Jika kita ingin mengenal kebesaran seseorang yang pernah hidup di masa lalu, salah satu caranya adalah dengan memperhatikan kesaksian para tokoh sejarah tentang kehidupannya, keberagamaannya, keilmuan dan berbagai keutamaannya.
Imam Jakfar bin Muhammad yang bergelar As Shadiq adalah seorang cucu Nabi Muhammad Saw yang nasabnya bersambung dengan Nabi melalui empat orang. Beliau adalah putra Imam Muhammad al Baqir, putra Imam Ali Zainal Abidin, putra Imam Husain, putra Ali bin Abi Thalib yang merupakan suami Sayyidah Fatimah Az Zahra putri Nabi Muhammad Saw.
Beliau diyakini oleh pengikut Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Syiah 12 Imam) sesuai dengan hadis Nabi sebagai Imam yang kelima, namun kelompok Syiah ini juga dikenal dengan nama beliau, yakni “Syiah Jakfariyah”.
Baca: VIDEO: Ketegasan dan Keadilan Imam Ja’far as-Shadiq as
Untuk lebih mengenal keutamaan Imam Jakfar, kami nukil kesaksian para tokoh sejarah tentang beliau.
Zaid bin Ali Zainal Abidin, salah seorang paman beliau berkata, “Di setiap zaman selalu ada seorang laki-laki dari kami Ahlulbait yang menjadi hujjah Allah atas seluruh makhluk dan di zaman kami, beliau adalah putra saudaraku, Jakfar yang tidak akan sesat siapa yang mengikutinya dan tidak akan mendapatkan petunjuk siapa yang meninggalkan atau menyelisihinya.” ( Al-Kafi: 1/306)
Malik bin Anas berkata, “Belum pernah mata melihat, telinga mendengar dan terlintas pada hati manusia seseorang yang lebih baik daripada Jakfar bin Muhammad Al-Sadiq dari sisi ilmu pengetahuan, ibadah dan kesalehan” (Tahdziybu Al Tahdziyb 2/104)
Malik bin Anas juga berkata, “Aku sering mendatangi Jakfar bin Muhammad. Beliau selalu mempersilakan sebuah tempat duduk dan bantal terhormat untukku. Beliau adalah seorang yang humoris dan selalu tersenyum. Namun di saat disebut nama Rasulullah Saw berubah wajahnya menjadi sedih dan pucat. Setiap aku datang ke rumahnya maka aku selalu dapatkan beliau dalam keadaan salat, puasa atau membaca Al-Quran. Tidak pernah aku saksikan beliau menukil hadis Rasulullah Saw kecuali dalam keadaan berwudhu. Beliau tergolong ulama yang ahli ibadah dan zuhud yang takut kepada Allah SWT.” ( Malik Hayatuhu wa ‘Ashruhu wa ara uhul Fiqhiyyah karya Muhammad Abu Zuhrah Hal 108, menukil dari kitab Al Madarik hal. 210)
Baca: Doa Imam Ja’far a.s. untuk Peziarah al-Husain a.s.
Malik juga bercerita tentang pengalamannya berhaji bersama Imam Jakfar bin Muhammad Ash Shadiq. “Di saat semua siap untuk memulai ihram, Imam Jakfar tidak mampu untuk memulai ihramnya, wajahnya pucat pasi, beberapa kali beliau bermaksud untuk melafazkan talbiyah namun suara beliau terputus, seolah-olah ternggorokan beliau menjadi sesak dan hampir saja beliau terjatuh dari kudanya. Aku katakan padanya, ‘Ucapkanlah wahai putra Rasulullah, Engkau harus mengucapkannya!’ Beliau menjawab, ‘Wahai putra Abu Amir (julukan Imam Malik) bagaimana aku berani mengucapkan talbiyah, aku penuhi panggilan-Mu Ya Allah!, aku khawatir, Allah menolak seruanku dengan firman-Nya, laa labbayka wa laa sa’dayka¸ tidak ada labbayk bagimu dan tidak ada kebahagiaan bagimu! “ (Al Khishal Syaikh Shaduq hal. 167)
Mansur Al-Dawanyqi berkata, “Jakfar bin Muhammad adalah maksud dari salah seorang yang difirmankan oleh Allah SWT dalam Al-Quran, ‘…kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar’. (surah Fatir (35): 32) Beliau adalah yang dimaksud dengan yang lebih dahulu (terdepan) dalam berbuat kebaikan. (Sirah Al-Yaqoubi: 3/17)
Abd al-Rahman bin Abi Hatim al-Razi (wafat. 327 H) berkata, “Saya mendengar ayah saya berkata: Ja’far bin Muhammad adalah tepercaya (tsiqah) orang seperti dia tidak perlu dipertanyakan..”
Dia (Abd al-Rahman bin Abi Hatim al-Razi) juga berkata, “Saya mendengar Abu Zar’ah ditanya tentang Ja’far bin Muhammad, tentang ayahnya, tentang Suhail bin Abi Salih dan ayahnya, mana di antara mereka yang lebih tepercaya? Dia (Abu Zar’ah) menjawab bahwa Ja’far bin Muhammad tidak bisa dibandingkan dengan mereka. (Al Jarh Wa Al Ta’diyl 2/487).
Abu Hatim Muhammad bin Hayyan (wafat. 354 H) berkata, “Beliau adalah salah satu penghulu Ahlulbait dalam ilmu hukum, ilmu pengetahuan (lainnya) dan keutamaan.” (Al-Tsiqaat 6/131).
