Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Pentingnya Akhlak dalam Islam

Definisi akhlak menurut para ulama adalah perbuatan atau sifat yang kebaikan atau keburukannya diketahui akal sehat dan semua manusia, di semua zaman dan tempat, sepakat tentang kebaikan atau keburukannya. Perbuatan akhlak adalah suatu tindakan yang kebaikannya diketahui nurani dan seorang merasa harus melakukannya atau tindakan yang keburukannya diketahui nurani manusia hingga membuatnya merasa bahwa itu tidak sesuai dengan sifat insaninya dan harus ditinggalkan.

Dalam Islam, akhlak terpuji memiliki kedudukan dan nilai yang sangat penting hingga ia disebut sebagai salah satu tanda keimanan. la juga disebut sebagai salah satu amalan yang memiliki timbangan terberat di hari akhir. Sedemikian pentingnya mengembangkan akhlak terpuji hingga menjadi salah satu tujuan pengutusan Nabi Muhammad Saw.

Rasulullah Saw bersabda: “Aku berpesan kepada kalian untuk berakhlak mulia, karena Allah mengutusku untuk tujuan ini.” (19.  Bihar al-Anwar, jil. 69, hal. 375)

Baca: Pelajaran Akhlak Imam Khamenei: Makna Istigfar

Beliau juga bersabda: “Pada hari kiamat, tidak ada sesuatu yang lebih berat timbangannya daripada akhlak yang terpuji.” (Al-Kafi, jil. 2, hal. 100)

Imam Muhammad Baqir a.s. berkata: “Orang mukmin yang imannya paling sempurna adalah yang berakhlak lebih baik.” (Al-Kafi, jil. 2, hal. 99)

Imam Jafar Shadiq a.s. berkata: “Allah memberi pahala kepada hamba-Nya berkat akhlak terpujinya sama seperti pahala yang diberikan pagi dan malam kepada seorang pejuang di jalan-Nya.” (Misykat al-Anwar, hal. 223)

Islam memberi banyak wejangan kepada para pengikutnya sekaitan dengan penyucian hati dan pengembangan akhlak terpuji. Banyak ayat Alquran yang berbicara tentang akhlak dan moral, bahkan kebanyakan kisah-kisahnya bertujuan membentuk akhlak mulia dalam diri manusia. Ribuan hadis dinukil dari Rasul Saw dan para Imam a.s. seputar masalah akhlak terpuji dan tercela. Pahala yang dijanjikan untuk akhlak terpuji dan hukuman bagi akhlak tercela pastilah tidak lebih sedikit dari pahala dan hukuman untuk hal-hal wajib dan haram, karena keduanya adalah faktor kesempurnaan jiwa dan kedekatan kepada Allah atau kehinaan jiwa dan keterasingan dari Allah.

Baca: Akhlak Mulia (1)

Maka, hal-hal yang berkaitan dengan akhlak harus disandingkan dengan hukum syariat atau bahkan diprioritaskan. Tidak layak bila kita mengacuhkannya hanya dengan alasan bahwa itu sekedar wejangan akhlak belaka. Pada prisipnya. kehidupan manusia tidak mungkin lepas dari akhlak terpuji. Sebab itu, semua bangsa dan suku di dunia senantiasa berpegang kepada nilai-nilai akhlak.

Rasulullah Saw bersabda: “Sebagian besar umatku masuk surga dikarenakan ketakwaan dan akhlak mulia yang mereka miliki.” (Al-Kafi, jil. 2, hal. 100)

Amirul Mukminin a.s. berkata kepada putranya: “Allah menjadikan akhlak mulia sebagai perantara hubungan diri-Nya dengan hamba-hamba-Nya. Apakah engkau tidak ingin memiliki akhlak yang bisa menghubungkanmu dengan Allah?” (Mustadrak, jil. 11, hal. 192)

Imam Shadiq a.s. berkata: “Akhlak mulia adalah hiasan seorang hamba di dunia dan pembawa kebahagiaan di akhirat. Dengan akhlak mulia, agama seseorang akan sempurna dan mendekatkannya kepada Allah.” (Mustadrak, jil 8, hal. 449)

Jiwa manusia adalah sebuah hakikat mulia, bersinar, malakuti dan lebih tinggi dari materi. Manusia lebih mulia dari hewan berkat jiwa malakuti yang ada dalam dirinya. Di sinilah kita bisa mengetahui kedudukan nilai-nilai akhlak. Akhlak mulia sesuai dengan esensi manusia dan jiwa malakutinya. Bila akhlak mulia tidak ada pada diri manusia, tidak akan ada perbedaaan antara dia dan hewan. Sebab itu, Islam senantiasa menekankan supaya manusia menjaga kesucian ruhnya dan berusaha untuk menambah kemuliaannya.

Baca: Kisah-kisah Nabi Muhammad saw.: Akhlak Nabi Di Masa Kecil (Bag. Terakhir)

Amirul Mukminin a.s. berkata: “Barang siapa yang memandang jiwanya patut dimuliakan, maka ia akan mudah meninggalkan hawa nafsunya.” (Nahj al-Balaghah, hadis 449)

Beliau juga mengatakan: “Orang yang mengagungkan jiwanya, tidak akan menodainya dengan perbuatan dosa.” (Ghurar al-Hikam, hal. 627)

Riwayat lain dari beliau berbunyi: “Jiwa (manusia) adalah sebuah hakikat yang berharga. Orang yang menjaganya (dari dosa) akan meninggikan derajatnya. Sedangkan orang yang menodainya akan merendahkannya.” (Ghurar al-Hikam, hal. 434)

Sekaitan dengan akhlak terpuji disebutkan bahwa semua manusia, pada setiap zaman dan tempat, sepakat atas kebaikan dan nilainya. Fitrah suci manusia mempunyai pemahaman semacam ini dan himbauan serta larangan moral bersumber dari pemahaman ini. Pengenalan diri inilah yang menjadikan ruh malakuti seseorang berkuasa sehingga ia dapat mengontrol hawa nafsunya dan berusaha mencapai derajat yang lebih tinggi.

Para nabi diutus untuk membantu manusia dalam perjuangan mulia ini dan memberinya dukungan dalam rangka penyucian jiwanya. Para nabi berkata kepada manusia: “Kalian adalah manusia, bukan binatang. Jangan lupakan esensi kemanusiaan kalian dan jangan pula tunduk di hadapan hawa nafsu hingga akan menyengsarakan kalian. Kesengsaraan terbesar adalah ketika manusia tenggelam dalam hawa nafsunya dan kehilangan esensi kemanusiaannya. Akibatnya, ia akan menuju alam akhirat dalam bentuk seekor binatang pemangsa.”

Baca: Kisah-kisah Nabi Muhammad saw.: Akhlak Nabi Di Masa Kecil (Bag. Terakhir)

Al-Quran mengatakan: Katakanlah: Orang-orang yang merugi adalah mereka yang kehilangan (nilai) jiwa dan keluarga mereka di Hari Kiamat. Ketahuilah bahwa ini adalah kerugian yang nyata. (QS. az-Zumar: 15)

Amirul Mukminin a.s. berkata: “Aku heran melihat seseorang mencari barang miliknya yang hilang di dunia, padahal ia kehilangan (nilai) jiwanya namun tidak berusaha menemukannya.” (Ghurar al-Hikam, 460)

*Dirangkum dari buku Alfabet Islam, karya Ayatullah Ibrahim Amini


No comments

LEAVE A COMMENT