Zuhud dalam artinya yang pertama, yaitu menjauhi hal-hal yang diharamkan maupun yang bersifat syubhat juga disebutkan begitu menarik dalam riwayat bahwa Imam Ali Zainal Abidin al-Sajjad as berkata kepada Hasim bin al-Buraid;
الزهد عشرة أجزاء، أعلى درجة الزهد أدنى درجة الورع، وأعلى درجة الورع أدنى درجة اليقين، وأعلى درجة اليقين أدنى درجة الرضا.
“Zuhud (memiliki) tujuh bagian (derajat). Derajat zuhud yang tertinggi adalah derajat wara’ yang terendah, dan derajat wara’ yang tertinggi adalah derajat yaqin yang terendah, dan derajat yaqin yang tertinggi adalah derajat ridha yang terendah.”[1]
Kalimat “derajat zuhud yang tertinggi adalah derajat wara’ yang terendah,” tampaknya mengacu pada arti pertama zuhud, yakni bahwa derajat wara’ yang terendah ialah kezuhudan manusia terhadap hal-hal yang diharamkan maupun yang bersifat syubhat.
Riwayat serupa juga disampaikan oleh Hasyim bin al-Buraid bahwa seseorang bertanya kepada Imam Abu Jakfar al-Baqir as mengenai arti zuhud. Imam as menjawab;
الزهد عشرة أشياء، وأعلى درجات الزهد أدنى درجات الورع، وأعلى درجات الورع أدنى درجات اليقين، وأعلى درجات اليقين أدنى درجات الرضا، ألا وإنّ الزهد في آية من كتاب الله عزّ وجلّ: ﴿… لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ …﴾
“Zuhud (memiliki) tujuh bagian (derajat). Derajat zuhud yang tertinggi adalah derajat wara’ yang terendah, dan derajat wara’ yang tertinggi adalah derajat yaqin yang terendah, dan derajat yaqin yang tertinggi adalah derajat ridha yang terendah. Ketahuilah bahwa zuhud terdapat dalam ayat kitab Allah Azza wa Jalla; ‘Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.’”[2]
Di kalangan sufi di luar mazhab Ahlul Bait as zuhud juga ditafsirkan memiliki tiga derajat[3]; Pertama, zuhud dari hal-hal haram dan syubhat, dan ini merupakan zuhud kalangan umum (awam). Kedua, zuhud dari hal-hal yang tidak darurat atau bukan kebutuhan pokok. Ketiga, zuhud dalam zuhud, yaitu sama sekali tidak memandang harta benda sebagai sesuatu yang berarti. Kekhusyukan kepada Allah menjauhkan pelakunya dari ketersibukan oleh kecintaan maupun kebencian kepada dunia.
Pandangan Imam Ghazali
Tentang zuhud, Imam Ghazali menggambarkan orang fakir dalam dalam lima kategori[4] sebagai berikut;
Pertama, orang yang tidak suka jika diberi harta. Dia malah terusik dan menjauh dari pemberinya agar terlindung dari keburukan pemberinya. Sikap demikian disebut “zuhud” dan orangnya disebut “zahid” dan memiliki kedudukan tertinggi di antara lima kategori yang ada.
Kedua, orang yang rela, menerima, dan tidak terganggu jika diberi harta tapi juga tidak lantas bergembira karenanya. Orang yang demikian disebut “radhi” (rela).
Ketiga, orang yang lebih suka jika memiliki harta daripada tidak memilikinya. Dia menyukai harta tapi sampai pada batas yang membangkitkannya untuk mencari dan mendapatkannya. Dia hanya sebatas senang jika mendapatkannya, tapi tidak sudi mencarinya jika harus bersusah payah. Orang yang demikian disebut “qani’” (puas/legawa) karena sudah merasa puas dengan apa yang ada sehingga tak sudi mencari sesuatu yang lebih meskipun dia relatif menyukainya.
Keempat, orang yang tidak mau mencari harta karena merasa tidak mampu padahal dia pasti mengejarnya jika terbuka peluang untuk mendapatkannya, meskipun dengan bersusah payah. Orang yang demikian disebut “harish” (berhasrat kuat).
Kelima, orang yang sangat berkebutuhan kepada harta pada tingkat keadaan yang seolah harta adalah makanan bagi orang yang lapar, atau pakaian bagi orang yang telanjang. Orang yang demikian disebut “mudhtar” (terdesak).
(Bersambung)
[1] Al-Kafi, jilid 2, hal. 62, Kitab al-Iman wa al-Kufr, Bab al-Ridha, Hadis 10.
[2] Bihar al-Anwar, jilid 70, hal. 310, Hadis 5.
[3] Lihat Syarah Manazil al-Sa’irin karya al-Tilmisani, hal. 140 – 143, dan Syarah Manazil al-Sa’irin oleh al-Kasyani, hal. 53 – 54.
[4] Lihat Ihya’ Ulumuddin, jilid 4, hal. 179 -181, dan Ihya’ al-Ihya’ jilid 7, hal 315 – 319.