Bangkitnya Sayyid asy-Syuhada Imam Husain a.s. dan gugurnya beliau sebagai syahid adalah sesuai dengan kehendak penciptaan Ilahi, tetapi itu tak berarti adanya izin untuk membunuh dan penyangkalan tanggung jawab dari orang yang ikut serta dalam pembunuhannya.
Demikian pula, orang-orang yang setelah wafatnya Nabi Saw duduk di kursi kekhalifahan dan kemudian mengubah kekhalifahan Islam menjadi semacam kerajaan Bani Umayyah dan Abbasiyah, bertindak atas dasar kehendak penciptaan Ilahi. Tetapi, dari sisi pandang kehendak legislasi-Nya, yakni secara hukum, mereka sama sekali tidak diizinkan bertindak demikian dan tak berhak menyerobot hak-hak Islam dan kaum Muslim. Oleh karena itu, harus diperhatikan bahwa manusia bertanggung jawab atas apa yang terjadi mengenai kehendak penciptaan Ilahi sebagaimana adanya, baik sehubungan dengan masalah individual maupun sehubungan dengan urusan sosial.
Ini adalah suatu rujukan yang harus dipahami secara ilmiah. Namun, untuk melihat bagaimana manusia, sementara memiliki kehendak bebas dan melakukan pekerjaannya dengan kehendak bebas dan kehendak memilih, berada di bawah perencanaan Ilahi, kami akan memberikan contoh dari kisah dalam Alquran tentang Nabi Musa a.s.
Baca: Tingginya Kedudukan Rida pada Qadha Ilahi
Ketika Musa a.s. mencapai usia dewasa di bawah asuhan Firaun dan membunuh seorang Mesir, seseorang menasihatinya supaya meninggalkan istana, karena orang-orang Firaun sedang bersekongkol untuk membunuhnya. Musa menerima nasihatnya. lalu meninggalkan Mesir dan pergi ke Madyan. Setelah menempuh perjalanan panjang, Musa sampai ke sekitar Madyan. Di sana orang-orang sedang berkumpul di sekitar sebuah sumur dan menimba air untuk memberi minum biri-biri. Musa, yang lelah dan lapar, duduk di suatu sudut untuk melepaskan lelahnya. Tiba-tiba matanya jatuh pada dua gadis suci yang sedang berdiri di sudut lain dan menjaga biri-birinya. Musa bangkit lalu menghampiri mereka seraya bertanya:
“Mengapa kalian tidak memberi minum biri-biri kalian?” Mereka menjawab: “Ayah kami yang sudah tua tinggal di rumah dan tak mampu melakukan tugas menggembala. Karena itu, kamilah yang harus membawa biri-biri ini ke mari. Dan kami baru bisa memberinya minum setelah para penggembala itu selesai meminumkan biri-biri mereka, atau sampai seseorang datang menolong kami menimbakan air dari sumur itu. Kami tak dapat melakukannya sendiri.”
Nabi Musa maju, mengambil ember, dan meminumkan biri-biri itu, dan seterusnya sebagaimana diceritakan oleh Alqur’an dalam surah al-Qashash, dimana kemudian Nabi Syuaib mengawinkan seorang anak gadisnya dengan Nabi Musa dan kemudian ia tinggal sepuluh tahun di Madyan sambil bekerja sebagai gembala pada Nabi Syuaib.
Semua peristiwa ini, yang membentuk sistem dari aneka fenomena, adalah tindakan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu, yang lahir dari kehendak bebas mereka sendiri berdasarkan motif-motif khusus dan untuk tujuan khusus. Nabi Musa tidak meninggalkan Mesir dengan tujuan menemui Nabi Syuaib. Beliau hendak menyelamatkan diri dari kejahatan Firaun, dan sangat boleh jadi ia tak tahu bahwa Nabi Syuaib berada di sana dan mempunyai anak perempuan, dan bahwa dia adalah nabi di kota itu. Tetapi Allah telah menakdirkan bahwa di satu sisi Musa melayani seorang nabi besar seperti Nabi Syuaib, yang sedang di hari tua dan tak mampu bekerja, dan di sisi lain Allah Swt telah menakdirkan putri Syuaib kawin dengan Musa, dan bahwa setelah sepuluh tahun, ketika Musa diangkat menjadi nabi, mereka kembali ke Mesir dan menyerukan Firaun untuk menyembah Allah Yang Maha Esa.
Itu semua adalah takdir Allah. Tetapi, adakah dalam takdir-takdir ini suatu paksaan pada Musa, Syuaib, atau putrinya? Tidak! Semua tindakan itu dilakukan menurut pilihan bebas. Namun, ada suatu pengaturan dan perencanaan yang bijaksana, dan itulah rencana Allah. Di sinilah Allah berkata, “Hai Musa! Engkau ke sini atas dasar kebijaksanaan yang tepat dan rencana yang akurat, dan peristiwa ini harus terjadi supaya di lembah yang aman ini engkau menerima tugas suci kenabian lalu pergi kepada Firaun.”
