Dr. Muhsin Labib
Sebagian orang keburu sinis bila tema kompetensi dan otoritas diketengahkan karena keburu menuduhnya sebagai pembatasan hak dan pengekangan kreativitas atau menuduhnya sebagai dominasi. Padahal kompetensi dan otoritas dalam bidang-bidang pengetahuan bisa diperoleh oleh siapa saja yang mau bekerja keras untuk memperolehnya.
Kompetensi dan otoritas (legitimasi) dalam bidang agama yang meniscayakan kepatuhan tak didasarkan pada penerimaan umat. Kewenangan seorang nabi terbentuk dan diperoleh karena penunjukan Tuhan meski publik tak mengakui bahkan menolaknya.
Tanpa dasar pemahaman rasional sebagai hasil dari usaha inteleksi sendiri tentang kewenangan (Ketuhanan), pengamalan agama menjadi sia-sia. Umumnya, perintah dan anjuran serta nasihat juga teguran yang kerap diulang-ulang para narator info agama tak direspon secara aktual karena publik tidak (tidak pernah) diberi premis-premis rasional yang dapat dijadikan sebagai bahan atau data fundamental tentang prinsip-prinsip logis kemestian kebertuhanan (dengan prinsip-prinsip turunannya yang integral, kewenangan dan kebangkitan) yang meniscayakan kepatuhan. Karenanya, ajaran bukan ilmu rembukan. Hanya orang-orang yang secara faktual diketahui kualifikasi dan keahliannya yang berhak menjelaskannya dari sumber-sumber utamanya.
Baca: Islam Agama Logika dan Argumentasi
Andai pengetahuan tentang apapun bisa diperoleh oleh setiap orang tanpa belajar (tanpa melakukan serangkaian inteleksi dan mengesampingkan ego, kesenangan dan lain-lain), tentu kompetensi dan otoritas tak diperlukan, bahkan tak perlu sistem, struktur dan hierarki bahkan tak perlu agama, juga tak perlu lagi pakar, dokter, ahli hukum dan tak presiden, tak perlu imam faqih, ulama juga, masyarakat dan umat yang sebagian besarnya adalah awam.
Menjadi awam atau menyadari batas kemampuan dengan mengambil posisi penerima atau penyimak atau murid atau awam bukanlah kehinaan. Menjadi narasumber juga bukan kemuliaan. Kehinaan dan kemuliaan ditentukan oleh keikhlasan dan kerendahan hati serta komitmen mengamalkan apa yang diketahui.
Baca: Mengapa Metode Perjuangan Imam Husain Berbeda dengan Imam Hasan?
Awam adalah kata serapan Arab “Al-awam” (عوام) berasal dari kata am (عام) yang berarti umum (mayoritas). Pasangannya adalah khawash (خواص) berasal dari kata khas (خاص) yang berarti khusus (minoritas). Ringkasnya, awam adalah sebagian besar masyarakat, sedangkan khawash adalah sebagian kecilnya.
Yang perlu diketahui adalah hal-hal sebagai berikut:
- Sekadar dipanggil ustaz, ulama, alim, kyai dan sebutan lainnya atau digemari atau diikuti oleh banyak orang atau mengklaimnya tidak berarti memang kompeten dalam pengetahuan agama.
- Seseorang yang memang kompeten di sebuah bidang agama tak serta merta kompeten di semua bidang agama, apalagi tak terbukti punya kompetensi dalam sebuah bidang.
- Semua ahli agama (yang kompeten) bisa disebut ahli agama atau alim juga ulama (jamak alim) dan dipanggil dengan aneka sebutan. Tapi hanya yang kompeten dalam bidang fikih (disebut faqih) yang punya kompetensi dalam penyimpulkan hukum atau mujthid.
- Tak semua faqih (kompeten) punya otoritas dan kewenangan untuk dipatuhi. Sebagian faqih adalah rujukan dalam penyimpulan hukum agama karena memenuhi syarat kompetensi dan kualifikasi. Tapi hanya seorang faqih di antara seluruh faqih yang punya kompetensi plus otoritas untuk dipatuhi.
- Tak semua masalah hukum harus diambil dari ahli fikih yang kompeten. Hanya hukum-hukum zhanni (spekulatif) yang harus didasarkan pada hasil penyimpulan ahli fikih yang kompeten.
Karena sebelum menganut Mazhab Ahlulbait, terbiasa menjalani hidup dalam keberagamaan yang longgar, tak sedikit individu Syiah belum memahami posisi penting fikih sebagai pasangan iman atau akidah. Akibatnya, banyak produk hukum fikih dalam ibadah (vertikal) dan muamalah (horisontal) yang dilaksanakan secara salah atau bahkan diabaikan.
Baca: Posisi Intelektual Imam Musa Kazhim di Tengah Umat
Atas dasar itu, penting bagi awam memahami logika fikih sebagai pedoman mengidentifikasi taklif individual dan komunalnya.