Dr. Muhsin Labib
Di masanya, rezim Orde Baru yang berkuasa dan bersenjata dikesankan sebagai pihak satu-satunya yang berhak menafsir dan berbicara tentang Nasionalisme. Pada masa 32 tahun itu dikesankan pula bahwa semua yang menentang rezim adalah kubu anti-Nasionalisme atau anasir simpatisan Komunisme.
Itu, dulu. Kini, mungkin masih ada orang-orang yang masih terkurung dalam cangkang Orde Baru sehingga tak sadar bahwa waktu terus bergulir, dunia telah bertransformasi, dan masyarakat makin cerdas serta melek literasi. Seiring itu, konsep Nasionalisme kini telah menjadi wacana publik dan terbuka bagi penafsiran alternatif yang relevan dan humanis.
“Palestina bukan urusan kita.” Itulah sekelumit komentar yang kini sedang viral di media sosial. Banyak pihak menyayangkan hingga menantang dan menentang komentar sinis itu.
Bicara tentang nation atau bangsa, bangsa Indonesia dalam konteks ini, perlu merujuk kepada pendiri utamanya, Bung Karno. Beliau bukan hanya tidak meletakkan urusan bangsa ini vis-a-vis urusan bangsa lain, melainkan bahkan membawa bangsa Indonesia terhormat di panggung internasional, karena mengurusi masalah penjajahan di Palestina, misalnya.
Baca: Penjajahan Atau Konflik
Bung Karno berusaha menyadarkan bangsa ini bahwa Indonesia niscaya terkoneksi dengan dunia internasional. Apa faktor penghubungnya? Tak lain dari visi dan misi kemanusiaan seperti persaudaraan, keadilan, kebajikan, kemerdekaan, dan sebagainya. Nasionalisme hanya sebentuk Chauvinisme berpotensi Fasisme jika bermakna memutuskan koneksi kemanusiaan kita dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Internasionalisme, katakanlah begitu, justru menjadi fase lebih tinggi dari Nasionalisme karena didasari kesadaran sebagai sesama manusia yang lintas batas. Sebaliknya, Fasisme merupakan sesat jalan menuju Internasionalisme lantaran dilandasi nafsu menguasai dan menjajah bangsa lain. Untuk itu, Bung Karno mengajarkan bangsa ini Nasionalisme yang masuk akal, bukan Nasionalisme yang emosional (“Nasionalisme” yang hanya dirasakan dan menggejala dalam permainan dan hiruk pikuk kawanan). Intinya, kemanusiaan dalam konteks kewargaan ibarat satu mata uang dengan dua sisi; Nasionalisme dan Internasionalisme.
Nasionalisme masuk akal yang niscaya berkelindan dengan Internasionalisme inilah yang ditengarai sedang memudar akibat lemahnya literasi dan apresiasi terhadap gagasan-gagasan genuine para pendiri bangsa. Mari kita klarifikasi satu per satu.
Nasionalisme
Nasionalisme adalah pengindonesiaan dari Nationalism, yang terkadang diartikan sebagai ‘paham kebangsaan’. Nasio (nation) berarti bangsa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994:89), kata bangsa memiliki arti: (1) kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya serta berpemerintahan sendiri; (2) golongan manusia, binatang, atau tumbuh-tumbuhan yang mempunyai asal-usul yang sama dan sifat khas yang sama atau bersamaan; dan (3) kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan yang biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi.
Beberapa makna kata bangsa di atas menunjukkan arti bahwa bangsa adalah kesatuan yang terbentuk dari kesamaan keturunan, budaya, pemerintahan, dan lokasi.