Apabila kita berpikir dengan cermat tentang peristiwaperistiwa dalam kehidupan kita sehari-hari, kita akan melihat bahwa ada ribuan pengantar yang telah disediakan Allah Yang Mahakuasa dengan rencana-Nya. Setiap makhluk harus mengetahui bahwa ia secara konstan berada di bawah perencanaan dan pengawasan Allah, bahwa apa yang ditetapkan Allah baginya adalah baik, dan bahwa apa yang ditetapkan-Nya sebagai kewajiban dan tanggung jawabnya adalah baik. Oleh karena itu, kita harus tahu bahwa semua takdir Ilahi adalah demi kebaikan kita, sekalipun berbentuk bencana dan kesukaran juga tampak merugikan pada lahirnya.
Apabila seorang anak jatuh sakit dan ibunya yang mencintainya mencegahnya memakan makanan tertentu, meminumkannya obat yang pahit, dan menyuntikkannya, pastilah ibunya itu bermaksud baik padanya; perbuatan si ibu justru merupakan tanda kebaikan dan kasih sayangnya, walaupun si anak mungkin tak suka dengan perilakunya dan menganggapnya tidak mengenal belas kasihan. Oleh karena itu, adanya peristiwa pahit dan menjengkelkan (termasuk banjir dan gempa bumi) bukannya tidak bertujuan, melainkan berada di bawah rencana Allah, walaupun tindakan itu sendiri dipenuhi oleh kehendak bebas para individu pula, dan bahwa para pendosa tetap bertanggung jawab atas tindakan buruk mereka.
Alquran berkata: “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan [tidak pula] pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. [Kami jelaskan yang demikian itu] supaya kamu jangan berduka terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. al-Hadid: 22-23)
Tak ada bencana yang menimpa seseorang melainkan telah tertulis dalam kitab sebelumnya, dan ini-sebagaimana segala sesuatu lainnya-adalah mudah bagi Allah untuk melakukannya. Itu semua supaya kamu beriman akan rencana Allah yang bijaksana dan tidak menjadi cemas apabila kamu kehilangan sesuatu: apabila kamu kehilangan suatu barang, apabila sebuah rumah hancur, dan apabila orang yang kamu cintai gugur sebagai syahid. Ketahuilah bahwa itu adalah takdir Ilahi. Juga, supaya kamu tidak menjadi sombong dan angkuh apabila keberuntungan menyertai kamu, dan supaya kamu selalu sadar bahwa kamu berkewajiban dan bertanggung jawab dalam semua peristiwa, yang menyenangkan ataupun yang tidak menyenangkan, dan bahwa yang harus kamu pikirkan hanyalah memenuhi kewajibanmu.
Logika kaum mukmin itu adalah bahwa apa yang telah ditakdirkan Allah bagi kita akan terjadi, dan kita puas dengan takdir-Nya, walaupun mungkin tak enak. Banyak peristiwa tak enak terjadi pada kita dan menyakiti perasaan kita. Tetapi, harus kita ketahui bahwa rencana Allah yang bijaksana berada di baliknya, dan bahwa peristiwa-peristiwa itu, sebagai keseluruhan, akan berguna bagi kemajuan Islam. Oleh karena itu, kita harus memenuhi kewajiban kita sendiri. Kita harus meraih kebaikan yang sebenarnya, dan itu hanya akan berhasil bila kita memenuhi kewajiban agamawi kita.
Baac: Jalan-Jalan yang Mengantarkan Kita pada Kecintaan Ilahi
Tentang apa yang akan terjadi, itu bukan urusan kita. Alam semesta mempunyai Pencipta dan Perencana yang tidak membiarkan setiap orang. Allah Mahatahu apa yang harus terjadi dan apa yang bijaksana. Dari satu aspek, dunia ini adalah sebuah kombinasi dari yang baik dan yang buruk, menyenangkan dan menyusahkan. Tetapi, tak ada yang mutlak baik dan mutlak buruk. Kebaikan dan keburukan yang sesungguhnya tergantung pada bagaimana manusia menyikapi fenomena itu.
Allah Yang Mahakuasa merencanakan segalanya sedemikian rupa supaya manusia dapat mengambil berbagai manfaat dari fenomena yang berwajah ganda ini, dan berpegang pada janji yang telah mereka buat dengan Allah bahwa mereka akan menolong agama-Nya sampai titik darah penghabisan, supaya mereka dapat mencapai kejayaan di dunia ini dan memperoleh rahmat serta kebahagiaan abadi.
*Disarikan dari buku karya Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi – Monoteisme