“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepadamu, sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa melanggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri; dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Dia akan memberinya pahala yang besar.” (QS. aI-Fatah: 10)
adalah pemberian kepercayaan oleh rakyat kepada penguasa yang dipilih untuk menjadi pemimpin. Namun, menurut syariat, baiat adalah perjanjian dan ikatan kepada Allah Swt yang dilakukan oleh orang Islam melalui seorang nabi atau penggantinya yang ditunjuk oleh syariat. Perjanjian ini didasari oleh ketaatan kepada kepemimpinan dan pengabdian sepenuhnya dalam melaksanakan segala yang diperintahkan atau meninggalkan segala apa yang dilarang oleh nabi atau nash-nash (ayat-ayat Allah).
Pada dasarnya, secara etimologis, baiat berarti “menjual,” lawan dari kata “membeli.” Dalam konteks ini, baiat berarti manusia menjual dirinya kepada Allah seperti firman Allah: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberi surga untuk mereka.”
Orang yang berbaiat kepada Nabi Muhammad Saw dan penggantinya adalah orang yang menyerahkan dirinya dan kehendak kekuasaannya kepada yang dibaiat dengan melaksanakan perintah, petunjuk, dan anjuran mereka secara sempurna. Mereka yang mengurangi atau menolak ketentuan-ketentuan baiat ini dianggap khianat kepada Allah Swt. Sebaliknya, mereka yang melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut dan memenuhi syarat-syaratnya akan diberi pahala yang besar, baik di dunia maupun di akhirat.
Baca: Hasil Revolusi Imam Husein a.s.
Oleh karena itu, orang yang akan berbaiat seharusnya tidak tergesa-gesa mengulurkan tangannya kepada orang yang dibaiat, kecuali setelah benar-benar nyata dan pasti, sehingga tidak ragu ke arah mana tangannya diulurkan. Pertanyaan yang mendasari baiat ini adalah: kepada Allah ataukah kepada setan?; untuk kebenaran ataukah kesesatan?; pada keadilan ataukah kezaliman?; dan kepada orang yang amanat ataukah penghianat dan pembohong?
Kesimpulan dari teks di atas adalah bahwa sistem baiat (ikrar setia atau kesetiaan) di dunia ini dapat dibagi menjadi dua macam: pertama, baiat yang didasari oleh kebenaran dan petunjuk, dan kedua, baiat yang didasari oleh kebatilan dan kesesatan. Baiat yang diinginkan adalah baiat yang berdasarkan pada kebenaran dan petunjuk yang benar.
Sesungguhnya baiat mempunyai syarat-syarat kondisi yang harus dipenuhi oleh orang yang berbaiat, sehingga ia berada pada jalan petunjuk atau kebenaran. Imam Ali meringkas syaratsyarat baiat sebagai berikut:
- Tidak boleh dipimpin oleh orang yang bakhil (kikir atau pelit) yang akan menggunakan harta rakyat untuk kepentingan pribadi.
- Tidak boleh dipimpin oleh orang yang bodoh yang akan menyesatkan karena kebodohannya.
- Tidak boleh dipimpin oleh orang yang keras kepala yang akan memutuskan perkara dengan kebatuannya.
- Tidak boleh dipimpin oleh orang yang taat kepada pemimpin negara tiran karena akan menjual bangsanya.
- Tidak boleh dipimpin oleh penjilat (korup) karena akan menghilangkan kewibawaan hukum.
- Tidak boleh dipimpin oleh orang yang merendahkan sunah karena akan mengantarkan umat menuju kebinasaan.
Berdasarkan kriteria di atas, Imam Husain menolak berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah. Yazid tidak layak untuk dibaiat oleh Muslim mana pun karena dia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Imam Husain, sebagai seorang Muslim sejati dan pemimpin yang memiliki keutamaan, tidak bisa menerima kepemimpinan Yazid yang tidak layak untuk memimpin umat Islam. Imam Husain menyatakan bahwa dirinya tidak pantas untuk membaiat orang seperti Yazid, dan penolakannya terhadap kepemimpinan Yazid.
