Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Membaca Narasi Tabuik Pariaman (2)

Dalam suasana begini, orang-orang Khawarij, orang-orang yang menolak melakukan perdamaian,  semakin marah dan beringas terhadap kedua pihak yang berunding. Mereka menyalahkan Ali atas kemauannya menerima perundingan damai, tetapi juga mengutuk Mu’awiyah yang berhasil menjalankan siasat-siasatnya. Pada saat kemudian orang-orang Khawarij membuat suatu rencana pembunuhan terhadap Ali, Muawiyah dan Amru yang dianggap sebagai penipu.

Mereka mengutus Abdurrahman (bin Muljam), Al Barak dan Umar (bin Bakir) untuk menjalankan rencana ini. Kadar ilahi berlaku bagi Ali, pada suatu masa tatkala Ali kembali sembahyang  Subuh, Ali roboh oleh tusukan pedang beracun yang digunakan oleh Abdulrahman.

Untuk menggantikan kedudukan Ali, Hasan (bin Ali) dinobatkan menjadi khalifah. Ia adalah seorang yang taat beribadah, tabah, pemurah dan disegani oleh banyak orang. Pada saat yang sama pula, Mu’awiyah telah menerima sumpah setia menjadi khalifah bagi pengikutnya. Kehebatan Hasan di mata banyak orang menyebabkan Mu’awiyah merasa cemas, oleh karena itu Mu’awiyah mengambil jalan dengan mengajukan damai kepada Hasan. Melihat banyaknya korban akibat perebutan kekhalifahan, Hasan pun menyambut baik usul perdamaian, sehingga kedua belah pihak dapat hidup tidak bermusuhan,. Bahkan pada akhirnya, baru dua bulan Hasan dinobatkan jadi pemimpin, ia menyerahkan kekhalifahan kepada Mu’awiyah. Kebijaksanaan Hasan yang demikian mendapat protes dari para pengikutnya, tetapi apa boleh buat sudah demikian imam mereka bertindak, maka harus berusaha menerimanya. Akan tetapi, demikianlah pada akhirnya, sebagai akibat penyerahan kepemimpinan ini, kaum Khawarij melampiaskan kemarahannya sehingga mereka melakukan pembunuhan terhadap diri Hasan. (Dalam versi lain disebutkan Hasan diracun oleh Mu’awiyah).

Hosen (bin Ali) merasa malu dan terhina karena semasa kepimpinan Mu’awiyah, pengikut Ali menjadi orang yang diburu-buru, ditambah lagi nasib kematian yang menimpa saudaranya, Hasan. Keadaan ini menyebabkan Hosen berusaha menyusun satu kekuatan agar pada suatu saat nanti dapat melakukan perlawanan menuntut-balas atas apa kejadian yang disaksikannya. Saat itupun hampir tiba, tatkala di penghujung hayatnya, Muawiyah menobatkan anaknya Yazid menjadi khalifah. Selama lebih kurang tiga tahun Yazid berkuasa, perasaan dendam antara Hosen dan Yazid semakin dalam mengingat masa lalu yang penuh kekejaman. Maka yang diantikan Hosen pun tiba, terjadi perjumpaan dua kekuatan antara pasukan Hosen dengan pasukan Yazid di suatu padang gurun bernama Karbela. Peperangan berlangsung tidak seimbang, hampir seluruh pasukan Hosen korban di tempat. Lebih parah lagi, peperangan yang berlangsung selama selama 10 hari itu terus berkecamuk. Hosen mengalami luka parah terkena panah lawan, dan karena itu pula beliau berhasil ditangkap oleh panglima pasukan Yazid yang bernama Ubaidillah  Ibnuziat. Nasib Hosen sekarang berada sepenuhnya di tangan musuhnya, Yazid. Kemudian Yazid mengatakan keputusannya, dan memerintahkan kepada panglima perangnya untuk melaksanakan hukuman pancung dan cincang bagi diri Hosen.

