Janganlah engkau mengandalkan angan-angan, karena angan-angan adalah modal orang-orang dungu dan akan mencegahmu dari kebaikan dunia dan akhirat!
Dalam wasiatnya, Imam Ali a.s. memperingatkan kita untuk tidak jatuh dalam angan-angan panjang. Banyak keterangan dalam riwayat yang mirip dengan pesan beliau, seperti apa yang diucapkan oleh beliau dalam Nahj al-Balaghah: “Yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah dua hal: mengikuti hawa nafsu dan berangan-angan panjang.”
Imam Ali a.s. telah menunjukkan ada dua bahaya yang paling mengancam kehidupan manusia; yang pertama adalah mengikuti hawa nafsu serta hasrat hati dan yang kedua adalah angan-angan panjang. Perlu digarisbawahi, angan-angan panjang bukanlah sekedar bahaya biasa, tetapi merupakan bahaya yang sangat serius dan mengkhawatirkan. Sebegitu bahayanya, hingga Imam Ali a.s. berkata, “Yang paling aku takutkan dari kalian.” Karenanya, dalam wasiat ini beliau berpesan kepada putranya, “Janganlah engkau mengandalkan angan-angan, karena angan-angan adalah modal orang-orang dungu dan akan mencegahmu dari kebaikan dunia dan akhirat!”
Nasihat dan anjuran agama yang mencegah kita untuk berangan-angan panjang, sepertinya bertentangan dengan apa yang dianjurkan dalam ilmu psikologi, yang mendorong serta memberi semangat manusia untuk bermimpi, berangan-angan dan bercita-cita tinggi, lalu bagaimana dapat dijelaskan pertentangan ini?
Baca: Ketika Manusia Dihadapkan pada Dua Macam Ujian
Para pakar ilmu jiwa justru menganjurkan dengan penuh penekanan agar manusia mempunyai angan-angan serta harapan-harapan yang tinggi dan hal itu dianggap sebagai pertanda bagi kehidupan ideal serta kesehatan jiwa. Nah, bagaimana dua pandangan yang berbeda ini diambil jalan tengahnya?
Lebih daripada itu, di antara riwayat-riwayat yang sampai kepada kita dari para Imam a.s., juga terdapat pertentangan, karena sebagian riwayat menganjurkan kita untuk selalu mempunyai harapan dan mencela keputusasaan, sementara sebagian yang lain, seperti pesan Imam Ali a.s. ini, mencegah kita untuk berangan-angan dan menumpuk harapan di dunia. Nah, kini kita harus mengkaji, apakah memiliki cita cita yang tinggi dan harapan jangka panjang adalah sebuah aib dan perbuatan yang harus dihindari?
Sebagai misal, apabila seseorang membuat perencanaan untuk 30 tahun ke depan dan sejak saat ini dia berusaha untuk dapat mencapainya selama waktu yang dicanangkan, apakah dia dianggap telah melakukan sebuah kekeliruan dan sedang mengejar angan-angan kosong? Apa sih sebenarnya sisi buruk dari sekadar memiliki cita-cita dan angan-angan panjang? Apa sebenarnya yang dimaksud oleh Imam Ali ketika mencegah kita untuk bersandar pada angan-angan yang panjang?
Agar topik bahasan menjadi jelas, perlu kiranya memerhatikan beberapa poin berikut:
Terlebih dahulu harus diketahui bahwa maksud dari angan-angan atau cita-cita adalah sebuah keinginan yang belum tercapai yang ingin diraih pada masa mendatang. Cita-cita dan dambaan adalah sesuatu yang diinginkan, namun belum tercapai dan tidak mudah untuk meraihnya; perlu perencanaan, kerja keras, dan kesabaran juga waktu yang panjang untuk mewujudkannya. Itu adalah arti dari angan-angan dan cita-cita, selanjutnya perlu juga diketahui, berkaitan dengan apa cita-cita dan angan-angan itu.
