Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Pentingnya Iman kepada Ma’ad

Mengetahui tujuan akhir bagi suatu kehidupan berperan besar dalam mengarahkan berbagai aktivitas dan memilih suatu tindakan. Pada hakikatnya, faktor utama dalam membatasi perjalanan hidup terdapat pada cara pandang seseorang terhadap hakikat dirinya, kesempurnaannya, dan kebahagiaannya.

Seseorang yang percaya bahwa hakikat dirinya tidak lebih dari sekumpulan unsur-unsur materi dan interaksi yang rumit di antara mereka, memandang bahwa kehidupannya dibatasi oleh masa yang singkat di dunia ini. Ia pun tidak mengakui adanya kepuasan, kebahagiaan atau kesempurnaan selain keuntungan dan usaha duniawi. Tentu, ia akan mengatur aktifitas dan tindakannya sesuai dengan tuntutan dan keinginan duniawinya.

Baca: Kemana Engkau Akan Menuju?

Adapun seseorang yang yakin bahwa hakikat dirinya itu lebih luas daripada materi, bahwa kematian itu bukanlah akhir kehidupan, akan tetapi sebuah perpindahan dari alam dunia yang sementara menuju alam akhirat yang kekal, dan bahwa perbuatannya yang saleh merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaannya yang abadi, tentu ia akan menjalani hidupnya dengan cara yang lebih bermanfaat, lebih unggul, dan lebih berpengaruh terhadap kehidupannya yang abadi. Lebih dari itu, segala kelelahan, kesalahan, dan kerugian yang ia alami di dunia tidak menggoyahkan tekadnya, tidak membuatnya putus asa, dan tidak juga mencegahnya dari melanjutkan segala aktivitas dan perjuangannya dalam menjalankan berbagai tugasnya demi mencapai kebahagiaan dan kesempurnaannya yang abadi.

Keyakinan terhadap Ma’ad (Hari Kebangkitan) pengaruhnya tidak terbatas pada kehidupan personal saja, tetapi juga pada kehidupan sosial dan pada sikap praktis setiap individu dan hubungan satu dengan lainnya. Keyakinan terhadap kehidupan akhirat, pahala dan siksa yang bersifat abadi amat berpengaruh besar dalam menjaga hak-hak orang lain dan berbuat baik kepada orang-orang yang lemah dan miskin. Tatkala suatu masyarakat mengarah kepada keyakinan semacam ini, tidak perlu lagi mengutamakan kekuatan untuk menerapkan undang-undang dan hukum-hukum keadilan serta memberantas kezaliman dan mengembalikan hak seseorang. Meratanya keyakinan semacam ini sanggup mengatasi sekian banyak problema negara.

Keyakinan terhadap kehidupan akhirat itu baru dapat berpengaruh dalam mengarahkan perilaku seseorang, baik yang bersifat personal maupun sosial, bilamana hubungan sebab akibat antara apa yang diusahakan di dunia ini (berupa perbuatan, kesenangan, kesengsaraan) dengan alam akhirat dapat diterima sepenuhnya. Setidaknya, harus ada pengakuan bahwa ganjaran akhirat itu akan menjadi pahala atau siksa atas amal-amal baik dan buruk yang dilakukan di dunia ini.

Baca: Apa Saja Perbedaan Kehidupan Dunia dan Akhirat?

Adapun jika kita meyakini bahwa kebahagiaan akhirat itu akan dapat dicapai di alam akhirat itu sendiri, sebagaimana kenikmatan-kenikmatan duniawi itu dapat diperoleh di dunia ini, maka keyakinan terhadap kehidupan alam akhirat akan kehilangan pengaruh utamanya dalam kehidupan kita di dunia. Sebab berdasarkan keyakinan ini, dapat dikatakan bahwa untuk memperoleh kebahagiaan dunia, setiap orang harus berusaha di dalamnya, sebagaimana untuk memperoleh kebahagian akhirat ia harus berusaha untuk memperolehnya di alam akhirat kelak, yaitu setelah kematian.

