Menurut berbagai riwayat, tatkala Rasulullah Saw menyeru para pendeta Nasrani untuk masuk Islam, mereka menolak ajaran beliau dan enggan berbaiat kepada beliau serta menuduh beliau dengan kebohongan. Ketika Rasulullah Saw tidak lagi menemukan jalan untuk memberikan petunjuk kepada mereka, beliau mengajak mereka bermubahalah sebagai perintah dari Allah Swt.
Siapa yang membantahku tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri-diri kami dan diri-diri kamu; kemudian manilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah dilimpahkan kepada orang-orang yang dusta.’ (QS. Ali Imran: 61)
Mereka memenuhi ajakan Rasulullah Saw itu dan menentukan waktu untuk bermubahalah. Tatkala telah dekat saat untuk bermubahalah, para pendeta Nasrani dan sekelompok besar para pengikutnya berkumpul, mereka menunggu kedatangan Rasulullah Saw. Mereka terkejut saat melihat Rasulullah Saw datang dengan Langkah kaki yang mantap dengan disertai ahlulbaitnya. Satu tangan beliau menuntun Imam Husain sementara tangan beliau yang lain menuntun Imam Hasan, sedangkan Sayidah Fatimah Zahra berjalan di belakang beliau dengan dipenuhi cahaya dan Imam Ali mengikuti mereka dengan memancarkan kebesaran.
Ketika itulah Sayyid dan Aqib keluar dengan membawa kedua anak mereka, dengan disertai orang-orang Nasrani Najran dan para pahlawan Bani Harits yang berada di atas kuda-kuda mereka. Ketika itu massa telah berkumpul, mereka menunggu saat-saat yang menegangkan dan mereka bertanya-tanya, apakah Rasulullah saw akan tetap bermubahalah dengan orang-orang Nasrani? Atau memilih kembali?
Baca: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 61 tentang Peristiwa Mubahalah
Ketika Sayyid dan Aqib datang kepada Rasulullah saw, sudah tampak pada diri mereka keraguan dan kepanikan. Mereka berdua bertanya, “Wahai Abal Qasim, dengan disertai siapa engkau akan bermubahalah dengan kami?”
Rasulullah Saw menjawab, “Saya akan bermubahalah dengan disertai sebaik-baiknya penduduk bumi dan semulia-mulianya makhluk di sisi Allah.”
Rasulullah menunjuk Imam Ali, Sayidah Fatimah Zahra, Hasan, dan Husain as. Mereka bertanya penuh keheranan, “Mengapa engkau tidak bermubahalah dengan orang-orang besar dan mulia yang beriman dan mengikutimu?”
Rasulullah Saw berkata, “Tentu, aku akan bermubahalah denganmu dengan disertai mereka, sebaik-baiknya penduduk bumi dan seutama-utamanya makhluk.”
Hati mereka pun berguncang dipenuhi rasa takut dan kekhawatiran. Akhirnya, mereka pun kembali menemui pemimpin pendeta mereka untuk meminta petunjuk. Mereka berkata kepada pemimpin mereka, “Wahai Aba Haritsah, bagaimana pendapatmu dalam perkara ini?” Pendeta mereka pun menjawab, “Aku melihat wajah-wajah yang jika salah seorang dari mereka memohon kepada Allah supaya gunung dihilangkan dari tempatnya, maka Allah akan menghilangkan gunung itu. Tidakkah engkau melihat Muhammad sedang mengangkat kedua tangannya sambil menunggu terkabulnya doanya? Demi al-Masih, jika dia menggerakkan mulutnya dengan satu kata, maka kita tidak akan bisa kembali kepada keluarga dan harta kita.”
Akhirnya, mereka memutuskan untuk segera pulang dan meninggalkan arena mubahalah yang diliputi wajah-wajah yang bercahaya. Mereka rela walaupun harus menanggung kehinaan dan memberikan jizyah (denda).