Baca: Doa Imam Ja’far Shadiq untuk Memudahkan Urusan
Abu Abd al-Rahman al-Salami (325-412 H) mengatakan, “Beliau melampaui semua rekan-rekannya dari pribadi-pribadi Ahlulbait Rasulullah Saw, memiliki banyak pengetahuan, kezuhudan luar biasa, keberpantangan akan kecenderungan dunia, serta puncak kebijaksanaan.” (Al Imam Al Shadiq Wal Madzahib Al Arba’ah 1/58).
Abu Nu’aim Al Isfahani, penulis kitab Hilyat Al Awliya (wafat 430 H) berkata, “Di antara mereka (Ahlulbait) terdapat seorang Imam (yang paling layak) dalam tutur kata (sebagai rujukan agama) dan kepemimpinan, yaitu Abu Abdullah Ja’far bin Muhammad al-Sadiq, yang telah mendedikasikan dirinya dalam penghambaan dan ketaatan (kepada Allah SWT), lebih memilih keterasingan (uzlah) dan kesunyian, serta melarang sikap ambisi kekuasaan dan (ketenaran) dalam keramaian.” (Hilyat Al Awliya 1/72).
Al-Shahristani (479-548 H) menambahkan apa yang dikatakan al-Salami bahwa Imam Jakfar selama beberapa tahun tinggal di Madinah mengajar para Syiah atau pengikutnya serta menitipkan kepada para loyalisnya sejumlah rahasia dari ilmu (khusus), kemudian beliau menetap beberapa tahun di Irak, namun tidak pernah menampilkan dirinya sebagai pemimpin dan tidak pernah pula mengambil alih kekhalifahan. Sungguh seorang yang telah tenggelam dalam lautan pengetahuan tidak akan pernah berambisi pada kekuasaan dan seorang yang telah berada pada puncak kesempurnaan hakiki tidak akan khawatir (pada siapapun dari pesaingnya) untuk menjatuhkannya. (Al Milal WA Al Nihal 1/147)
Al-Khawārizmiy (wafat. 568 H) saat menyebutkan tentang biografi Abu Hanifah menukil ucapan beliau, “Saya tidak pernah menjumpai seorang yang lebih faqih dari Ja’far bin Muhammad, andaikan bukan karena dua tahun maka celakalah Nukman (baca: saya). Yakni dua tahun di mana Abu Hanifah belajar kepada Imam Ja’far al-Sadiq.” (Manaqib Abi Hanifa : 1/172).
Muhammad bin Talha al-Syafi’i (wafat 652 H) mengatakan bahwa Imam Jakfar adalah salah satu dari orang-orang besar dari keluarga Nabi (Saw), salah seorang penghulu mereka, pemilik ilmu yang banyak, ahli ibadah dan zikir yang berkesinambungan, kezuhudan yang nyata, selalu membaca Al-Quran dan merenungi maknanya, mengeluarkan darinya mutiara dan keajaibannya. Beliau membagi waktunya untuk melaksanakan berbagai ketaatan dan selalu menghisab dirinya. Setiap orang yang melihatnya akan mengingat akhirat, setiap orang yang mendengarkan kata-katanya akan berlaku zuhud dari kecenderungan pada dunia, dan setiap yang meneladaninya, maka akan mewarisi surga. Cahaya dari ciri-cirinya menjadi bukti nyata, bahwa beliau adalah keturunan kenabian, kesucian tindakannya adalah meniscayakan bahwa beliau titisan kerasulan. Banyak pemuka umat yang menimba ilmu dan sabda Rasul dari beliau. Mereka mengais kemuliaan dan keutamaan dengan menimba ilmu dari beliau.
Adapun keutamaan dan sifat-sifat mulia beliau, maka hampir tak ada yang mampu untuk menghitung dan menorehkan pena atas hal itu. Banyaknya ilmu yang tersimpan dalam kalbunya melukiskan ketakwaan, melahirkan hukum-hukum yang akal tak mampu menguasainya apalagi menguasai hikmah dan filosofinya.
Diriwayatkan bahwa kitab Al Jafr yang ada di Maroko dan menjadi warisan turun-temurun Keluarga Abdul Mukmin adalah sebagian dari sabda dan mutiara hikmahnya. (Mathalib Al Su ul Fiy Manaqib Alir Rasul 2/56)
Ibnu Khalqan (608-681 H) mengatakan bahwa Ja`far al-Sadiq adalah salah seorang dari dua belas Imam dalam keyakinan Syiah Imamiyah dan merupakan salah satu pemimpin Ahlulbait. Beliau dijuluki dengan al-Sadiq karena kejujurannya dalam tutur katanya. Keutamaannya sangat terkenal. Ahli dalam berbagai bidang ilmu hingga kimia dan peramalan. Beliau dimakamkan di Al-Baqi’ Madinah, bersama ayahnya, Muhammad Al-Baqir, dan kakeknya Ali Zain Al-Abidin, serta paman dari kakeknya Al-Hasan bin Ali (semoga Allah meridai mereka semua), Alangkah mulianya kuburan ini. (Wafayat Al A’yan 1/327).
Al Bukhariy (756-822) dalam kitab Fashl Al Khithab menyebutkan, bahwa mereka (para ulama) telah sepakat akan keagungan Ash Shadiq (a.s) dan kesayyidannya. (Yanabi’ Al Mawaddah hal. 380 Cet. Istanbul-Turki)
Ibn al-Sabbagh al-Maliki (784-855 H) mengatakan, tak ada seorang pun dari Ahlulbait yang menukil hadis seperti beliau dari sisi banyaknya sehingga ilmu dan keutamaan beliau tersebar ke seluruh negeri. Sekelompok orang telah meriwayatkan, bahwa ayahnya telah mewasiatkan kepemimpinan padanya dengan wasiat yang jelas. (Al Fushul Al Muhimmah 222)
*) Disadur dari https://www.tasnimnews.com