“Di antara orang-orang itu, ada yang mengatakan: ‘kami beriman kepada Allah dan hari akhir.’ Padahal mereka bukan orang-orang yang beriman. Mereka berusaha menipu Allah dan orang-orang yang beriman. Tetapi mereka tidak menipu siapapun kecuali diri mereka sendiri. Sedangkan mereka tidak merasa.” (QS. Al-Baqarah[2]: 8-9)
Sebagai kitab petunjuk, Al-Qur’an menjelaskan kepada kita sifat-sifat orang-orang Mukmin, Kafir dan Munafik, supaya kita dapat mengenali diri kita sendiri, termasuk golongan yang manakah kita ini. Petunjuk tersebut juga berguna agar kita mengenali orang lain sehingga kita dapat menentukan sikap yang sesuai terhadap mereka.
Sejak awal surah Al-Baqarah hingga ayat 8, ada 4 ayat yang berbicara tentang orang-orang Mukmin, dua ayat tentang orang-orang kafir, sedangkan ayat ke-8 dan seterusnya (berjumlah 13 ayat) berbicara tentang kaum munafik, yaitu meraka yang tidak memiliki keimanan, tapi tidak pula berterus-terang menentang kebenaran. Mereka tidak mempunyai iman di dalam hati, sementara lidah mereka tidak pula menyatakan kufur.
Setelah Rasulullah SAW berhijrah dari Makkah ke Madinah, dan musyrikin mengalami kekalahan berat dalam perang menghadapi Muslimin, sebagian rakyat Makkah dan Madinah, meskipun hati mereka tak pernah menerima Islam, namun demi menyelamatkan jiwa dan harta mereka, atau demi mencapai posisi dan kedudukan di antara Muslimin, mereka mengakui secara lahir sebagai Muslim, dan memoles diri dengan warna yang sama sebagaimana Muslimin lain.
Baca: “Ternyata Syi’ah dan Ahlussunnah Sependapat“
Hipokritas, hati bercabang, dan bermuka dua, pada dasarnya adalah fenomena yang selalu dihadapi oleh setiap revolusi dan perubahan-perubahan sosial. Pesan moralnya: jangan sekali-kali mengira bahwa semua orang yang menunjukkan keimanan dan kesetiaan serta kebersamaan, lalu hatinya pun memiliki konsistensi yang sama. Betapa banyak orang-orang yang pada lahirnya sangat Islami, namun di dalam hati, sangat memusuhi Islam. Iman adalah perkara hati, bukan lidah. Oleh sebab itu, untuk mengenali orang-orang tertentu, kita tidak bisa mencukupkan dengan pernyataan-pernyataan lahiriah mereka.
Karena itu, bisa jadi di tengah-tengah komunitas pengikut Ahlul Bait pun ada orang-orang munafik. Tentu yang paling harus diwaspadai adalah, jangan sampai kita sendiri menjadi orang munafik itu. Na’udzu billah min dzalik!
Baca: “Tafsir: Kerusakan yang Ditimbulkan Orang Munafik“
Kita bisa memperluas fenomena kemunafikan ini pada segala macam konsep kebaikan lainnya. Dalam hal kehidupan berbangsa dan bernegara, misalnya, akan kita temukan kaum munafik Pancasila, munafik demokrasi, munafik pembela rakyat kecil, dan lain sebagainya.
Menipu Diri Sendiri
Munafikin mengira bahwa mereka adalah orang-orang yang cerdik dan pandai; dan merasa bahwa dengan menunjukkan keimanan, mereka akan menipu Tuhan orang-orang Mukmin (yukhadi’uunallah …), serta memperoleh perlakuan dan hak-hak yang sama sebagai Muslimin yang lain. Mereka berusaha menipu Nabi dan orang-orang beriman, sampai jika datang saat yang tepat mereka pun akan melancarkan serangan mereka terhadap Islam. Akan tetapi Allah SWT mengetahui kekufuran batin dan hipokritas mereka.
Menarik sekali bahwa menurut ayat ini, kaum munafik itu tidak sedang menipu Allah dan kaum Mukminin, melainkan sedang menipu diri sendiri.
Bayangkan bahwa Anda adalah seorang pasien yang datang kepada dokter. Lalu dokter tersebut memberikan perintah-perintah atau resep obat yang mesti Anda minum. Tapi, Anda tidak mentaati dan berbohong kepada dokter dengan mengatakan bahwa obat-obat yang diberikan sudah Anda makan, padahal Anda tidak memakan obat tersebut.
Dengan berperilaku demikian, Anda menyangka bahwa Anda telah menipu dokter. Padahal, Anda hanya menipu dan menimpakan kerugian pada diri Anda sendiri. Anda akan tetap sakit, dan mungkin malah makin parah.
Baca: “Fatwa Seputar Kafir“
(Dikutip dari rubrik Tafsir, Buletin Al-Wilayah, edisi 10, Maret 2017, Jumada Al-Akhira 1438)