Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Penampilan antara Citra dan Fakta

Oleh: Ust Husein Alkaff

Menyusul terjadinya percekcokan yang nyaris berujung baku hantam antara seorang yang berpakaian jubah, kopiyah dan sorban dengan petugas Satpol PSBB di sebuah kota di Jawa Timur beberapa minggu lalu, muncul aneka ragam komentar dari para netizen di medsos.

Secara umum, para netizen terbagi dua kelompok; Kelompok pertama berkomentar nyinyir terhadap petugas Satpol yang dianggap kurang ajar dan tidak sopan terhadap seorang ulama dan habib, dan kelompok kedua berkomentar miring kira-kira seperti ini, “Kok ulama dan habib berlagak seperti preman dan tidak taat aturan?”

Meski peristiwa dan pelaku tersebut satu dan sama, tapi komentar netizen tentangnya berbeda-beda. Sebagian menyalahkan Satpol PSBB, dan yang lain menyalahkan orang yang berpakaian jubah itu.

Baca: Buruknya Citra Bani Israil dalam Al-Quran

Peristiwa itu menjadi ramai, karena satu hal yaitu penampilan dari pemeran utama dari peristiwa itu. Jika yang memerankan perbuatan itu adalah seorang yang berpakaian biasa; celana panjang dan kemeja, maka peristiwa itu tidak akan heboh dan ramai, atau jika yang memerankannya adalah seorang yang berpenampilan tipikal stigma preman misalnya, bertelanjang dada yang penuh dengan tato dan rambutnya panjang, maka bisa dipastikan semua netizen akan mengutuk orang itu.

Tulisan ini tidak ingin membicarakan peristiwa itu, karena sudah beres secara damai. Tulisan ini pun sengaja ditulis setelah lewat beberapa minggu dari waktu kejadiannya agar tidak dikesankan tendensius dan bias.

Baca: Ayatullah Khamenei: Wanita adalah Sumber Ketenangan Keluarga

Tulisan ini hanya ingin menarik satu pelajaran penting tentang paradigma dan cara pandang kebanyakan dari masyarakat kita terhadap penampilan, simbol dan lambang.

Penampilan, Citra, dan Fakta

Penampilan, simbol, dan lambang adalah sesuatu yang tampak di luar dan terlihat secara kasat mata, seperti model pakaian, gaya tubuh dan dialek percakapan. Citra adalah apa yang ditangkap dan dirasakan dari penampilan, sedangkan fakta adalah kenyataan yang sebenarnya dan terlepas dari penampilan dan citra.

Dalam kehidupan sehari-sehari, seringkali manusia berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya berdasarkan penampilan dan citra, karena dua hal ini mudah dipahami dan secara langsung dihadapi oleh manusia. Sementara untuk menangkap sebuah fakta membutuhkan kejernihan berpikir, pengetahuan yang memadai dan juga harus membuang pikiran yang sudah tertanam dalam diri seseorang.

Baca: Membangun Prinsip

Sebagai contoh, di tengah masyarakat kita, orang yang tampil bertato akan dipahami dan dinilai sebagai orang yang, maaf, tidak baik. Penilaian ini disebut citra atau kesan. Kemudian untuk mengetahui bagaimana fakta orang itu, maka diperlukan pengetahuan lebih lanjut tentang kehidupannya. Boleh jadi fakta orang itu bertentangan dengan citra yang ditangkap oleh masyarakat umum.

Contoh lain, kalau kita menjumpai seorang yang bertutur kata lembut dan sopan, maka seketika kita akan menilainya sebagai orang yang baik dan menarik. Namun faktanya, boleh jadi dia seorang penipu.

Penampilan tidak salah dan ia sebenarnya bebas dari nilai; baik dan buruk, sementara citra dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya dan lingkungan, dan bersifat relatif. Adapun fakta adalah sesuatu yang benar dan mungkin absolut, karena ia merupakan hakikat dan jati diri seseorang.