Maka itu, di samping membuktikan realitas Ma’ad dan kehidupan akhirat, termasuk hal yang penting ialah membuktikan adanya hubungan antara kehidupan dunia dan akhirat serta pengaruh berbagai tindakan ihktiyari (bebas) terhadap kebahagiaan atau kesengsaraan yang abadi.

Perhatian Alquran terhadap Ma’ad

Kita perhatikan bahwa lebih dari sepertiga Alquran berkaitan dengan kehidupan abadi. Sekelompok dari ayat-ayatnya menekankan keharusan beriman pada Hari Akhirat (dapat dilihat di antaranya pada surah Al-Baqarah: 4, Luqman: 4, dan An-Naml: 3). Sekelompok lainnya menyingkapkan dampak pengingkaran Ma’ad. Kelompok ketiga menjelaskan berbagai macam kenikmatan abadi. Kelompok keempat menerangkan berbagai macam azab yang abadi. Kelompok kelima menegaskan adanya hubungan antara amal-amal kebajikan atau keburukan beserta pengaruh dan konsekuensi ukhrawinya. Kelompok keenam –dengan ungkapan yang beragam– menekankan pentingnya Hari Kiamat serta menyanggah keraguan-keraguan para pengingkarnya. Ada pula kelompok ketujuh dari ayat-ayat Alquran yang menjelaskan bahwa sebab terjadinya berbagai macam kesesatan dan penyelewengan itu lantaran kelalaian atau pengingkaran terhadap Hari Kiamat atau Hari Pembalasan.

Adapun faktor penolakan mereka terhadap Ma’ad dapat disimpulkan pada dua hal: Pertama, faktor umum yang telah mendarah-daging pada diri mereka dalam mengingkari setiap perkara yang gaib dan nonmateri. Kedua, faktor khusus terhadap masalah Ma’ad, yakni ada keinginan untuk mencari-cari alasan dan keinginan bebas dari tanggung jawab.

Keyakinan terhadap Hari Kiamat dan hisab (perhitungan) merupakan penopang yang kuat untuk menanamkan rasa tanggung jawab, dan pendorong yang besar untuk menerima ketentuan-ketentuan dalam berbuat, mencegah kezaliman, merampas hak orang lain, berbuat kerusakan dan maksiat. Dan pengingkaran akan Ma’ad membuka jalan untuk melakukan kesewenang-wenangan, tunduk pada hawa nafsu, egoisme, dan berbagai macam penyelewengan.

Baca: Tafsir: Proses Penciptaan Menepis Keraguan atas Hari Kebangkitan

Allah Swt berfirman: “Apakah manusia mengira bahwa kami tidak akan menghimpun tulang belulangnya? Tidak, sesungguhnya Kami mampu untuk menciptakan jari-jemarinya, akan tetapi manusia akan selalu ingin berbuat jahat di hadapan-Nya.” (QS. Al-Qiyamah: 3-5)

Dari ayat ini kita dapat melihat sikap dan kondisi jiwa orang-orang yang tidak mau mengakui Ma’ad dengan pengertian yang sebenarnya. Mereka berusaha mengartikan kebangkitan, Hari Akhirat dan ungkapan-ungkapan quranik tentang Ma’ad –dalam ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan mereka– berdasarkan fenomena duniawi. Misalnya membangkitkan bangsa-bangsa, mendirikan masyarakat tanpa mengenal kelas, membangun surga dunia, atau mereka menafsirkan alam akhirat dan istilah-istilah yang berkaitan dengannya dengan nilai moral yang semu.

Alquran menganggap orang-orang seperti itu sebagai setan-setan manusia dan musuh-musuh para nabi, karena mereka berusaha mengaburkan pemikiran dan menipu hati-hati manusia melalui ucapan mereka yang menipu dan menghancurkan. Mereka juga menjauhkan umat manusia dari keimanan yang lurus dan komitmen terhadap hukum dan ajaran Ilahi.

Allah Swt berfirman: “Demikianlah telah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan dari jenis manusia dan dari jenis jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang memikat untuk menipu manusia. Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. Dan agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang setan-setan kerjakan.” (QS. Al-An’am:12-13)

*Dikutip dari buku karya Ayatullah Taqi Misbah Yazdi – Akidah Islam, Pandangan Dunia Ilahi


No comments

LEAVE A COMMENT