Berbagai macam hal, baik duniawi maupun ukhrawi, dapat menjadi objek cita cita dan angan-angan; bisa murni kenikmatan duniawi sampai perkara-perkara yang murni ukhrawi. Apabila cita-cita dan angan-angan tersebut berkaitan dengan materi dan kenikmatan duniawi, cita-cita tersebut dapat dibagi menjadi dua: pertama, mencita-citakan sesuatu yang haram menurut syariat, seperti menginginkan harta serta kedudukan dengan cara melanggar syariat; tentu yang seperti ini sudah sangat jelas hukumnya. Kedua, mencita-citakan sesuatu yang secara syar’i halal dan tidak bermasalah, seperti bercita-cita untuk memiliki rumah yang luas, mobil model terbaru, harta berlimpah, kebun buah, istana, dan lain sebagainya; tentu yang seperti ini juga pada batas dirinya tidak haram.
Yang menjadi ukuran serta neraca untuk menghukumi aktivitas yang seperti ini adalah: sebesar apa energi, usaha, aktivitas serta waktu yang dipertaruhkan untuk mewujudkan berbagai keinginan dan angan-angan tersebut? Tentu angan-angan serta cita-cita tinggi berkaitan dengan kenikmatan materi dan duniawi yang banyak menyita waktu dan energi seperti di atas, sangat tidak terpuji dan tercela dari sudut pandang akhlak Islam.
Orang-orang yang mengejar angan-angan panjang duniawi, mau tidak mau, akan terhalangi serta teralihkan dari menjalankan taklif-taklif syar’i dan meraih kesempurnaan-kesempurnaan maknawi, karena dia harus menghabiskan waktu bertahun-tahun lamanya untuk meraih semua kemegahan dunia itu. Sebagai misal, seorang pekerja biasa yang sama sekali belum mempunyai modal, namun dia berangan-angan untuk menjadi orang kaya raya dengan harta berlimpah. Sementara dia harus menjaga seluruh hukum syariat dan akhlak islami, dia juga harus bekerja siang dan malam untuk mengejar mimpinya; bangun dan tidurnya, waktu istirahat dan ketenangan hidupnya, seluruhnya dikonsentrasikan untuk meraih harapan tersebut hingga secara berangsur mencapai keberhasilan. Tak diragukan, bila seperti itu adanya, tidak ada kekuatan yang tersisa baginya untuk mencari ilmu, ketakwaan, ibadah, berkhidmat kepada masyarakat, membantu fakir miskin dan seterusnya.
Tanpa disadari, mengejar mimpi-mimpi duniawi seperti di atas memang akan menghambat manusia untuk mengerjakan tugas-tugas wajibnya. Oleh sebab itu, menyimpan cita-cita tinggi duniawi merupakan sesuatu yang tercela dalam agama. Akan tetapi, apabila harta serta kedudukan tersebut dia perjuangkan demi meraih tujuan-tujuan ukhrawi, seperti bila demi berkhidmat kepada sesama, membenahi kehidupan masyarakat, mendakwahkan Islam, maka seberapa pun usaha dan energi yang diberikan akan tercatat sebagai perbuatan yang mulia. Dengan kata lain, semakin mulia tujuan seseorang dan semakin jauh niatnya dari sekadar memenuhi tuntutan nafsu, maka semakin bernilai pola usaha dan kerja kerasnya. Apabila dia mengejar sebuah kedudukan demi sebuah misi Ilahi, usahanya tidak hanya tidak tercela, namun justru terpuji dan mulia.
Namun perlu juga diperhatikan, mengejar dunia demi tujuan ukhrawi mempunyai beberapa syarat.
Pertama, dia harus melihat dan mengkaji kemungkinan tercapainya cita-cita tersebut; apakah cita-cita yang diharapkan itu dapat diraih dengan melihat situasi dan kondisi serta fasilitas yang ada? Seberapa besar kemungkinan tercapainya cita-cita dan dambaan tersebut? Tentu, dalam kaitan ini, kemungkinan tercapainya tujuan itu haruslah besar. Oleh sebab itu, pertama harus diprediksi dan dihitung seberapa besar kemungkinan tercapainya tujuan tersebut.
Kedua, kita harus melihat seberapa besar nilai dari cita-cita dan dambaan itu, yakni apabila akhirnya cita-cita itu tercapai, sejauh apa dia dapat bermanfaat bagi akhirat serta pengkhidmatan kepada Islam dan masyarakat Islam? Dengan memahami situasi dan kondisi yang ada berkaitan dengan diri dan masyarakat, sejauh apa dia dapat memanfaatkan cita cita tersebut dalam berkhidmat kepada Islam? Apabila hasil telaah dua syarat di atas memberikan jawaban yang positif, berarti cita-cita dan mimpi tersebut layak untuk dikejar dan diwujudkan.
