Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Prinsip-Prinsip Islam dalam Pidato Fathimah Az-Zahra

Mencintai Fathimah Azzahra tidaklah sebatas detakan jantung atau sikap emosional, melainkan harus disertai dengan komitmen yang tulus, pengetahuan, dan pengamalan. Sejarah mencatat khutbah dan perkataan-perkataan wanita mulia ini, yang wajib kita pelajari untuk kemudian diamalkan dalam kehidupan. Di bawah ini akan dibahas sedikit di antaranya.

  1. Baktikan Dirimu kepada Islam

Fathimah Azzahra s.a. menyerukan kepada laki-laki dan perempuan yang beriman untuk mmebaktikan diri sepenuhnya, mulai dari pikiran, hati, emosi, gerakan, amal, perkataan, dan seluruh hidupnya untuk Islam. Dia sendiri telah mencontohkan pengabdian total ini dalam masa hidupnya.

Pengabdiannya pada Islam ditunjukkan sejak kecil, ketika dia mendampingi Rasulullah yang terluka disakiti kaum kafir.  Bahkan di usia semuda itu, dia mampu membahagiakan Rasulullah, menghapus luka dankesedihannya, sehingga Rasulullah menjulukinya ‘ibu dari ayahnya’ (ummu abiiha).

Pengabdiannya pada Islam juga ditunjukkan saat ia mendampingi Panglima Kaum Beriman, Imam Ali a.s. Ia melayani dan mendampingi Ali dalam suka dan duka, menjaga anak-anaknya, serta melakukan hal-hal yang menyenangkan mereka.

Az-Zahra juga mengabdi kepada Islam dengan menggunakan uang dan kerja kerasnya. Ia memberikan sedekah kepada kaum miskin, sementara ia harus hidup sangat sederhana dan bekerja keras dalam melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga. Inilah manifestasi dari salah satu isi khutbahnya, “Baktikan dirimu kepada Islam dan berjuanglah untuk memastikan bahwa kata-kata Allah adalah yang paling tinggi dan kata-kata Setan adalah yang paling hina.”

Seruan Fathimah menunjukkan bahwa banyak masalah yang dihadapi kaum Muslims sehingga membutuhkan perjuangan untuk menghadapinya. Untuk menyelesaikan semua persoalan kaum Muslimin, yang dibutuhkan terutama adalah persatuan dan menjadikan Islam sebagai tujuan besar yang mengalahkan berbagai perbedaan dan keegoisan yang ada di tengah umat.

2-    Tetangga Dulu, Baru Diri sendiri

Az-Zahra selalu bangun dini hari untuk sholat tahajud lalu mendoakan orang-orang lain. Putranya, Imam Al-Hassan menanyakan alasan perbuatannya itu. Fathimah menjawab, “Tetangga dulu, baru diri sendiri.”

Hal ini menunjukkan bahwa beliau selalu memperhatikan keadaan orang lain dan lebih mengkhawatirkan kesusahan orang lain dibandingkan kesusahan yang dihadapinya sendiri. Sikap seperti ini membutuhkan tingkat spiritual dan kemanusiaan yang amat tinggi. Az-Zahra menyampaikan nilai-nilai Islam kepada umat manusia melalui rasa cinta yang amat sangat. Sebagaimana dikatakan Imam Ali “Jika engkau ingin menghilangkan kejahatan dalam pikiran orang lain, yang pertama harus dilakukan adalah menyingkirkan keinginan-keinginan jahat dari dalam dirimu sendiri.”

Hal ini senada dengan berbagai seruan kemanusiaan lainnya dari Imam Ali, “Perlakukan manusia sebagaimana engkau ingin diperlakukan” dan “Seseorang belum dikatakan beriman jika belum menginginkan untuk saudaranya, apa-apa yang ia inginkan untuk dirinya sendiri.” Artinya, bila kita menginginkan kemakmuran untuk diri sendiri, kita pun harus menginginkan kemakmuran pada saudara kita, itulah sikap orang yang beriman. Kalau perlu, kita berkorban demi kebaikan sesama umat manusia. Sebaliknya, bila seseorang demi kemakmurannya sendiri malah menjegal dan mengambil hak-hak orang lain, jelaslah ia tidak termasuk orang yang beriman kepada Allah SWT.