Kejadian ini, walaupun berlangsung singkat, namun berhasil mewujudkan kemenangan besar Islam yang tidak kalah hebatnya dibandingkan kemenangan militer yang diperoleh Rasulullah Saw di dalam hidupnya. Karena peristiwa ini merupakan momen sejarah terpenting dalam Islam, dan juga merupakan tanda berakhirnya keabsahan agama Masehi dengan datangnya penutup para nabi.
Rasulullah saw menjawab, “Saya akan bermubahalah dengan disertai sebaik-baiknya penduduk bumi dan semulia-mulianya makhluk di sisi Allah.”
Rasulullah Saw menunjuk Imam Ali, Sayidah Fatimah Zahra, Hasan, dan Husain. Mereka bertanya penuh keheranan, “Mengapa engkau tidak bermubahalah dengan orang-orang besar dan mulia yang beriman dan mengikutimu?”
Rasulullah berkata, “Tentu, aku akan bermubahalah denganmu dengan disertai mereka, sebaik-baiknya penduduk bumi dan seutama-utamanya makhluk.”
Hati mereka pun berguncang dipenuhi rasa takut dan kekhawatiran. Akhirnya, mereka pun kembali menemui pemimpin pendeta mereka untuk meminta petunjuk. Mereka berkata kepada pemimpin mereka, “Wahai Aba Haritsah, bagaimana pendapatmu dalam perkara ini?”
Pendeta mereka pun menjawab, “Aku melihat wajah-wajah yang jika salah seorang dari mereka memohon kepada Allah supaya gunung dihilangkan dari tempatnya, maka Allah akan menghilangkan gunung itu. Tidakkah engkau melihat Muhammad sedang mengangkat kedua tangannya sambil menunggu terkabulnya doanya? Demi al-Masih, jika dia menggerakkan mulutnya dengan satu kata, maka kita tidak akan bisa kembali kepada keluarga dan harta kita.”
Akhirnya, mereka memutuskan untuk segera pulang dan meninggalkan arena mubahalah yang diliputi wajah-wajah yang bercahaya. Mereka rela walaupun harus menanggung kehinaan dan memberikan jizyah (denda).
Ada beberapa pertanyaan yang muncul terkait mubahalah ini. Pertama, mengapa Rasulullah Saw tidak melibatkan istri-istrinya dan para sahabatnya dalam mubahalah, padahal keadaan menuntut kehadiran sebanyak mungkin orang dalam menghadapi banyak orang Nasrani? Kedua, mengapa Rasulullah saw hanya menghadirkan Ahlulbait yang suci dalam mubahalah? Mengapa tidak mengajak semua sahabat seperti ketika mengajak mereka ke medan perang? Jika masalahnya hanya berdoa kepada Allah agar pengikut kebenaran menang dan pengikut kebatilan kalah, mengapa Rasulullah Saw mengikutsertakan Ahlulbait, padahal Allah akan mengabulkan doanya meskipun dia berdoa sendirian dalam mubahalah?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, perlu melihat dengan seksama berbagai makna yang terkandung dalam ayat mubahalah, sehingga kita dapat memahami dimensi politik yang terkait. Ayat tersebut menyebutkan Imam Ali dengan kata “anfusana” (diri-diri kami), Fatimah Zahra dengan kata “nisa’ana” (istri-istri kami), dan Hasan dan Husain dengan kata “abna’ana” (anak-anak kami). Ini menunjukkan bahwa Ahlulbait memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah Swt.
Ayat ini memberikan isyarat bahwa Ahlulbait memiliki kedudukan yang setara dengan Rasulullah Saw. Imam Ali memiliki kedudukan yang sama dengan Rasulullah dari segi martabat dan derajat di sisi Allah. Kehadiran Imam Ali dalam mubahalah adalah bukti bahwa yang dimaksud dengan “anfusana” adalah Imam Ali. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan yang dimiliki Rasulullah atas umat Islam juga dimiliki oleh Imam Ali.
