Kesempurnaan ikhlas tidak berarti ketiadaan rasa peduli dan hasrat kepada pahala dan siksa. Contoh keikhlasan ini terdapat dalam sebuah riwayat dari Abu Darda’ yang dinukil oleh Urwah bin al-Zubair sebagai berikut;
“Suatu hari di majelis Masjid Nabawi kami mengingat-ingat keutamaan para pejuang Badar dan Baiat Ridwan. Abu Darda’ lantas berkata, ‘Wahai kaum, akankah aku beritahu kalian tentang orang yang paling sedikit hartanya namun paling besar wara’nya dan paling tekun beribadah?’ Orang-orang berkata, ‘Siapakah dia?’ Abu Darda’ menjawab, ‘Dia adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS.’ Demi Allah, semua orang dalam majelis itu lantas memalingkan muka dari Abu Darda’. Seseorang dari kalangan Ansar kemudian diutus kepadanya dan berkata, ‘Wahai Uwaimar, kamu telah berbicara sesuatu yang tak seorangpun sependapat denganmu.’
“Abu Darda’ berkata, ‘Wahai kaum, sungguh aku berkata tentang apa yang aku lihat, sementara sedikit orang yang melihatnya di antara kalian. Aku pernah melihat Ali bin Abi Thalib bersama para pekerja di sebuah kebun. Ketika hendak beribadah dia menjauh dari kami dan bersembunyi di balik-balik semak pepohonan sehingga saya mengiranya pulang ke rumahnya. Tapi kemudian aku mendengar suara sedih nan lirih;
إلهي كم من موبقة حَلِمت عن مقابلتها بنقمتك، وكم من جريرة تكرّمت عن كشفها بكرمك، إلهي إن طال في عصيانك عمري، وعَظُمَ في الصحف ذنبي، فما أنا بمؤمّل غير غفرانك، ولا أنا براج غير رضوانك.
“Ya Tuhanku, alangkah banyak dosa yang Engkau urung membalasnya dengan azabMu. Alangkah banyak nista yang Engkau telah berkenan untuk tidak menyingkapnya. Ya Tuhanku, seandainyapun usiaku berkepanjangan dalam maksiat kepadaMu dan buku dosaku sedemikian tebal maka tetaplah tiada yang aku idamkan kecuali ampunanMu, dan tiada aku harapkan kecuali keridhaanMu.”
‘Suara ini menyita pikiranku sehingga aku mencari sumbernya yang ternyata adalah Ali bin Abi Thalib sendiri. Aku berusaha bersembunyi darinya sehingga aku bergerak perlahan. Dia lantas menunaikan shalat dengan beberapa kali ruku’ di tengah gelapnya malam, dan usai shalat dia berdoa sembari menangis, meratap, dan bermunajat kepada Allah SWT dengan berucap antara lain;
الهى افكر فى عفوك فتهون على خطيئتى ، ثم اذكر العظيم من اخذك فتعظم على بليتى . آه ان انا قراءت فى الصحف سيئة انا ناسيها و انت محصيها فتقول خذوه ، فياله من ماخوذ لا تنجيه عشيرته ، و لا تنفعه قبيلة ، آه من نار تنضج الاكباد و الكلى ، آه من نار نزاعة للشوى ، آه من غمرة من لهبات لظى .
“Ya Tuhanku, aku memikirkan ampunanMu maka jadilah dosaku ringan bagiku, kemudian aku mengingat besarnya hukumanMu maka besarlah bagiku bencanaku. Oh, (betapa malangnya) seandainya aku melihat dalam buku amalku suatu dosa yang aku telah melupakannya sedangkan Engkau memperhitungkannya lalu Engkau berseru (kepada para malaikat), “Gelandanglah dia!” Oh betapa malangnya orang yang digelandang, sementara kaumnya tak dapat menyelamatkannya, dan kabilahnyapun tak berguna baginya. Oh, betapa menyiksanya api yang mematangkan hati dan ginjal. Betapa pedihnya api yang membuat kulit kepala mengelupas. Betapa pedihnya terkurung dalam kobaran api.”
‘Dia kemudian menangis dan lantas diam tak bergerak sama sekali. Aku mengira dia tertidur karena banyak terjaga di malam hari hingga aku bermaksud membangunkannya untuk shalat subuh. Aku menghampiri dan mendapatinya tergeletak kaku bagaikan sebatang kayu. Aku berusaha menggerakkannya namun dia bergeming. Aku berusaha menekuknya namun dia tak tertekuk hingga aku berucap; Inna lillahi wa inna ilahi raji’un. Demi Allah, Ali bin Abi Thalib telah mati.
‘Aku lantas mendatangi rumahnya untuk aku kabarkan duka kepada orang-orang. Fatimah bertanya, “Wahai Abu Darda’, apa yang terjadi padanya?” Aku memberitahu kejadian itu, dan Fatimah lantas berkata;
هي والله يا أبا الدرداء الغشية التي تأخذه من خشية الله .
“Demi Allah, wahai Abu Darda’, itu adalah keadaan pingsan yang dialaminya karena rasa takut kepada Allah.”
‘Orang-orang lantas mendatangi Ali dengan membawa air dan mengucurkannya ke wajah Ali hingga dia siuman lalu memandangku dan akupun menangis. Ali bertanya, “Mengapa kamu menangis, wahai Abu Darda’?” Aku menjawab, “Karena apa yang telah aku saksikan tadi berkenaan dengan jiwamu.” Ali berkata;
ا أبا الدرداء فكيف ولو رأيتني ودُعي بي إلى الحساب، وأيقن أهل الجرائم بالعذاب، واحتوشتني ملائكة غلاظ وزبانية فظاظ، فوقفت بين يدي الملك الجبّار قد أسلمني الأحبّاء، ورحمني أهل الدنيا، لكنت أشدّ رحمة لي بين يدي من لا تخفى عليه خافية.
“Wahai Abu Darda’, lantas bagaimana seandainya kamu melihatku ketika aku dipanggil untuk dihisab sementara para pendosa telah yakin akan diazab? Saat itu para malaikat yang kasar dan bengis membuatku ketakutan, lalu aku berdiri di hadapan Sang Maha Penguasa lagi Maha Kuat yang menundukkan segalanya, sementara orang-orang tercinta yang masih hidup telah memasrahkan aku, dan penghuni duniapun kasihan kepadaku. Niscaya kamu saat itu adalah orang yang paling kasihan kepada aku yang sedang berada di hadapan Zat yang tak suatu apapun yang tersembunyi dariNya.”
“Abu Darda’ lantas berucap, ‘Demi Allah, aku belum pernah melihat keadaan demikian pada seorangpun di antara para sahabat Rasulullah SAW.”[1]
(Bersambung)
[1] Bihar al-Anwar, jilid 41, hal. 11 – 12.