Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Rahasia atas Buah Kecintaan kepada Ahlulbait

Rahasia ibadah tersingkap tatkala seseorang mencapai puncak dan kesempurnaan ibadah. Apa yang disebut dengan keyakinan bukanlah puncak dari peribadahan sehingga kebutuhan untuk beribadah menjadi hilang. Sebaliknya, ia akan senantiasa didera keragu-raguan. Orang-orang kafir dan munafik selalu hidup dalam kebingungan, yang pada gilirannya juga akan menjadikan orang lain kebingungan.

Ketika menjelaskan azab yang diderita orang-orang kafir dan munafik, Allah Swt berfirman: “Dan hati mereka ragu-ragu, karena itu selalu bimbang dalam keragu-raguannya” (QS. at-Taubah: 45). Mereka telah kehilangan cara untuk keluar dari kebingungan. Yang dimengerti hanyalah bahwa diri mereka tengah berada dalam lingkaran setan. Kebingungan merupakan hasil dari kebutaan. Orang yang tidak

Hati orang kafir dan munafik selalu tersiksa. Mereka tidak mengetahui ke mana akan menyandarkan dirinya. Karena itu, Allah memerintahkan Rasul untuk mengatakan kepada mereka: “Maka kemanakah kamu akan pergi?” (QS. al-Takwir: 26)

Baca: Hubungan Alquran dan Ahlulbait Nabi Saw

Apakah memang ada jalan alternatif yang akan kalian lalui? Manusia yang termasuk ahli ibadah pasti memiliki tujuan, mengetahui jalan yang akan dilaluinya, serta senantiasa berusaha untuk mencapai tujuannya. Sedangkan orang yang tidak termasuk ahli ibadah tidak memiliki tujuan dan tidak mengetahui mana jalan yang akan dilaluinya. Ketika membicarakan Rasul-Nya, Allah Swt berkata: “Aku mengutus bagi kalian Rasul yang mengetahui jalan dan memiliki tujuan, demi bintang ketika terbenam kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru.” (QS. al-Najm: 1-2)

Manusia sempurna niscaya mengetahui jalan dan tujuan. Mereka adalah Nabi dan para Imam yang memimpin manusia untuk meraih tujuan yang benar. Hati orang mukmin selalu dipenuhi dengan ketenangan. Sebabnya, mereka mengetahui tujuan hidup serta jalan untuk mencapainya, dan sedikit pun mereka tidak pernah merasa bimbang terhadapnya.

Jika ingin mengetahui apakah ibadah kita bermakna dan bermanfaat, lihatlah apakah diri kita telah mencapai taraf keyakinan atau belum. Keyakinan merupakan buah manfaat dari ibadah. Keyakinan dapat melahirkan kecintaan dan nilai seseorang sesuai dengan nilai kecintaannya. Pada Hari Kiamat kelak manusia akan dibangkitkan bersama dengan apa yang dicintainya. Jika seseorang mencintai Ahlulbait (maksudnya dengan melakukan tawalli dan tabarri) maka ia pun akan dibangkitkan bersama mereka.

Kecintaan kepada mereka termasuk dalam hikmah ushuluddin yang dikenal dengan bab wilayah. Akan tetapi, pengakuan wilayah tak cukup hanya dengan penyerahan diri semata. Sebabnya, mereka adalah pemimpin kita. Karenanya, kita harus menyebut mereka dalam setiap salat.

Dengan demikian, salat macam apakah yang tidak menyebutkan di dalamnya nama Rasulullah Saw dan keluarganya? Salat manakah yang tidak terdapat tasyahhudnya? Di antara hal yang diwajibkan dalam tasyahhud adalah mengucapkan “Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad”, inilah inti dari ibadah.

Ibnu Mas’ud berkata: “Kami bersama Rasulullah dalam salah satu perjalanan. Saat itu kami berjumpa dengan orang Arab pedalaman yang bermuka lebar dan memiliki suara yang keras. Orang tersebut lalu berkata kepada Rasulullah, ‘Hai Muhammad.’