Baca: Buruknya Citra Bani Israil dalam Al-Quran
Dalam bahasa Indonesia, istilah Nasionalisme memiliki dua pengertian: paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu. Dengan demikian, Nasionalisme berarti menyatakan keunggulan suatu afinitas kelompok yang didasarkan atas kesamaan bahasa, budaya, dan wilayah. Istilah nasionalis dan nasional, yang berasal dari bahasa Latin yang berarti ‘lahir di’, kadangkala tumpang tindih dengan istilah yang berasal dari bahasa Yunani, etnik. Namun istilah yang disebut terakhir ini biasanya digunakan untuk menunjuk kepada kultur, bahasa, dan keturunan di luar konteks politik.
Dengan demikian, definisi Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris “nation”) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Menurut para ahli, ikatan Nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Inilah faktor yang melemahkannya. Ikatan ini pun tampak pula dalam dunia hewan saat ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukkan hingga menguasai wilayah atau habitatnya. Namun, bila suasananya aman dari serangan musuh atau musuh itu terusir dari wilayahnya, seketika itu sirna pula kekuatan tersebut. Di sejumlah negara, kekuatiran akan melemahnya Nasionalisme mulai dibicarakan, termasuk Indonesia yang terus terancam oleh disintegrasi sejak era Reformasi yang mulai diganti dengan wacana Lokalisme akibat semangat “otonomi daerah” yang kebablasan.
Para nasionalis menganggap negara sebagai institusi yang berdiri berdasarkan beberapa “legitimasi politik” (political legitimacy). Baik itu bersumber dari teori Romantisme yaitu “identitas budaya”, maupun teori Liberalisme yang menganggap kebenaran politik bersumber dari kehendak rakyat; atau bahkan gabungan keduanya.
Mulanya, Nasionalisme dianut demi mementingkan hak-hak asasi manusia. Pada tahap selanjutnya, Nasionalisme menganggap kekuasaan kolektif yang terwujud dalam negara sebagai lebih penting dari kemerdekaan individual.
Deviasi Nasionalisme
Terdapat ragam model Nasionalisme. Yang utama adalah Nasionalisme rasis (ultra-Nasionalisme), lalu Nasionalisme agama, dan Nasionalisme etnis.
Nasionalisme ditengarai sebagai produk gagasan sejumlah pemikir dan filsuf Barat. Namun hal itu tidak sepenuhnya benar, karena pandangan Hegel, misalnya, hanya mewakili salah satu model Nasionalisme.
Pandangan Hegel tentang Nasionalisme dapat menggiring suatu pemerintahan menjadi fasis karena mengajarkan kepatuhan mutlak terhadap perintah dalam semua aspek kehidupan nasional. Menurut Hegel, kepentingan negara didahulukan dalam hubungan negara-masyarakat, karena ia merupakan kepentingan objektif sementara kepentingan masing-masing individu adalah kepentingan subjektif. Menurutnya, negara adalah ideal (geist) yang diobjektivikasi, dan karenanya, individu hanya dapat menjadi sesuatu yang objektif melalui keanggotaannya dalam negara.
Dalam sejarahnya, Fasisme terkait erat dengan Rasisme yang mengunggulkan sebagian ras (suku) atas sebagian yang lain. Hal ini melahirkan kecenderungan Nasionalisme yang terlalu mementingkan Tanah Air (sehingga mengarah pada Chauvinisme), yang mendorong masyarakat Eropa melakukan pelbagai ekspansi dalam skema Kolonialisme ke wilayah dunia atau negara lain.
Model kedua adalah Nasionalisme agama yang berdiri di atas kesamaan agama. Di Irlandia, misalnya, semangat Nasionalisme bersumber dari persamaan agama yaitu Katolik. Contoh lain adalah Nasionalisme di India, yang dianut pengikut partai BJP, atas dasar kesamaan agama Hindu. Sejumlah partai di Eropa juga mengusung Nasionalisme atas dasar kesamaan agama. Dalam realitasnya, Nasionalisme keagamaan cenderung menimbulkan Fanatisme dan Fundamentalisme.