Dalam pandangan Imam Ali, Imam Husain adalah seorang Muslim sejati dan penghulu para pemuda penghuni surga. Yazid, di sisi lain, bukanlah seorang Muslim yang layak untuk menjadi pemimpin atau khalifah umat Islam. Oleh karena itu, Imam Husain menolak berbaiat kepada Yazid karena hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran dan petunjuk yang benar dalam baiat.
Mengenai kekafiran Yazid dan keluarganya dari agama Islam, serta ketidakberimanannya kepada Allah, bukti-bukti yang menunjukkan hal tersebut lebih terang daripada sinar matahari di siang bolong. Para sejarawan sepakat bahwa Yazid bin Muawiyah adalah seorang fasik (berperilaku buruk), tiran (penguasa yang zalim), pemabuk, gemar berfoya-foya, dan terlibat dalam praktik kekejaman seperti bermain dengan anak-anak macan dan kera.
Muawiyah, ayah Yazid, menempatkan dirinya sebagai khalifah umat Islam melalui kekuatan militer, padahal dia tahu dan mengakui kejahatan Yazid. Muawiyah bahkan mengakui bahwa dia hanya mengangkat Yazid karena dorongan hawa nafsu pribadinya. Artinya, dia tahu bahwa Yazid bukanlah sosok yang layak untuk memimpin umat Islam, tetapi tetap mengangkatnya menjadi khalifah.
Baca: Pergerakan Imam Husein as Sebuah Taklif
Para ulama Salaf dan Khalaf (para ulama terdahulu dan setelahnya) juga telah memberikan penjelasan mengenai kejahatan Yazid. Mereka sangat kritis dan menggambarkan Yazid sebagai sosok yang kejam, zalim, fasik, dan tidak pantas menjadi pemimpin umat Islam. Berikut adalah rangkuman dari pendapat beberapa ulama Ahlusunah yang terkenal:
- Abdullah bin Handhalah, seorang sahabat Nabi yang jenazahnya dimandikan oleh malaikat, menyatakan bahwa Yazid adalah orang yang meninggalkan salat, gemar minum minuman keras, menikahi ibu-ibunya dan saudara-saudaranya sendiri, serta gemar bermain dengan kera dan anjing. Ia menyatakan bahwa jika baiat kepada Yazid tidak segera dicabut, ia takut bahwa Allah akan menghujani mereka dengan batu dari langit sebagai hukuman.
- Hasan Bashri menjelaskan tentang kekejian Muawiyah, ayah Yazid, yang antara lain merampas urusan khilafah, menisbatkan Ziyad bin Sumaiyah kepada Abu Sufyan (ayahnya), membunuh Hijr bin Ady Al-Hindi dan teman-temannya, serta berani menentukan anaknya, Yazid, sebagai khalifah umat Islam setelah kematiannya.
- Ibnu Khaldun menyatakan bahwa sudah menjadi kesepakatan semua ulama mengenai kefasikan Yazid, menegaskan pandangan negatif terhadapnya.
- Al-Tiftazany mengizinkan melaknat Yazid dan pengikut-pengikutnya, menyatakan bahwa Yazid bersenang-senang atas terbunuhnya Imam Husain, bahkan menghina keluarga Nabi. Mereka meragukan keimanan Yazid dan berdoa agar Allah melaknatnya dan para pengikutnya.
- Ibn Hazm menyatakan bahwa tampilan Yazid bin Muawiyah hanya untuk tujuan duniawi, menunjukkan kezalimannya.
- Al-Jahidz menyebutkan berbagai kemungkaran yang dilakukan Yazid, termasuk membunuh Imam Husain, memenjarakan putri-putri Nabi, merusak Ka’bah yang mulia, menunjukkan sifat keras hati, rakus kedudukan, dengki, hati yang gelap, munafik, dan murtad. Ia menyatakan bahwa orang yang fasik seperti Yazid pantas untuk dilaknat, dan orang yang melarang mencaci orang yang terlaknat berhak juga untuk melaknatnya.
Dari rangkuman pendapat ulama di atas, terlihat jelas bahwa mereka sangat kritis terhadap Yazid dan mengutuknya karena perilaku dan tindakannya yang tidak islami serta kepemimpinannya yang tidak pantas dalam Islam.
*Disarikan dari buku Asyura dalam Perspektif Islam – Al-Kattib Abdul Wahab aI-Kasyi