Kita kembali akan membahas tuntunan hidup sebagaimana yang diajarkan oleh para teladan kita. Dalam sebuah hadis, Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s. menyatakan bahwa kesempurnaan iman seseorang diukur dari tiga hal, yaitu selalu berusaha memperdalam ilmu agama, mampu menata urusan dunianya, serta menunjukkan kesabaran saat berhadapan dengan musibah dan cobaan.
لاَ يسْتَكْمِلُ عَبْدٌ حَقِيقَةَ الْاِيمَانِ حَتَّى تَكُونَ فِيهِ خِصَالُ ثَلاَثٍ: اَلتَّفقُّهُ فِى الدِّينِ وَحُسْنُ التَّقْدِيرِ فِى الْمَعِيشَةِ، وَالصَّبرُ عَلَى الرَّزَايَا
Belum sempurna iman seorang hamba hingga dia memiliki tiga karakter ini: memperdalam ilmu-ilmu agama, bijak dalam urusan kehidupan dunia, dan sabar dalam menghadapi bencana.
(Bihar Al-Anwar, jilid 78, halaman 339)
At-Tafaqquh fid-Diin
Sebelum ini, kita sudah banyak membahas hal-hal yang terkait dengan ilmu agama. Kita tahu bahwa betapa sangat banyaknya ayat Al-Quran dan juga perkataan para maksumin yang mendorong kita untuk terus memperdalam ilmu-ilmu agama.
Baca: Jangan Tanggalkan Pakaian Agama
Kita tak akan mengulangnya di sini. Akan tetapi, ada satu poin yang sangat perlu untuk selalu kita ingat, yaitu bahwa mencari ilmu itu hukumnya wajib baik kita, tak peduli gender kita. Thalabul ‘ilmi fariidhah ‘alaa kulli muslimin wa muslimaat. Kewajiban tersebut ada yang sifatnya fardhu ‘ain, ini terkait dengan ilmu aqidah, fiqih, dan akhlak. Sedangkan untuk bidang-bidang ilmu lainnya, kewajiban itu sifatnya fardhu kifayah.
Bijak dan Proporsional dalam Kehidupan Dunia
Secara sederhana bisa dikatakan bahwa dunia adalah segala macam kecenderungan terhadap harta, kedudukan, kesehatan, rasa aman, istri, anak, dll. Karena sifatnya yang merata berada pada manusia, kecenderungan tersebut bisa digolongkan ke dalam hal-hal yang instinktif (naluriah).
Kalau kita telaah ayat-ayat Al-Qur’an dan juga keterangan yang disampaikan para imam, kita akan mendapati penjelasan yang “sepertinya” bertolak belakang tentang dunia. Banyak ayat Al-Qur’an dan hadis yang menyatakan bahwa dunia adalah penyebab bencana dan kesengsaraan, misalnya ayat: Kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (QS. Ali ‘Imrān [3]: 185); Maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, sampai memperdayakan kamu tentang Allah. (QS. Fathir [35]: 5); Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki akan mengazab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa mereka dalam keadaan kafir. (QS. Al-Taubah [9]: 85)
Adapun terkait hadis, Imam Ali bin Abi Thalib misalnya berpesan dalam Nahjul-Balāghah, “Dunia itu tidak ubahnya seperti seekor ular, yang secara lahir ia lembut namun di dalam tubuhnya terdapat racun yang mematikan. Orang yang bodoh akan tertarik kepadanya, sedangkan orang yang berakal akan menghindarinya.”
Baca: Fikih Quest 79: Amalan bagi Anak yang Orang Tuanya Meninggal Dunia
Akan tetapi, ada beberapa ayat dan riwayat yang menjelaskan bahwa dunia ini merupakan rahmat dan karunia dari sisi Allah; kemurahan, kebaikan, anugerah, balasan dan pahala bagi hamba yang berbuat baik, diciptakan untuk hamba-hamba-Nya, serta salah satu kenikmatan dari berbagai kenikmatan Ilahi, misalnya: Katakanlah, “Siapakah yang mengharamkan perhiasan (yang diberikan) Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah, “Semuanya (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.“ (QS. Al-A’rāf [7]: 32), dan juga ayat: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi. (QS. Al-Qashash [28]: 77)
Adapun dari sisi periwayatan, Imam Ali berkata, “Wahai anakku! Aku khawatir kepadamu akan kefakiran, maka berlindunglah kamu kepada Allah darinya (kefakiran). Sesungguhnya kefakiran itu mengurangi agama, merusak akal, (dan) menyeru pada kesengsaraan.” Beliau juga berkata, “Kefakiran adalah kematian yang sangat besar.” Beliau juga berpesan, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kepapaan itu adalah bagian dari balā.”
Melihat teks-teks agama terkait dengan kehidupan dunia yang sepertinya saling bertolak belakang itu, kita harus bersikap bijak dan proporsional. Bagaimana acaranya? Caranya adalah dengan menempatkan dunia sebagai sarana atau wasilah untuk sesuatu yang lain, yaitu kehidupan akhirat. Sebagai sarana, dunia memiliki dua sisi tersebut. Jika berbagai kenikmatan yang ada di dunia ini digunakan untuk hal-hal yang diridai Allah, maka itu baik dan terpuji. Dan seandainya digunakan untuk hal-hal yang dilarang Allah, maka itu adalah hina, tercela, dan buruk.
Ini bisa kita lihat pada keterangan ayat Al-Qur’an yang menyebut-nyebut sifat dunia dan langsung menghubungkannya dengan akhirat. Ayat-ayat tersebut mengingatkan bahwa ada sesuatu yang lain di balik alam dunia ini: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali ‘Imrān [3]: 14)
Baca: Sehari Satu Ayat: Selalu Perlu Kesabaran
Di surah At-Takatsur, kecaman terhadap kecintaan pada dunia langsung dihubungkan dengan alam kubur dan hari akhirat. Sementara itu, di ayat yang lain, manusia diingatkan bahwa kesenangan yang ada di dunia ini sangat tidak sebanding dengan kesenangan yang ada di akhirat: Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit). (QS. Al-Ra’d [13]: 26)
Imam Ja’far al-Shadiq a.s. berkata, “Allah berfirman kepada Nabi Musa: ‘Wahai Musa! Sesungguhnya dunia ini adalah tempat bencana. Terkutuklah dunia dan apa saja yang ada di dalamnya, kecuali yang (dimanfaatkan) untuk-Ku.’”
Sabar Menghadapi Cobaan
Setiap manusia pasti mengalami cobaan dan bencana, karena bencana adalah sifat alami kehidupan dunia. Di dalam hadis yang sedang kita bahas tadi, dikatakan bahwa kesabaran (yaitu, sikap menerima ketentuan Allah dan tetap berpijak di atas jalan kebenaran meskipun didera cobaan) adalah salah satu aspek dan syarat yang harus dimiliki oleh orang yang meniti jalan kesempurnaan iman.
Para aktivis mazhab Ahlul Bait tentulah sudah semestinya menjadi pelopor dan contoh bagi komunitas di sekitarnya terkait dengan kecenderungan mendalami ilmu-ilmu agama, sikap proporsional dalam kehidupan dunia, serta dalam menunjukkan kesabaran menghadapi berbagai cobaan hidup.
(dikutip dari rubrik Tuntunan, Buletin Al-Wilayah, edisi 20, Januari 2018, Jumada Al-Ula 1439)