Saat pelaksanaan hukuman atas diri Hosen pun tiba. Sebelum hukuman ini dilaksanakan, Hosen mengajukan satu permohonan kepada Yazid agar eksekusi dirinya dilaksanakan setelah sembahyang Jumat. Permohonan Hosen pun dikabulkan. Kala itu hari Jumat, bertepatan tanggal 10 Muharram, hukuman pun dilaksanakan. Kepada Hosen dipancung hingga terpisah dari badannya, tubuhnya dicincang hingga berserakan di tempat pelaksanaan hukumannya. Begitu hukuman berakhir dijatuhkan atas diri Hosen, sekonyong-konyong di langit kejauhan tampak arak-arakan malaikat mengendarai burak. Tak lama kemudian, arak-arakan pun melandas, lalu segera memunguti puing-puing jasad Hosen seraya memasukkannya ke dalam keranda arak-arakannya. Begitu puing-puing jasad Hosen dimasukkan ke dalam keranda, orang-orang  yang menyaksikannya pun tercengang melihatnya. Menyaksikan peristiwa mencengankan ini, timbul keingingan hati seorang manusia dari suku Sipahi (Cipai) yang bertepatan ada di situ untuk  mengetahui kemana jasad Hosen yang dicintainya akan dibawa oleh malaikat. Karena itu, begitu arak-arakan akan terbang ke langit, ia pun dengan sigap menyelinap menggantungkan diri pada kendaraan arakan malaikat.

Di pertengahan perjalanan menuju langit, malaikat membaui ada manusia hidup mengikuti rombongannya. Mengetahi keadaan ini, malaikut pun dengan segera memutar haluan untuk turun menuju ke bumi menghantarkan manusia yang menyertai rombongan mereka. Begitu orang Sipahi diturunkan, orang Sipahi yang sangat mencintai Hosen ini menyatakam keinginannya yang kuat untuk serta mengikuti ke mana gerangan jeanazah Hosen dibawa pergi. Memahami keinginan manusia yang berkeinginan kuat ini, malaikat mengobati rasa iba hatinya dengan menganjurkannya agar berbuatlah seperti kejadian yang disaksikannya. Arak-arakan malaikatpun terbang kembali ke langit. Orang Sipahi (Cipay, sebutan lokal) kembali ke kampungnya seerta mengabarkan peristiwa yang disaksikannya kepada orang-orang di sekelilingnya. Melalui kesaksian orang Sipahi ini, orang-orang di sekelilingnya pun melakukan arak-arakan untuk mengenang kejadian yang mencengankan mereka. Arak-arakan yang disaksikan itu menyerupai bentuk sebuah peti[1].

Narasi tabuik dan pengaruhnya di masyarakat

Narasi dimulai dari satu bagian sejarah kehidupan Rasulullah Salallahu alaihi wa alihi, khususnya pengangkatan kepemimpinan Imam Ali alaihi salam dan diakhiri dengan kesyahidan Imam Husain alaihi salam. Peristiwa Karbala diungkapkan sebagai kisah heroik Imam Husain alaihi salam sebagai tokoh protagonist dan Yazid yang zalim. Hal ini cukup populer di masyarakat bahwa Yazid adalah seorang raja yang zalim dan Al Husain alaihi ssalam bangkit melakukan perlawanan atasnya. Pengetahuan masyarakat Pariaman tentang sejarah kehidupan kedua cucu Nabi salallahu alaihi wa alih, yaitu Al Hasan dan Al Husain alaihimussalam umumnya bersumber dari kisah Tabuik.

Namun, seiring dengan perubahan yang terjadi pada ritual Tabuik sendiri, kisah yang menjadi latar belakangnya pun kurang populer. Pada generasi muda saat ini, tabuik tak lebih dianggap sebagai warisan budaya ketimbang upacara peringatan peristiwa Karbala. Bahkan sebagian kelompok awam menolak adanya kaitan ritual tabuik dengan tradisi Asyura yang sebagian besar dilakukan oleh Syiah.

Narasi diakhiri dengan mitos bahwa pembawa tradisi (Sipahi) ikut menyaksikan dan turut serta dalam peristiwa Karbala.Tokoh dalam Sipahi seolah-olah memiliki otoritas yang diperoleh dari malaikat untuk menyelenggarakan ritual tabut. Tokoh Sipahi yang ada dalam narasi tabuik, hari ini dapat ditemui pada keluarga penghuni rumah tabuik. Keluarga tabuik baik dari rumahtabuik Pasa maupun Subarang ini masih terus berupaya meneruskan tradisi yang diwarisi.

 

[1] Disalin dari narasi Tabuik dalam lampiran Thesis Miko Siregar “Tabuik Piaman: Kajian Antroplogis Terhadap Mitos dan Ritual”, UI, 1996

No comments

LEAVE A COMMENT