Rasul Saw menjawab: ‘Apa yang engkau inginkan.’

Ia berkata: ‘Seseorang mencintai satu kaum namun tidak melakukan pekerjaan kaum itu.

Rasul Saw bersabda: ‘Seseorang bersama apa yang dicintainya.’” (Syaikh al-Mufid, al-Amali, pertemuan ke-5, hadis ke-2)

Seseorang yang memiliki kecintaan yang benar akan dibangkitkan bersama apa yang dicintainya. Apabila Anda mencintai mereka namun tidak memiliki sifat-sifat yang melekat pada diri mereka, maka sesungguhnya Anda tidaklah bersama mereka. Kecintaan semacam ini bukanlah kecintaan yang benar. Kecintaan tanpa ketaatan bukanlah kecintaan, kecuali hanya sekadar harapan. Kecintaan meniscayakan penyerahan diri secara total. Kecintaan merupakan tingkat paling tinggi dari iradah (kehendak). Bagaimana mungkin seseorang memiliki kecintaan sementara ia hanya melakukan apa yang disukainya, yang dengannya justru ia mengabaikan keridaan yang dicintainya.

Perintah ketaatan dan ibadah dari Rasul bertujuan untuk menjadikan manusia memiliki kearifan: “Ketahuilah, bahwa aku adalah ayah kalian, dan ketahuilah sesungguhnya aku adalah wali kalian, ketahuilah sesungguhnya aku buruh kalian, aku adalah wali kalian, maka janganlah kalian putuskan hubungan ini danaku adalah buruh kalian, maka berikanlah upahku. Katakanlah aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun alas seruanku kecuali kasih sayang dalam keluargaku.” (al-Syura: 23)

Upah dari jerih payah yang ditempuh beliau selama bertahun­tahun hanyalah kecintaan kepada Rasulullah Saw dan keluarganya (maksudnya, dalam menjalankan tugasnya sebagai nabi dan rasul, beliau tidak mengharap upah apa pun dari kita kecuali mencintai Ahlulbait beliau). Ya, kalian mencintai keluarga suci, yang ketika nama-nama mereka disebut, hati kalian akan bergetar karena kecintaan kepada mereka, yang darinya mengalir aktivitas dan kehidupan ruh kalian.

Kalian mengikuti jejak serta mendapatkan hidayah dari mereka. Kalian mengerjakan apa yang mereka ucapkan. Upah dari risalah yang harus kalian berikan adalah mencintai mereka. Dan kecintaan itu harus bersumber dari pengetahuan.

Baca: Para Imam Ahlulbait dan Kondisi Zamannya

Tidak setiap orang dapat mencintai mereka. Begitu pula, bukan perkara mudah untuk mencintai mereka. Bentuk dari kecintaan bukanlah semata-mata ketaatan. Mencintai Rasul dan keluarganya tidak identik dengan mengambil ucapannya belaka. Permasalahannya lebih dari sekadar itu. Karenanya, kita harus menerima mereka dengan sepenuh hati. Kecintaan semacam ini merupakan aspek batin ibadah. Bentuk kecintaan semacam ini merupakan hasil dari pengetahuan. Dan pengetahuan merupakan aspek batin dari ibadah.

Mencintai Ahlulbait bukanlah nasib setiap orang. Kecintaan mustahil muncul tanpa pengetahuan. Dan pengetahuan merupakan aspek batin ibadah. Setiap amal perbuatan kita memiliki kekhasannya dalam menggapai aspek batin ibadah, yakni keyakinan. Dalam riwayat dari Imam Ja’far Shadiq berkata: “Jika seorang mukmin menghadap kepada Allah dengan hatinya, maka Allah akan menghadap kepadanya dan hati orang-orang mukmin akan mencintainya” (Syaikh al-Mufid, al-Amali, pertemuan ke-18, hadis ke-7). Tak ada manusia yang lebih baik daripada manusia yang dicintai Allah.

*Disarikan dari buku Rahasia Ibadah – Ayatullah Jawadi Amuli


No comments

LEAVE A COMMENT