Baca: Sofistikasi Isu Palestina
Bentuk lain dari Nasionalisme adalah berdasar kesamaan ras, seperti rezim Apartheid di Afrika Selatan sebelum digulingkan Nelson Mandela dan mayoritas warga kulit hitam, serta Nasionalisme berujud Fasisme ala Adolf Hitler yang menganggap ras Aria sebagai paling unggul di dunia.
Ada pula Nasionalisme berdasarkan semangat imperialistik yang memercayai negaranya superior sebagai adidaya sekaligus paling beradab. George W. Bush dan sebagian Republikan, diyakini banyak pengamat sebagai penganut Nasionalisme imperialistik semacam ini karena menganggap negaranya sebagai penguasa dunia sekaligus Nasionalisme relijius karena selalu menjadikan kitab suci dan pandangan keagamaannya yang fanatik, ganjil, dan cetek sebagai landasan keputusan politiknya.
Nasionalisme dan Internasionalisme Soekarno
Soekarno sepenuhnya menyadari bahwa Nasionalisme chauvinis—karena sangat mudah membakar emosi massa—merupakan “ideologi” yang sangat berbahaya. Karena itu, dalam pidato 1 Juni di depan sidang BPUPKI, ia mengingatkan, “Memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan Nasionalisme menjadi Chauvinisme, sehingga berpaham ‘Indonesia Uber Alles’. Inilah bahayanya! Kita cinta Tanah Air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Akan tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bagian kecil saja daripada dunia! Ingatlah akan hal itu! Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan Chauvinisme, sebagai[mana] dikobar-kobarkan orang di Eropa, ‘Deutshland uber Alles,’ tidak ada yang setinggi Jermania… yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedangkan bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas asas demikian. Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesia yang terbagus dan termulia serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.”
Dari pidatonya itu tergambar dengan amat jelas bahwa selain sebagai penganut Nasionalisme kerakyatan (civic nationalism) Soekarno menganut pandangan Internasionalisme yang realistis sekaligus humanis. Bagi Soekarno, Internasionalisme adalah realitas dunia yang tak terbantahkan. Dalam konteks ini, Soekarno menilai bahwa Nasionalisme Indonesia tidak dengan sendirinya bermakna bahwa relasi dan menggalang solidaritas antar-bangsa merupakan hal yang tabu.
Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 yang kemudian diperingati sebagai hari lahir Pancasila, Soekarno berkata, “Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia merdeka tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa… Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya Nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam tamansarinya, Internasionalisme. Justru inilah prinsip-prinsip saya yang kedua. Inilah filosofi principle yang nomor dua; yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan ‘Internasionalisme’.”
Isu Palestina dan Nasionalisme Indonesia
Karena merespons dan menerima fakta menguatnya relasi antarbangsa, sekaligus mempertahankan pandangan kritisnya terhadap Nasionalisme eksklusif yang tak selaras dengan Humanisme, yang merupakan fondasi Nasionalisme Indonesia. Semakna pandangan Gandhi, yang sering dikutipnya, Soekarno memandang Internasionalisme sebagai paradigma yang mewujudkan solidaritas universal, yaitu kemanusiaan yang bebas dari Kolonialisme, Imperialisme dan Kapitalisme.
Palestina yang diduduki sejak 1948, lalu sisanya terus digerogoti dan dirampas oleh pemukim Zionis ilegal adalah Nasionalisme palsu dan sebuah upaya menggantikan Nasionalisme yang humanis dengan Rasisime alias Zionisme dan Imperialisme AS.
Andai masih hidup, Soekarno pasti bereaksi keras terhadap setiap pernyataan yang mengabaikan bangsa lain, terutama yang tertindas, apalagi yang menghormati bangsa Indonesia.
Singkatnya, pernyataan serampangan oleh siapa pun yang menihilkan nasib dan perjuangan bangsa dan negara lain dalam meraih kemerdekaan adalah penghinaan terhadap bangsa dan negara sendiri.