Baca: Pola Bani Umayah dalam Menyesatkan Umat

Oleh karena penampilan itu netral dari nilai, dan citra itu relatif dan bias, maka satu penampilan bisa memberikan citra yang bertentangan; dinilai baik oleh satu kelompok dan dianggap buruk oleh kelompok yang lain. Sebagai contoh, mohon maaf, jubah dan janggut. Keduanya adalah penampilan yang melekat pada seseorang. Bagi orang Muslim, orang yang berjubah dan berjanggut memberikan citra yang baik; dia seorang yang agamis, tetapi di saat yang sama, ia memberikan citra yang buruk bagi sebagian non Muslim karena dianggap sebagai pakaian para teroris atau radikal.

Jubah dan janggut sendiri netral dan bebas nilai. Bagi kaum Muslimin, jubah dan janggut mempunyai nilai yang baik, karena keduanya dikaitkan secara erat kepada Nabi Muhammad saw. Kemuliaan dan kebaikan pribadi beliaulah yang menjadikan apapun yang melekat pada beliau berupa penampilan; model pakaian dan bahasa, menjadi mulia dan baik. Sementara bagi non Muslim, jubah dan janggut identik dengan kelompok yang diberitakan sebagai kelompok teroris.

Ada satu kejadian menarik yang dialami oleh seorang ulama besar, yang kebetulan saya kenal. Beliau pernah bercerita bahwa suatu waktu beliau transit di bandara sebuah negara. Beliau harus keluar dari bandara dan menginap di sebuah hotel. Karena beliau memakai jubah dan berjanggut, maka beliau, maaf, didatangi wanita yang berpakaian setengah telanjang dan wanita itu menawarkan dirinya kepada beliau. Spontan beliau marah dan mengusir wanita itu.

Baca: Imam Ali Khamenei: Selalu Jaga Niat dalam Mencari Ridha Allah

Mengapa demikian? Apa yang salah? Citra yang ditangkap oleh wanita itu adalah bahwa jubah dan janggut, sekali lagi maaf, merupakan pakaian orang yang doyan wanita, karena para pelanggannya adalah para tamu yang datang dari kawasan yang warganya memakai jubah dan berjanggut.

No Comment

Kembali ke peristiwa di Jawa Timur. Para netizen, baik yang simpati kepada pria berjubah (Habib Umar) maupun yang tidak simpati, sama-sama terjebak pada penampilan, dan mereka menangkap citra yang salah.

Netizen yang simpati kepadanya menganggap bahwa pakaian jubah menjustifikasi pemakainya sebagai orang yang baik dan agamis, sedangkan netizen yang “membencinya“ berasumsi bahwa jubah adalah pakaian yang baik sehingga tidak layak dipakai oleh orang yang berperilaku tidak baik. Padahal, seperti telah dijelaskan, jubah itu menjadi pakaian yang baik bahkan mulia karena dikaitkan dengan sosok yang mulia, Nabi Muhammad saw. Kalau saja beliau tidak memakainya, maka jubah itu sama nilainya dengan model pakaian yang lain.

Baca: Bukti Keberadaan Imam Mahdi a.s Perspektif Ayatullah Sayyid Mohammad Baqir Sadr

Sedikit catatan. Seseorang mempunyai hak untuk memilih model pakaian atau berpenampilan dalam bentuk apapun. Namun penting bagi kita untuk membiasakan diri menilai seseorang bukan berdasarkan penampilan, dan kita jangan sampai terjebak pada sebuah citra berdasarkan penampilan. Biasakan menilai berdasarkan fakta sehingga tidak salah dalam menilai seseorang. Namun oleh karena mengungkap sebuah fakta tidaklah mudah, maka kita tidak akan mudah menilai seseorang, dan pilihan yang tepat sebelum fakta itu terungkap adalah “No comment”.


Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT