Menurut sejumlah penelitian, pada era abad-21 ini, sebagian anggota masyarakat dunia mulai cenderung ke arah agama dan spiritualitas. Data-data dari negara-negara Eropa dan Amerika yang menunjukkan antusiasme masyarakatnya terhadap agama memperkuat tema ini. Berdasarkan penelitian sosiologi paling baru, baik di Afrika Selatan atau Meksiko yang secara perbandingan belum banyak kemajuan, atau di Amerika Serikat yang secara materi disebut negara maju, menunjukkan bahwa lebih dari 95% penduduknya beriman pada keberadaan Tuhan. (Ronald Inglehart, Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide, Cambridge University Press, 2004, hal. 216)
Barangkali dapat dikatakan pula bahwa era kita kini adalah era titik-balik ke arah agama dan spiritualitas. Bangunan dari dua aliran besar pemikiran materialisme, yakni positivisme dan empirisme dalam lingkup ilmu dan pemikiran, serta marxisme dan komunisme dalam lingkup perbuatan, ekonomi, dan pemikiran telah ambruk. Bagi masyarakat yang mengalami kesusahan, kini telah terbuka bidang perenungan dalam hal-hal maknawi dan kembali ke sunnah-sunnah llahi. Sekarang kita dapat membahas peran agama dalam menyelesaikan krisis-krisis manusia modern.
Agama dan Krisis Pengetahuan
Berdasarkan ajaran agama, jalan pengetahuan mencakup indra, akal, penyaksian batin, dan wahyu Ilahi. Seseorang menetapkan kelaziman wahyu melalui jalur akal. Dan wahyu llahi banyak menjabarkan hakikat kehidupan manusia. Ajaran-ajaran wahyu llahi juga sejalan dengan akal, atau dapat dikatakan bersandar pada akal. Dengan sudut pandang ini, maka seluruh ajaran wahyu adalah rasional. Manusia dengan bantuan “dua sayap” karunia Ilahi itu (yakni wahyu dan akal) mampu meraih keberuntungan dunia dan kebahagiaan akhirat.
Baca: Peran Agama dalam Melawan Penindasan dan Menegakkan Keadilan
Agama bukan hanya tidak membatasi lingkup pengetahuan manusia, (agama) justru membuka ufuk yang lebih lebar di hadapannya. Sedangkan akal (sendiri tanpa wahyu) tidak memiliki kemampuan untuk meraih hal sepenting dan sesempurna itu.
Agama Dan Krisis Moral
Agama selalu menjadi perlindungan kuat bagi moral, sejak dulu sampai sekarang. Tuhan adalah pencipta manusia, pemberi petunjuk, dan pengawas amal perbuatannya. Perintah dan larangan Tuhan dalam bungkus wahyu dimaksudkan untuk memuliakan manusia agar dapat mencapai kesucian dan kesempurnaan hidupnya. Para rasul diutus untuk merealisasikan akhlak mulia. Bagi Mukmin sejati, cinta kepada Tuhan merupakan pendorong untuk mengamalkan aturan-aturan-Nya. Bagi sebagian orang, pahala dan siksa akhirat juga menjadi faktor pendorong untuk mengamalkan perintah-perintah Ilahi dan condong ke akhlak yang luhur. Karena, betapa banyak kejujuran, kebenaran, rela berkorban, menolong yang lemah, dan lain-lain, yang terwujud bersama keterbatasan materi.
Meskipun dengan berbagai keterbatasan kepemilikan diri dan lingkungan, seseorang tidak mesti terhalangi untuk melakukan kebajikan. Keterbatasan harta, kedudukan sosial, kecacatan fisik, misalnya, tentu saja tidak bertentangan dengan jatidiri manusia untuk berikhtiar. Kuncinya terletak pada ketundukan manusia pada aturan Tuhan. Karena itu, Islam tidak melihat kepada kuantitas suatu amal saleh, melainkan pada kualitasnya. Islam menitikberatkan proses penyempurnaan pada jati diri si individu dan seruan para nabi selalu mengetuk hati tiap-tiap manusia, tempat fitrah bersemayam. Karenanya, kita menemukan suatu hubungan indah antara panggilan hati dan fitrah dengan seruan dan ajaran-ajaran para utusan Allah.
