Perlu dijelaskan suatu hal yang sangat penting di sini, yaitu sebagian dari cendekiawan modern kita berusaha dengan penuh semangat membedakan dan membagi Syiahisme atau Tasyayyu menjadi dua macam.
- Tasyayyu’ Ruhi Maknawi (Syiah dalam moral dan spiritual)
- Tasyayyu’ Siasi (Syiah dalam masalah soslal politik)
Mereka juga dengan susah payah ingin membuktikan bahwa Ahlulbait, sejak setelah pembantaian Imam Husain a.s beserta keluarga dan sahabatnya di padang Karbala, telah meninggalkan aktifitas politik. Mereka menganggap bahwa Ahlulbait hanya menyibukkan diri dengan berkhalwat dan beribadat serta memberi wejangan dan nasihat kepada masyarakat.
Tasyayyu’ sejak lahir tidak pernah tergambar sebagal garis haluan spiritual saja tetapi ia lahir sebagai konsep. Sebuah konsep yang telah dicanangkan Rasul demi kelancaran dakwah di bawah kepemimpinan Ali bin Abi Thalib setelah Rasul wafat baik dalam segi intelektual ataupun dalam segi politik sosial secara sama rata, sesuai dengan kondisi yang telah memproses timbulnya paham itu.
Baca: Ormas Ahlulbait Indonesia Meluncurkan Buku Manifesto Mengenal Gerakan Syiah
Tasyayyu’ secara utuh, mengingat kedua hal penting itu (politik dan spiritual) tidak terpisah dari Islam secara utuh. Dengan demikian kita dapat memastikan bahwa Tasyayyu’ adalah konsep yang disajikan guna menjaga kelancaran dakwah setelah Nabi. Masa depan yang memerlukan adanya suatu pimpinan intelektual dan soslal politik dalam rangka menelusuri perkembangan Islam secara serentak.
Dan sejak semula sudah terdapat orang-orang yang mendukung kepemimpinan Imam Ali sebagai individu satu-satunya di tengah-tengah masyarakat Islam yang mampu memainkan peranan Khilafah dan melanjutkan kepemimpinan dari ketiga orang yang telah mendahuluinya. Rasa hormat dan simpati itulah yang mendorong hati masyarakat menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya setelah khalifah ketiga terbunuh. Rasa cinta mereka itu bukanlah Syiahisme yang bersifat spiritual ataupun politik, sebab Tasyayyu’ adalah rasa yakin dan iman bahwa Ali adalah pengganti secara langsung kepemimpinan Rasulullah. Tasyayyu’ adalah sikap mendukung Imam Ali secara menyeluruh sebagai pemimpin setelah Rasul. Maka tidak dapat kita seenaknya membagi Tasyayyu’ menjadi dua pengertian saja secara terpisah.
Kita ketahui bahwa diantara para sahabat besar ada yang mendukung dan berpaham Syi’i dalam segi intelektual dan politik sosial seperti Salman AI-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Ammar bin Yasir, dan lain-lain. Tapi sikap mengikuti secara mutlak atau Tasyayyu’ mereka tidak terbatas pada segi sosial politik saja. Tetapi mereka beriman secara sempurna bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pengganti Rasul dan pengemban dakwah setelahnya dan berfungsi sebagai pemimpin intelektual dan politik sosial. Sikap iman mereka dalam hal intelektual dan pemikiran tercermin dalam Tasyayyu’ spiritual mereka yang telah kita jelaskan tadi. Adapun sikap mengikuti dan iman mereka dalam sosial politik, itu tersirat dalam sikap protes terhadap kepemimpinan dan khalifah Abu Bakar dan partai berkuasa yang telah mengambil hak kekhilafahan Ali.
Baca: Kontribusi Mazhab Syiah untuk Peradaban Islam
Sebenarnya pendapat yang memisahkan Tasyayyu’ moril dari Tasyayyu’ politik tidak timbul dan dihasilkan oleh logika seorang yang merasa dirinya sebagai seorang Syiah. Lontaran ini mereka keluarkan akibat dari rasa putus asa dan apatis melihat kenyataan yang ada dihadapannya dan merupakan pengalaman dari jiwa dan semangat Tasyayyu’ yang mulai luntur dan lenyap yang tidak lagi melihat Tasyayyu’ sebagai konsep yang dipaparkan untuk melanjutkan kepemimpinan Islam dalam rangka membina ummat dan menyempurnakan target perombakan besar-besaran yang telah digariskan Rasul yang akhirnya condong surut dan berubah menjadi ajaran dan bibit ideologi yang tersimpan di dalam lubuk hati dan menjadikannya sebagai tongkat dan pembimbing dalam mencapai cita-cita dan angan-angannya saja.
Dari sini kita dapat menyadari mengapa sampai para Imam dari keluarga Rasul dan cucu Imam Husain meninggalkan gelanggang sosial politik dan memisahkan diri dari dunia dengan semua keributan dan romantikanya yang bermacam-macam. Kita lihat Tasyayyu’ yang merupakan konsep pengembangan dakwah dan pelanjut kepemimpinan Islam dan bahwa manifestasi dan misdak dari kepemimpinan Islam itu adalah aksi perombakan yang telah diprakarsai demi penyempurnaan upaya membina umat atas dasar prinsip dan ajaran Islam.