Bahkan, sikap pengorbanan itu terkadang sampai kepada pengorbanan nyawa. Suatu hari, ketika Rasulullah memberitahukan kepada Imam Ali kelak ia akan mati terbunuh, Imam Ali menjawab, “Apakah kematian itu demi menjaga keselamatan agama ini?” Rasulullah menjawab, “Ya.” Imam Ali pun mengatakan, “Kalau demikian, tidak masalah bila aku ditimpa kematian.”

Dan kemudian, ramalan Rasulullah SAW pun terbukti. Ibnu Muljam menyerang Imam Ali dengan pedangnya, sehingga ia terluka parah. Yang dikatakan Imam Ali saat itu ialah, “Demi Allah, demi Rasulullah, saya telah menang, demi Tuhannya Ka’bah.”

Sikap rela berkorban hingga titik darah penghabisan juga ditunjukkan Imam Husein di Karbala. Berbagai penderitaan yang tak akan mampu ditanggung manusia biasa, dihadapinya dengan tabah. Bahkan ia harusnya menyaksikan sendiri putranya yang masih bayi gugur dipanah kaum durjana. Namun Imam Husein tetap tabah karena pengorbanannya adalah demi melawan kezaliman yang dilakukan atas nama Islam, dengan kata lain, ia dan keluarganya berkorban agar umat-umat selanjutnya mampu mengenali Islam yang murni dan hakiki; serta tidak tertipu oleh berbagai bentuk kamuflase.

3-    Keteguhan Sikap

Kita juga mempelajari sikap keteguhan dari Az-Zahra. Dalam berbagai episode kehidupannya, beliau mengalami berbagai deraan penderitaan, namun beliau selalu teguh menjaga keimanan dan menjaga akhlak mulia.

Dalam lingkup domestik, meski dalam kondisi sakit pun, ia tetap menjaga kehormatan suaminya. Diriwayatkan, suatu Fathimah sakit keras, namun ia tak mau meminta apapun dari suaminya. Alasannya, ia khawatir suaminya malu bila tak mampu memenuhinya. Setelah Imam Ali mendesaknya, akhirnya Fathimah menyampaikan permintaannya, yaitu ia ingin sebutir delima. Di saat-saat lainnya, Fathimah bekerja keras menggiling gandum dan membuat roti, bergantian dengan pembantunya, agar sang pembantu tidak terlalu kelelahan. Inilah akhlak mulia yang tentunya berat dilakukan, namun Az Zahra tetap melakukannya.

Dalam lingkup publik, Az Zahra dikenal sangat berani, tak pernah mundur dalam menyuarakan kebenaran, meski beliau terancam dan terintimidasi. Dicatat dalam sejarah bahwa Az Zahra dengan berani mendatangi para pemuka kaum untuk mengingatkan mereka ketika langkah-langkah mereka telah menyimpang dari ajaran Rasulullah.

Ia mengatakan kepada mereka, “Kepemimpinan kami (Ahlul Bait) adalah jaminan keamanan dari keterpecahbelahan umat; jihad dan perjuangan adalah kehormatan Islam; kesabaran adalah penopang untuk meraih pahala; amar makruf adalah demi kemaslahatan umum…”

Ini adalah sekelumit kisah kemuliaan Az Zahra. Masih sangat banyak lagi yang bisa digali dari sejarah kehidupannya, yang semuanya berisi kemuliaan, ketinggian keimanan, dan sikap kemanusiaan yang agung. Sekali lagi, bila mengaku mencintai Az Zahra, kita perlu mempelajari dengan seksama kehidupannya dan meneladaninya dalam kehidupan kita hari ini.

Referensi:

http://english.bayynat.org/infallibles/infallible_IslamicPrinciplesAz-Zahra.htm#.WL4d8riwrIU

No comments

LEAVE A COMMENT