Baca: Orang Berilmu yang Mendustakan Agama
Sekarang ini, sebagian dari aliran yang dianut beberapa kelompok masyarakat berusaha mencari penopang selain Tuhan untuk membangun moralitasnya, akan tetapi mereka tidak berhasil. Mereka tidak mampu menyemai akhlak yang luhur agar berbudidaya dalam komunitas mereka.
Agama dan Krisis Kejiwaan.
Agama merupakan tameng kuat untuk mengalahkan kegelisahan jiwa. Bagian penting dari faktor-faktor kegelisahan jiwa kembali pada ketidakbutuhan kepada Tuhan serta pengesampingan akan makna dan tujuan hidup yang sejati. Manusia yang meyakini bahwa wujudnya berasal dari Tuhan dan akan kembali pada-Nya, meyakini bahwa kehidupan dunia sebagai tempat ujian yang telah disediakan Tuhan untuknya, dan setelah masa ujian itu selesai ia akan menuju kediaman abadi.
Keyakinan demikian akan membawanya pada jalan-jalan kehidupan yang tidak kosong makna. la memiliki arah dan arahan tepat dalam menjalani semua kejadian hidup; seperti kesengsaraan, kesenangan, berbagai problem, penyakit, dan kenikmatan. Ia tidak akan terlalu sedih atas apa yang telah hilang dari tangannya dan tidak terlalu gembira atas apa yang ia miliki. Ia tidak pernah memberi jalan bagi kemurungan atau kegembiraan berlebihan dalam dirinya.
Celaan serta olokan tidak memberi pengaruh apa-apa atas kehendaknya yang bersih. Alquran menerangkan bahwa kehidupan yang sempit dan susah diakibatkan oleh keberpalingan seseorang atau masyarakat dari Tuhan. “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit.” (QS. Thaha: 124)
Juga ditegaskan oleh-Nya: “Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. al-Ra’d: 28)
Psikologi praktis juga menyatakan bahwa agama dan iman sangat berpengaruh dalam mengatasi penyelewengan psikologis. Sebagai contoh adalah apa yang dinyatakan oleh psikolog Barat ternama, Carl Gustav Jung (1875-1961). Ia menceritakan: “Di antara semua pasienku yang berumur separuh umurku, -yakni di atas 35 tahun- tidak ditemukan satupun dari mereka problem setelah problem putus asa dari semua fasilitas, bukan soal menemukan pandangan agama dalam kehidupannya. Dengan yakin dapat dikatakan bahwa setiap dari mereka telah sakit, karena mereka telah kehilangan apa yang diajarkan agama kepada pengikutnya. Tidak satupun dari mereka yang betul-betul menemukan kesembuhan kecuali yang mau membuka diri terhadap pandangan dan ajaran agama.” (John McCreery, Pemikiran Religius Abad ke-20, hal. 222)
Baca: Pentingnya Mencari Agama yang Benar
Dari sinilah, manusia memerlukan agama. Tuhan juga mengutus para rasul di masa-masa yang berbeda guna memberikan hidayah dan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Dan semua mengetahui, penutup para nabi dan rasul itu adalah Muhammad saw.
Kehendak manusia ialah meraih kebahagiaan dan kesuksesan, dan iman adalah jalan untuk sampai pada kebahagiaan itu. Iman memberikan semangat, ketenangan, ketentraman hati, makna, harapan, keberanian, dan tujuan kepada manusia. AIquran sangat memuliakan iman dan menganggapnya sebagai faktor utama kemenangan serta kekhususan dari orang yang bertakwa dan yang mendapatkan hidayah. AIquran juga menegaskan bahwa iman dapat mengantarkan seseorang dari kegelapan menuju cahaya.
Di samping itu, banyak dari para ahli psikologi meyakini bahwa iman sangat berpengaruh dalam menyembuhkan dan mengatasi masalah-masalah jiwa manusia.
*Dikutip dari buku karya Ayatullah Ja’far Subhani – Panorama Pemikiran Islam