Jika itu semua kita sadari, maka tidak mungkin kita akan beranggapan bahwa para Imam dari Ahlulbait Rasul tidak lagi memperhatikan segi sosial politik. Sebab dengan tidak memperhatikan segi ini berarti mereka tidak antusias kepada Tasyayyu’ itu sendiri. Dan ini anggapan nihil bahwa para Imam itu meninggalkan kancah sosial politik itu berdasarkan alasan bahwa para Imam tersebut tidak lagi mengangkat senjata dalam menanggapi situasi yang ada pada saat itu.
Anggapan seperti ini adalah cermin kepicikan dan keterbatasan dalam memahami dan mengartikan aktifitas polItik sebagai aksi pemberontakkan militer dan angkat senjata saja. Dan kita mempunyai nash dan data otentik yang banyak dari pada Imam yang menunjukan bahwa para Imam a.s. selalu siaga dan siap terlibat dalam aksi militer bila terdapat di sisi mereka pendukung dan pengikut-pengikut yang berani dan setia disampingnya bila ada kekuatan yang dapat menjamin tercapainya cita-cita Islam tersebut.
Baca: Surat Edaran Dewan Syura AHLULBAIT INDONESIA tentang Dinamika Internal Komunitas Syiah
Jika kita selalu memantau dengan teliti perjalanan gerakan Syiahisme kita akan berkesimpulan bahwa para Imam dari Ahlulbait Rasul berpandangan bahwa menerima tampuk kekuasaan dengan sendirinya tidak dapat menunjang dan menciptakan perombakan secara islami, hal ini akan tercapai bila kekuasaan tersebut didukung dan dibangun atas dasar pondasi dan pangkalan yang kokoh serta sadar akan tujuan dan cita-clta kepemimpinan dan yakin akan kebenaran teori itu serta menjelaskan sikap mereka kepada masyarakat disamping mereka harus tabah menghadapi risiko penekanan dan intimidasi dari luar dan dalam.
Pada pertengahan abad pertama setelah wafatnya Rasul, para Imam a.s. selalu berusaha mengambil kembali kekuasaan dengan cara yang mereka anggap benar, sebab mereka masih yakin adanya tonggak-tonggak massa yang sudah sadar atau sedang menuju ke arahnya baik dan pihak Muhajirin Anshar maupun dari pihak tabi’in. Tapi setelah berjalan lebih dari setengah abad dan setelah rasa optimisme itu larut sendiri di kalangan mereka ditambah dengan hadirnya generasi-generasi loyo di tengah-tengah arus penyelewengan yang melanda pada saat itu. Maka sudah menjadi suatu hal yang pasti bahwa apabila gerakan Syiah menerima kekuasaan pun itu tidak akan membuahkan hasil dan mewujudkan cita-cita yang diidamkan, karena tidak didukung dengan adanya pangkalan dan tonggak-tonggak massa yang sadar dan siap untuk berkorban.
Menghadapi kenyataan ini diperlukan dua tindakan: Bertindak demi terciptanya tonggak dan sendi-sendi rakyat yang sadar sehingga dapat menyiapkan saat yang tepat dan menguntungkan untuk mengambil kembali kekuasaan. Atau menggerakkan dan menghidupkan nurani dan emosi umat Islam serta menjaga semangat dan nurani tersebut, sehingga dapat melindungi mereka dari segala macam sikap lunak yang bisa menjatuhkan harga diri dan identitas mereka selaku umat Islam dari pihak penguasa yang zalim.
Tindakan pertama adalah tugas yang telah dijalankan den para Imam dengan sendirinya. Dan tindakan kedua adalah tugas yang harus dllakukan oleh beberapa tokoh dan kader revolusioner alawi yang selalu rajin – dengan pengorbanan yang tidak sedikit – melindungi nurani dan semangat jiwa Islami. Dan sebagian orang mukhlis daripada mereka mendapat dukungan moril dari para Imam.
Imam Ali bin Musa Ar-Ridha pernah berkata: “Aku pernah diberitahu Ayahku Musa bin Ja’far bahwa ia dari ayahnya Ja’far berkata: ‘Semoga Allah menurunkan rahmat-Nya kepada pamanku Zaid. la meminta kerelaan dan restu dari pihak keluarga Muhammad kemudian ia berhasil dan Allah penuhi permohonannya. la berkata: ‘Saya mengajak kalian agar rela akan keluarga Muhammad:’” (Wasa’il As-Syi’ah. Kitab al-Jihad).
Baca: Salat Malam Raghaib: Salah Satu Titik Temu Ritual Sunnah dan Syiah
Akhirnya kita ketahui bahwa tindakan dan sikap para Imam meninggalkan aksi militer dan pemberontakan fisik secara langsung melawan penyelewengan-penyelewengan itu tidak berarti mereka meninggalkan secara menyeluruh fungsi segi sosial politik serta memisahkan diri dari urusan kekuasaan dan cita-cita mengambilnya kembali lalu hanya sibuk berkhalwat dan melakukan ibadah ritual, tapi sikap demikian ini menggambarkan dan menandakan perbedaan yang mencolok antara konsep tindakan yang berkenaan dengan masalah sosial politik yang ditentukan oleh kondisi objektif dan ditunjang dengan pemahaman yang mendasar tentang esensi dan kandungan yang ada pada tindakan dan aksi perombakan serta metode dan cara mewujudkannya dalam bentuk yang hadir dan terjelma dalam realitas.
*Dikutip dari buku Kemelut Kepemimpinan Pasca Wafat Nabi – Ayutullah Baqir Sadr yang diteremahkan oleh Ustaz Muhsin Labib