Selain itu, ungkapan ini menunjukkan bahwa Ahlulbait memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah Swt. Mereka adalah pemimpin Muslimin sebagaimana kepemimpinan Rasulullah. Kepemimpinan Imam Ali sebagai khalifah juga diakui oleh sebagian besar ulama Muslim dari berbagai mazhab. Keberadaan Imam Ali dalam mubahalah menguatkan kebenaran ini.
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mengapa Rasulullah tidak melibatkan istri-istrinya dan para sahabat dalam mubahalah, serta mengapa hanya Ahlulbait yang diikutsertakan, perlu melihat makna-makna yang terkandung dalam ayat mubahalah serta ayat-ayat lain yang terkait. Ayat mubahalah memberikan isyarat tentang kedudukan Ahlulbait dan kepemimpinan yang dimiliki oleh Imam Ali.
Dalam khotbah yang terkenal dengan khotbah asy-Syiqsyiqiyyah, ayat Mubahalah menjadi bukti terbesar akan kepemimpinan ahlulbait, karena kedudukan yang tinggi yang mereka miliki di sisi Allah Swt. Rasulullah Saw hanya mengikutsertakan mereka dalam arena mubahalah tanpa mengajak seorang pun dari kalangan Muslimin lainnya.
Mubahalah merupakan perwujudan dari mengerahkan segala kekuatan, kemuliaan, dan kedekatan dengan Allah untuk menunjukkan bahwa mereka yang berada di atas kebenaran dan yang berada di atas kesesatan. Oleh karena itu, Rasulullah Saw menganggap penting untuk hadir dalam mubahalah dengan mengikutsertakan orang-orang yang sangat dekat dengan Allah. Tidak ada seorang pun dari sahabat atau istri Rasulullah yang lebih dekat kepada Allah daripada Ahlulbait, yang telah dihapus dosa mereka dan disucikan dengan kesucian yang sempurna.
Baca: Pengumuman Ali bin Abi Thalib as. sebagai Penerus Risalah Rasulullah Saw
Jika bukan karena alasan ini, tentu Rasulullah Saw akan mengajak sahabat-sahabat dan istri-istrinya untuk ikut dalam arena mubahalah. Orang-orang Nasrani Bani Najran terkejut dengan keputusan Rasulullah Saw ini, karena mereka telah mengenal keagungan Ahlulbait ini di sisi Allah melalui kitab Taurat. Oleh karena itu, mereka mencoba membujuk Rasulullah saw untuk menghadirkan orang lain selain ahlulbait dalam mubahalah, dengan alasan “Mengapa engkau tidak bermubahalah dengan kami dengan menghadirkan orang-orang besar dan mulia dari kalangan orang-orang yang beriman dan mengikutimu?”
Namun, Rasulullah Saw tetap teguh dengan keputusannya untuk hanya mengikutsertakan Ahlulbait yang suci ini dalam mubahalah. Dari sini, kita dapat memahami bahwa masalahnya bukan hanya sebatas mubahalah dengan kaum Nasrani Bani Najran, tetapi juga penting untuk menguatkan keagungan Ahlulbait. Ahlulbait adalah cahaya bagi setiap pencari kebenaran, dan melalui mereka, Allah memberikan petunjuk kepada siapa pun yang mengikuti jalan-Nya. Peristiwa mubahalah merupakan ujian terbesar bagi kaum Nasrani Najran, di mana mereka menyerah dan bersedia membayar jizyah, tetapi tidak menerima kebenaran Islam.
Peristiwa mubahalah juga menjadi ujian terberat bagi umat Islam saat ini, apakah mereka bersedia berpegang teguh kepada Ahlulbait dan mengambil sumber ajaran agama dari mereka, atau memilih untuk meninggalkan Ahlulbait dan merugi dalam agama mereka.
*Disarikan dari buku Mengapa Kita Mesti Mencintai Keluarga Nabi Saw – Muhammad Jawad