Agama di Eropa pasca perselisihan antara ilmu dan agama, dipandang sebagai candu masyarakat. Mereka menjadi tidak tertarik pada agama, dan beralih pada ilmu pengetahuan, dengan meninggalkan soal-soal mendasar tentang hakikat manusia, di antaranya ialah tentang perjalanannya yang berujung pada kembali kepada Sang Pencipta dan hubungan antara keduniaan dia dan keakhiratannya.
Seorang dari mereka -sebagai contoh yang menolak agama dan hanya berpegangan pada ilmu pengetahuan- ialah George Minois penulis buku “Sejarah Neraka”. Menurut penerjemahnya, dia di dalam bukunya seakan ingin menyimpulkan bahwa neraka itu tahayul, dan keyakinan akannya merupakan produk otak manusia. (Baca: “Almarhum Syeikh Behjat: Perselisihan Terjadi dari “Hasbuna Kitaballâh”“)
Dengan demikian dia harus mengingkari kesaksian sejarah atas adanya kegelisahan yang dialami setiap manusia di sepanjang sejarah, bahwa manusia tak kenal kematian dirinya. Ia hanya mengenal keabadian, karena fitrah atau kecenderungannya yang alami kepadanya. Ma’ad yang di dalamnya terdapat surga dan neraka, adalah salah satu prinsip semua agama samawi.
Peran Meyakini Ma’ad
Keyakinan adanya ma’ad atau hari kebangkitan selalu disebut-sebut oleh setiap muslim di dalam shalatnya, ialah pada saat membaca surat al-Fatihah, ia mengatakan: “mâliki yaumiddîn”, yang artinya (Allah) Yang menguasai hari pembalasan.
Keyakinan ini membawa pengaruh di dalam kehidupannya sehari-hari, bahwa jika setiap gerak dan diamnya tak luput dari perhitungan di kemudian hari dalam kehidupan yang lain, dan dari balasan atas apa yang dia perbuat. Sebagaimana makna kebahasaan bagi agama itu sendiri ialah “kamâ tadînu tudânu”, yang artinya (kira-kira), sebagaimana yang kamu perbuat akan kamu terima balasannya. (Tonton: “VIDEO-Imam Ali as dan Balasan Kebajikan yang Berlipat Ganda“)
Maka, ia akan berusaha untuk tidak bertindak sebelum dipastikan apakah benar yang akan dia perbuat, atau apakah akan membawa manfaat dan keselamatan dirinya di hari kelak.
Pembuktian Adanya Ma’ad
Beberapa perkara yang mendasar dapat menjadi bukti atas keberadaan ma’ad atau hari kebangkitan, hari pembalasan dan atau kehidupan yang di dalamnya setiap manusia menerima balasan atas amal perbuatannya selama hidup di dunia. Di antaranya ialah:
Akal dan wahyu mengatakan bahwa Allah Maha adil. Keadilan-Nya, pertama memastikan adanya hari kebangkitan. Sebab, di dunia -yang terbatas dari segala sisi- ini tiada balasan dan hukuman yang setimpal bagi kaum lalim. Hukuman duniawi tidak memenuhi apa yang merupakan keadilan yang sesungguhnya terhadap si pembunuh masal, misalnya.
2-Hikmah Allah:
Sekiranya tiada ma’ad, hal ini bertentangan dengan hikmah ilahiah bahwa Allah Yang Maha bijaksana memiliki tujuan dan tiada kesia-siaan di dalam menciptakan alam semesta ini dan manusia. Allah berfirman:
“Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”[1]
Manusia sejak awal keberadaannya meyakini adanya kehidupan setelah kematian. Kendati mengenai rinciannya terkadang terbawa oleh imajinasi-imajinasi, tetapi jiwa manusia merasakan adanya kehidupan itu yang tak berakhir.
Sebagian Perilaku Para Pengingkar Ma’ad
Di sana sebagian orang yang mengingkari ma’ad, tetapi prilaku mereka –disadari atau tidak- tidak mengingkarinya. Fenomena yang kita lihat, misalnya, mereka memberi hormat terhadap kuburan orang-orang besar atau yang mereka cintai.
Terkadang mereka menyebut-nyebut nama mereka yang sudah mati. Untuk mengenang mereka, seseorang memberi nama anak-anaknya dengan nama-nama mereka. Sebagian mereka memumikan orang yang sudah mati, dan menjaganya di dalam istana-istana seperti piramida Mesir. (Baca: “Kematian Manusia di Tangan Siapa?“)
Kecenderungan pada keabadian, di samping kadang muncul perasaan asing dan seorang diri di dunia, menunjukkan adanya kehidupan yang lebih luas dan kekal. Dunia bagi manusia cepat berlalunya, dan setelah melewatinya terlihat sangat singkat waktunya. Sekiranya ia dapat membahagiakan diri beserta anak dan isterinya, hal ini takkan berlangsung lama. Lalu pada saat merenungi dirinya ia dapati dirinya yang lemah dan bergantung.
Soal-soal yang Mendasar
Tak jarang manusia bertanya pada dirinya, untuk semua keberadaan ini, atau apa tujuan penciptaan semua ini? Mengapa aku ada? Apa yang harus kuperbuat, dan sebagainya. Dikatakan, terkadang lantaran tak menemukan jawaban-jawaban yang memuaskan, menimbulkan rasa tak berarti sampai batas berniat akan melakukan bunuh diri.
Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah mengungkapkan: “Allah merahmati orang yang mengetahui dari mana ia datang, di mana ia berada dan akan kemana ia pergi? (Baca: “Kedekatan Imam Ali dengan Rasulullah saw“)
Sekiranya di luar sana terdapat jawaban bagi setiap kecenderungan dan kebutuhan, misalnya rasa haus dijawab dengan air, rasa lapar dengan makanan dan syahwat dengan pernikahan. Perasaan asing dan cenderung pada keabadian pun akan terjawab dengan ma’ad (hari kebangkitan), seperti halnya orang saat melangkah, ditanya: Kemana engkau akan menuju?
Namun di sana ada jawaban-jawaban salah dan tidak permanen bagi kecenderungan fitri, yang menyeret manusia pada kesia-siaan, cinta harta dan jabatan. Demikian itu selalu gagal menghapus perasaan berkekurangan. Para nabi memberikan jawaban-jawaban yang riil dan permanen, dengan membimbing umat manusia kepada ketaatan kepada Sang Pencipta alam semesta dan mengungkapkan tentang tempat yang abadi.[*]
Catatan:
[1] (Q.S: al-Mukminun 115)
Baca: “Belajar Mencintai Alquran dari Sayyidah Fatimah Az-Zahra’ a.s.“