Kemungkinan keberhasilan (ihtimal) serta kadar hasil (mahtamal) harus sedemikian besar dan tinggi, agar mengejar cita-cita tersebut dapat disebut sebagai sebuah usaha yang terpuji dan bersifat rasional. Kadang keadaannya terbalik, yaitu ihtimal lemah, namun muhtamal-nya sangat kuat, yakni kemungkinan dicapainya cita-cita sangat kecil, namun bila tercapai pasti akan berguna dan digunakan untuk tujuan-tujuan ukhrawi yang mulia; jika begitu keadaannya, jangan pertaruhkan usia dan biaya untuk menggapainya. Singkat kata, apabila dua syarat di atas telah terkumpul, cita-cita dan angan-angan itu layak untuk dikejar; dan bila kedua syarat atau salah satunya tidak ada, cita-cita dan angan-angan tersebut tidak layak untuk dikejar dan diperjuangkan. Yang dimaksud dengan nilai sebuah cita-cita adalah sebuah cita-cita yang dapat digunakan dalam merealisasikan nilai-nilai Ilahi dan tujuan-tujuan suci, seperti apabila cita-cita tersebut dapat membantu dalam mewujudkan kepentingan-kepentingan ukhrawi kita.
Baca: Tauhid, Menolak Mengabdi Selain kepada Allah
Namun perlu juga diperhatikan bahwa untuk melakukan sebuah pekerjaan, tidak cukup hanya dengan memperhitungkan kadar ihtimal dan muhtamal. Masih ada hal lain lagi yang perlu diperhitungkan, yaitu melihat serta mengkaji nilai pekerjaan-pekerjaan yang mudah. Dengan begitu, kita dapat memilih sesuatu yang bernilai lebih tinggi di antara berbagai pekerjaan dan cita-cita yang muhtamal. Boleh jadi, ada pekerjaan-pekerjaan lain yang bernilai tinggi, karenanya kita perlu melakukan komparasi apakah satu pekerjaan khusus ini yang bernilai lebih tinggi atau pekerjaan-pekerjaan yang lain.
Sebagai kesimpulan, ada tiga perhitungan yang harus dilakukan untuk menindaklanjuti sebuah cita-cita dan angan-angan:
- Pertama, menghitung kadar kemungkinan tercapainya sebuah cita dan angan-angan (ihtimal).
- Kedua, menghitung kadar cita-cita dan angan-angan tersebut, sejauh apa ia bisa bermanfaat bagi akhirat dan khidmat kepada sesama.
- Ketiga, melihat berbagai cita dan angan-angan yang lain bila dibandingkan dengan cita dan angan-angan yang hendak diraih sekarang, mana di antara keduanya yang lebih bermanfaat untuk urusan ukhrawi.
Apabila cita-cita dan angan-angan itu tinggi dari sisi ihtimal, kuat dari sisi muhtamal dan tidak ada pekerjaan yang lebih baik dan lebih penting darinya, cita-cita dan angan-angan tersebut harus segera ditindaklanjuti. Tentu cita-cita dan angan-angan yang seperti itu sangat bagus dan terpuji. Sebagai misal, apabila seseorang berkeinginan memiliki sarana dan fasilitas duniawi yang lebih baik untuk berkhidmat kepada Allah Swt, hamba Allah dan agama, maka cita-cita dan angan-angan itu sangatlah baik dan tidak ada sisi buruknya. Namun, apabila kemungkinan tercapainya angan-angan tersebut sangat kecil (ihtimal) dan muhtamal-nya tidak begitu bernilai, mengejar angan-angan yang seperti itu tidak berbeda dengan berkhayal dan berfantasi. Sangatlah disayangkan apabila kesempatan hidup dihabiskan untuk hal hal tak bernilai seperti itu.
*Disadur dari buku 21 Nasihat Abadi Penghalus Budi – Ayatullah Taqi Misbah Yazdi