Kata syuhud dan syahadah menurut bahasa mempunyai dua arti, yaitu hadir di tempat (melihat) dan memberi kesaksian. Artinya, seorang syahid mampu menceritakan kejadian yang sebelumnya dilihatnya. Oleh karena itu, Rasulullah saw dan para Imam suci as pada saat masih hidup mereka disebut “syahid.”[1] Karena mereka menyaksikan perbuatan makhluk.[2] Adapun syahadah menurut istilah adalah melihat al-Haq, yaitu bertemu dengan Allah Swt. Suatu keadaan tertentu yang dialami seseorang saat hendak melepaskan nyawa.
Menurut Abbas Syekh Rais dalam bukunya “Mega Tragedi”, ada tiga syarat seseorang disebut mati syahid, yaitu pertama, ia gugur dalam sebuah medan tempur yang dilakukan atas perintah Nabi Muhammad saw atau para Imam suci. Kedua, ia berperang hanya untuk mencari ridha Allah Swt dan tidak mempunyai pikiran ingin mencari keuntungan materi. Dan yang ketiga, kematiannya berguna bagi agama.
Baca: Narasi Syahadah Imam Ali bin Abi Thalib
Tafsir lainnya adalah terkait objek-subjek dari kata syahid, sebagaimana pernah disampaikan Prof Quraish Syihab dalam sebuah ceramah. Sebagai objek, syahid berarti “orang yang disaksikan” dan sebagai subjek syahid berarti “orang yang menyaksikan”. Dalam QS Al Baqarah 143 Allah berfirman, “litakuunu syuhada alannas wa yakuna arrasul alaikum syahida”, dimana kata syahid di sini bermakna menyaksikan dan disaksikan.
Artinya, kita pun adalah syahid, orang yang menyaksikan bahwa Imam Husain telah gugur di jalan Allah dan kita menjadikan beliau sebagai teladan. Beliau berjuang mengorbankan jiwa raga demi tegaknya nilai-nilai Islam. Sebagaimana telah disebutkan oleh sejarawan di semua mazhab, masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah sangatlah buruk. Ia membuat Islam nyaris tinggal namanya saja, sementara praktik atau amalannya jauh dari nilai-nilai Islam. Kezaliman dan kemungkaran merajalela, tanpa ada yang berani melawan. Imam Husain bangkit melawan untuk menunjukkan bahwa Islam sejati tidak akan tinggal diam di hadapan kemungkaran.
Meskipun gugur, perjuangan beliau tidak bisa dikatakan gagal, bahkan amat berhasil, jauh lebih berhasil dibandingkan bila seandainya beliau tidak gugur. Karena, berkat kesyahidan Imam Husain, sepanjang sejarah manusia pun menjadi syahid dari sebuah perjuangan luar biasa melawan kezaliman. Perjuangan ini menjadi inspirasi bagi semua manusia agar terus melawan kezaliman tanpa kenal putus asa.
Baca: Nusaibah, Pahlawan Perempuan di Perang Uhud
Sepanjang sejarah, manusia memerlukan teladan-teladan yang baik dan keteladanan Imam Husain adalah keteladanan yang sangat agung. Imam Husain a.s. dijuluki sebagai Sayyidus-Syuhada atau penghulu para syahid, orang yang gugur di jalan Allah. Syahadah adalah kesaksian, keguguran dan darah yang terpancar darinya menjadi saksi akan ketulusan perjuangan beliau. Dan kita yang masih hidup menjadi syahid dari pengorbanan beliau, itulah sebabnya sampai sekarang jutaan manusia masih menziarahi Karbala.
Kita meneladani Husain bukan hanya karena ia cucu Nabi tapi karena Imam Husain selalu berada dalam garis Islam. Sebagaimana kata-kata beliau sebelum berangkat ke medan perang, “Sesungguhnya aku bangkit bukan karena kesombongan atau melakukan kerusakan, tetapi dalam rangka perbaikan umat kakekku, Rasulullah.”
Hari ini penyelewengan dalam ajaran Islam masih terus terjadi. Kezaliman masih berkobar di berbagai penjuru bumi. Karena itu, tugas para pencinta Imam Husain adalah meneladaninya, antara lain dengan berusaha melawan segala bentuk kezaliman, mulai dari hal-hal terkecil. Banyak orang lupa, bahwa memarkir mobil di jalan milik umum (karena rumah tak bergarasi), membuang sampah sembarangan, atau bersikap buruk kepada pasangan dan anak-anak, adalah bentuk kezaliman. Bila hal-hal seperti ini terabaikan, bagaimana mungkin kita bisa sampai pada perjuangan hakiki seperti diteladankan Imam Husein?
Baca: Perdamaian dengan Zionis Bertentangan dengan Agama dan Kemanusiaan
Akhirul kalam, kami kutipkan kata-kata Imam Husain berikut ini sebagai bahan introspeksi bagi kita, agar mampu menjadi sebenar syahid:
“Sungguh dunia ini telah berubah dan menjadi asing… Kebaikan-kebaikannya telah membelakangi… Tidak ada yang tersisa darinya kecuali sesuatu yang tidak berharga, seperti kerak yang ada pada wadah, dan kehidupan yang hina, seperti penggembalaan yang buruk. Tidakkah engkau melihat betapa kebenaran sudah tidak dilaksanakan dan kebatilan sudah tidak dihindari, sehingga orang mukmin merindukan bertemu dengan Allah? Sungguh, aku tidak melihat kematian kecuali kebahagiaan dan hidup bersama orang-orang yang zalim kecuali musibah. Sungguh, manusia adalah budak dunia. Agama hanya bergantung di lisan mereka. Mereka akan menjaganya selama kehidupan mereka masih mengalir. Namun ketika tiba cobaan, hanya sedikit orang yang berpegang pada agama.”[3]
[1] Ibid., juz.16, hal.130.
[2] Ibid., juz.16, hal.130.
[3] Tuhaf Al-‘Uqul ‘An Ali Al-Rasul, cet. 7, hlm. 174