Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)

Allah SWT berfirman;

أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى.

“Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya.”[1]

Malu adalah sensibilitas dan kesadaran yang mendorong orang untuk menahan diri dari perbuatan tercela. Sensibilitas ini bisa jadi membuat seseorang cenderung menyembunyikan keburukan. Namun, tak seorangpun dapat menyembunyikannya di depan Allah kecuali dengan meninggalkan atau mengurungkan keburukan yang dia inginkan. Alam semesta dengan semua isinya tanpa kecuali terpampang dan hadir sedemikian jelas di hadapan Allah sehingga tak mungkin lagi dapat disembunyikan.

Rasulullah SAW bersabda kepada Abu Dzar;

يا أبا ذر، أُعبد الله كأنك تراه، فإن كنت لا تراه فإنّه يراك.

“Wahai Abu Dzar, sembahlah Allah seolah kamu melihatNya, dan jika kamu tidak melihatnya maka sesungguhnya Dia melihatmu.”[2]

Imam Ali Zainal Abidin Al-Sajjad as berkata;

خفِ الله تعالى لقدرته عليك، واستحي منه لقربه منك.

‘Takutlah kepada Allah karena kekuasaanNya atasmu, dan malulah kepadaNya karena kedekatanNya denganmu.”[3]

Syeikh Makarim Syirazi mengisahkan bahwa seorang pengembara ruhani telah bertaubat dan menangis setelah berbuat maksiat, kemudian ada orang lain bertanya kepadanya, “Mengapa kamu banyak menangis, bukankah kamu mengetahui bahwa Allah SWT Maha Pengampun?” Pengembara ruhani itu menjawab, “Ya, mungkin Allah mengampuniku, tapi apa yang dapat aku perbuat dengan rasa malu melihatNya saat aku berbuat maksiat?”[4]

Imam Ja’far Al-Shadiq as berkata;

الحياء من الإيمان، والإيمان في الجنّة.

“Malu adalah bagian dari iman, dan iman ada dalam surga.”[5]

الحياء والإيمان مقرونان في قرن، فإذا ذهب أحدهما تبعه صاحبه.

“Malu dan iman berpasangan satu sama lain, jika yang satu hilang maka yang lain akan (turut hilang) mengikuti pasangannya.”[6]

لا إيمان لمن لا حياء له.

“Tiada iman bagi orang tidak memiliki rasa malu.”[7]

Rasulullah SAW bersabda;

رحم الله عبداً استحيى من ربّه حقّ الحياء : فحفظ الرأس وما وعى ، والبطن وما حوى ، وذكر القبر والبلى، وذكر أنّ له في الآخرة معاداً.

“Semoga Allah mengasihi hamba yang benar-benar merasa malu kepada Tuhannya sehingga menjaga kepala dan isinya serta perut dan isinya, mengingat alam kubur dan kehancuran tulang belulang, dan mengingat bahwa di akhirat dia akan dibangkitkan.”[8]

Imam Ja’far Shadiq as berkata;

والحياء خمسة أنواع : حياء ذنب، وحياء تقصير، وحياء كرامة، وحياء حبّ، وحياء هيبة. ولكلُّ واحد من ذلك أهل، ولأهله مرتبة على حدة.

“Malu ada lima jenis; malu atas dosa, malu atas kurangan, malu atas kemuliaan, malu atas cinta, dan malu atas wibawa. Pada setiap malu ini ada pemiliknya, dan pemiliknya memiliki derajatnya masing-masing.”[9]

Di sebagian hadis terlihat betapa keburukan pertama pada manusia ialah ketiadaan dan dicabutnya rasa malu. Rasulullah SAW bersabda;

أوّل ما ينزع الله من العبد الحياء، فيصير ماقتاً ممقّتاً، ثُمّ ينزع منه الأمانة، ثُمّ ينزع منه الرحمة، ثُمّ يخلع دين الإسلام عن عنقه، فيصير شيطاناً لعيناً.

“Sesuatu yang pertama dicabut oleh Allah dari hamba adalah rasa malu maka jadilah dia murka dan dimurkai, lalu dicabut darinya amanat, lalu kasih sayang, kemudian dia dikeluarkan dari agama Islam sehingga jadilah dia syaitan yang terkutuk.”[10]

Selain rasa malu yang terpuji, ada pula rasa malu yang tercela. Malu yang terpuji adalah malu berbuat buruk, sedangkan malu yang tercela ialah malu berbuat sesuatu yang baik. Contoh malu yang tercela ialah malu mandi besar setelah mimpi basah saat bertamu di rumah orang. Contoh lain adalah malu bertanya karena kuatir terlihat bodoh. (Baca: Menciptakan Suasana Surgawi di Rumah)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda;

حياء عقل، وحياء حمق : فحياء العقل هو العلم، وحياء الحمق هو الجهل.

“Malu ada dua; malu akal dan malu bodoh. Malu akal adalah ilmu, sedangkan malu bodoh adalah kododohan.”

Maksudnya ialah bahwa malu akal berasal dari pengetahuan, sedangkan malu bodoh berasal dari kebodohan.[*]

Refensi:

[1] QS. Al-Alaq [96]: 14.

[2] Bihar Al-Anwar, jilid 77, hal. 74.

[3] Ibid, jilid 77, hal. 336.

[4] Tafsir Namuneh, jilid 27, hal. 168.

[5] Bihar al-Anwar, jilid. 71, hal. 329.

[6] Ibid, hal. 331.

[7] Ibid, hal. 331.

[8] Ibid, hal. 335.

[9] Ibid, hal. 336.

[10] Ibid, hal. 331.

Baca: “Doa Imam Zainal Abidin untuk Hasil yang Baik

 

No comments

LEAVE A COMMENT