Oleh: Ayatullah Jawadi Amuli
Dan sembahlah Tuhanmu sampai keyakinan mendatangimu.
(QS. al-Hijr [15]:99)
Bersandarkan pada ayat mulia di atas, maka keyakinan itu merupakan buah atau hasil dari penghambaan. Perlu diketahui bahwa keyakinan yang bersumber dari ibadah itu berbeda dengan keyakinan yang bersumber dari pencapaian ilmu bahkan menyaksikan mukjizat.
Keyakinan diraih dari cara yang berbeda-beda. Keyakinan yang dihasilkan oleh pelbagai sebab dan faktor itu juga tidak sama tingkatannya. Sebut saja misalnya, keyakinan yang dicapai Firaun dan para sekutunya usai menyaksikan mukjizat tongkat Nabi Musa a.s., tidak dapat menuntun mereka kepada kebenaran dan tidak mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya.
Baca: Kemanusiaan Dulu Keyakinan Kemudian
Saat tongkat Nabi Musa a.s. berubah menjadi ular yang menaklukkan dan menelan ular para penyihir, secara jelas Firaun menyaksikan Nabi Musa a.s. berada di pihak yang benar. Hanya saja keyakinan yang mereka peroleh justru mengingkari ayat-ayat Allah yang nyata dan valid.
وَجَحَدُواْ بِهَا وَٱسۡتَيۡقَنَتۡهَآ أَنفُسُهُمۡ ظُلۡمٗا وَعُلُوّٗاۚ فَٱنظُرۡ كَيۡفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلۡمُفۡسِدِينَ
Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongannya, padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.
(Q.S. an-Naml [27]:14)
Selain itu, ada pula keyakinan yang diraih dari pemaparan pengetahuan para ulama, namun tanpa praktik. Hal itu tidak akan membawa pengaruh sama sekali.
Baca: Skeptisisme terhadap Keyakinan pada Imam Mahdi
Hanya cahaya keyakinan yang disinari oleh pelita ibadah yang menerangi lubuk hati seorang hamba itulah yang membawa pengaruh dan menyelamatkan sang hamba.
Sejatinya rahasia dan sumber kerusakan manusia yang terjerumus dalam dosa ialah bahwa dosa-dosa itu terselubung oleh kelezatan.
Manusia yang lemah dan lalai hanya dapat memandang selubung dan kulit luar ini semata. Dia tidak mampu menyaksikan apa yang ada di balik selubung itu, lalu mengejar selubung yang lezat itu dengan penuh hasrat dan kerinduan. Terperosoklah dia ke dalamnya.
Baca: Tafsir: Pertanda Lemah Iman
Sementara insan yang telah mencapai cahaya keyakinan sebagai efek penghambaan kepada Allah, dia memiliki kemampuan untuk menyaksikan selubung dan kandungan di dalamnya. Sehingga dia sama sekali tidak akan mengotori diri mereka dengan dosa yang mengandung racun mematikan dan api yang membakar.
Lebih dari itu, seorang insan yang meraih keyakinan dengan penghambaannya kepada Allah, akan memiliki kemampuan untuk menyaksikan neraka Jahim, sebagaimana dinyatakan Al-Quran,
أَلۡهَىٰكُمُ ٱلتَّكَاثُرُ … كَلَّا لَوۡ تَعۡلَمُونَ عِلۡمَ ٱلۡيَقِينِ. لَتَرَوُنَّ ٱلۡجَحِيمَ…
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,…. Sekali-kali tidak! Sekiranya kamu mengetahui dengan pasti, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim (Q.S. at-Takatsur [102]:1, 5, 6)
اُولئك الّذين تحرّروا من فخّ التكاثر[4] وتزيّنوا بعلم اليقين الّذي هو ثمرة العبادة (وليس البرهان والإستدلال) فهم يرون جهنّم الآن،
Tentang takatsur, perlu diberikan catatan bahwa seluruh insan akan diuji dengan sikap takatsur; ‘membanggakan sesuatu yang banyak’. Adakalanya insan diuji dengan harta yang banyak, anak dan kelompok yang banyak. Di kalangan ilmuwan, mereka diuji dengan pendengar, murid, pembaca, pengikut dan pengagum yang banyak. Demikian seterusnya.
Baca: Bukti Keberadaan Imam Mahdi a.s Perspektif Ayatullah Sayyid Mohammad Baqir Sadr
Setan tidak sekadar mengelabui dengan jebakan takatsur pada pencinta harta semata. Tidak dapat dimungkiri bahwa sikap takatsur juga terjadi di kalangan agamawan, ilmuwan dan seluruh bidang kebudayaan. Pada hari Kiamat akan tampak jelas bahwa perhatian pada banyaknya pengikut dan murid akan menjebloskan mereka pada siksa.
Orang-orang yang sukses membebaskan diri mereka dari jebakan sikap bermegah-megahan atau sikap bangga pada sesuatu yang banyak pada ayat itu ialah insan yang menghiasi dirinya dengan ilmu keyakinan yang merupakan raihan dari ibadah, bukan dari jalan pembuktian atau argumentasi. Mereka dengan itu kini menyaksikan Jahim.
Inilah yang dialami para pembela Imam Husein a.s. di malam Asyura. Setelah mereka mengambil keputusan dan tekad bulat untuk membela Imam Husein a.s. hingga tetes darah terakhir, mereka telah menyaksikan kedudukan mereka di surga. Hal ini tidak berarti bahwa mereka yang berperang bersama Imam Husein a.s. sebab menyaksikan surga dan berhasrat pada hal itu. Melainkan keyakinan yang mereka raih dari penghambaan itu berpuncak pada penyaksian.
Karena tingkatan keyakinan itu tidak terbatas, maka tujuan dari ibadah itu juga tidaklah terbatas.
Baca: Derajat Mulia Bakti Anak atas Kasih Tanpa Balas Kedua Orangtua