada Allah.” Imam berkata, “Berharaplah pada kehidupan agar dapat melakukan ketaatan bukan untuk bermaksiat. Seandainya Anda hidup dan taat lebih baik dari Anda mati, tidak bermaksiat tetapi tidak taat pula.” [1]
Banyak riwayat dari Ahlulbait yang datang kepada kita berfokus pada perbaikan cara pandang insan terhadap dunia ini.
Menaruh perhatian pada dunia dan mengabaikan akhirat itu suatu kesalahan yang menyebabkan manusia terjerembab di dalamnya. Dengan cara ini, manusia telah melenceng dari jalan ketaatan kepada Allah sebagai jalan hidup mereka.
Baca: Wara’ dan Takwa (6/Selesai)
Sebaliknya, mengabaikan dunia sama sekali dan tidak berupaya dalam mencari rezeki yang dihalalkan Allah Swt di dunia juga kesalahan lain yang sebagian manusia juga terjerembab di dalamnya.
Hadis Imam Ja’far as-Sadiq a.s. di atas menjadi penjelasan bahwa usia jika bertambah, ia harus diisi dengan perbekalan akhirat melalui komitmen pada ketaatan kepada Allah. Sementara perhatian terhadap akhirat dan kecintaan kepada Allah itu sendiri bukan berarti agar mengharapkan kematian.
Cara yang tepat dalam memandang dunia ini ialah menjadikannya sebagai kesempatan untuk berbekal diri bagi kehidupan akhirat, entah dengan beramal saleh yang dicatat dalam lembaran amal kebajikan, maupun dengan menghindarkan diri dari pelbagai keburukan.
Baca: Wara’ dan Takwa (5)
Suatu hari Rasulullah Saw menjenguk seseorang yang sedang sakit. Dia mengeluhkan kepada beliau tentang penyakit yang dideritanya seraya mengharapkan kematian. Lalu Rasulullah Saw bersabda, “Usah Anda harapkan kematian! Jika Anda seorang yang baik, tingkatkanlah perbuatan baikmu. Jika Anda seorang yang buruk, semoga ditunda kematianmu agar Anda dapat memohon keringanan (dari dosa dengan meninggalkan keburukan). Karena itu, janganlah mengharapkan kematian.” [2]
Seorang insan yang memanfaatkan dunia ini sebaik-baiknya, dia akan sukses memperoleh dunia maupun akhirat.
Baca: Agama Hanya Kedok, Tujuan Mereka adalah Dunia
Amirul Mukminin a.s. berkata, “Demikian pula, seorang Muslim yang berlepas diri dari kedurhakaan menantikan satu dari dua hal yang baik; (1) panggilan Allah, apa saja yang diberikan Allah itu terbaik baginya; (2) rezeki Allah, yaitu mempunyai anak dan harta, beserta agama dan kehormatannya. Sesungguhnya harta dan anak-anak adalah kebun dunia ini, sedang amal kebajikan adalah kebun akhirat. Kadang-kadang Allah menggabungkan semua itu pada satu orang suatu kelompok.” [3]
Situasi seseorang yang mengharapkan kematian disebabkan satu dari dua hal:
- Musibah yang dialaminya bertubi-tubi. Manusia cenderung lalai dan kecewa terhadap hakikat dunia ini yang tiada keamanan di dalamnya.
Amirul Mukminin a.s. menyifati dunia sebagai berikut, “Rumah ini dikelilingi petaka dan terkenal karena sifat penipunya. Keadaannya tidak langgeng dan para penghuninya tidak tinggal aman.” [4]
Dunia ini tidak kekal kebahagiaannya karena ia bukan tempat tinggal sejati bagi manusia. Amirul Mukminin a.s. menasihati kita tentang dunia, “Kesenangannya tak langgeng, kesukarannya tidak berakhir, dan petakanya tidak berhenti.” [5]
- Ajakan rindu kepada surga. Hal ini suatu yang sangat terpuji. Hanya saja tidak dimaksudkan untuk enggan hidup dan tidak memanfaatkan kehidupan itu untuk akhirat.
Amirul Mukminin a.s. mengisyaratkan untuk kita, “Melalui dunia ini akhirat terjaga.” Inilah dunia sebagai media pencapaian tingkat kedekatan kepada Allah Swt.
Sebagai penutup pembahasan ini, lagi-lagi Amirul Mukminin memberikan wejangannya untuk kita agar meraih apa yang diraih orang-orang bertakwa berupa dunia dan akhirat.
Amirul Mukminin a.s. menyifati orang-orang yang bertakwa sebagai berikut:
“Ketahuilah, wahai para hamba Allah, bahwa orang-orang yang bertakwa kepada Allah telah ikut serta dalam kegembiraan dunia yang fana ini maupun akhirat. Mereka ikut serta dengan manusia dunia dalam urusan duniawi mereka, sementara manusia dunia tidak menyertai mereka dalam urusan akhirat. Mereka hidup di dunia ini dalam cara hidup yang terbaik dan memakan makanan yang paling terpilih dan karenanya, mereka menikmati di sini segala yang dinikmati orang yang hidup enak, dan mengambil darinya hal-hal yang diraih orang sombong dan takabur.
Kemudian mereka berpisah darinya setelah mengambil cukup bekal untuk membawa mereka ke ujung perjalanannya dan setelah melakukan transaksi yang menguntungkan. Mereka merasakan nikmatnya menolak dunia di dunia ini, dan mereka yakin bahwa pada hari yang akan datang dalam kehidupannya yang berikut, mereka akan menjadi tetangga Allah, saat urusan mereka tidak akan ditolak dan bagian kesenangan mereka tidak dikurangi sedikit pun.” [6]
[1] Bihār al-Anwār, j. 6, h. 128
[2] al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummāl, j. 15, hadis 42804 dan Syekh at-Thusi, al-Âmālī, h. 385
[3] Ibnu ‘Asakir, Tārīkh Madīnah Dimasyq, j. 23, h. 564 dan Nahj al-Balāghah, khotbah 23
[4] Ihyā’ ‘Ulūmiddīn, j. 3, 208, CV. Karya Toha Putra, Semarang, Indonesia dan Nahjul Balāghah, khotbah 226
[5] Nahjul Balāghah, khotbah 230
[6] Nahjul Balāghah, surat ke-27