Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Apakah Kecintaan Kepada Dunia Itu Tercela?

Dunia itu tidak lain adalah benda-benda yang ada di bumi dan benda-benda yang ada di langit, dan tidak satu pun dari benda-benda ini yang buruk. Seluruh benda yang merupakan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah Swt ini tidak bisa disebut buruk. Kecintaan dan kecenderungan kepada dunia itulah yang buruk, dan bukan dunia itu sendiri yang buruk. Karena, jika dunia itu buruk maka tentu Allah Swt tidak akan menciptakannya.

Pertanyaannya adalah apakah kecintaan kepada dunia yang dimiliki oleh manusia itu bersifat fitri dan tabi’i? Tidak diragukan bahwa kesenangan dan kecintaan adalah sesuatu yang bersifat fitrah dan alami. Dalam keadaan ini, bagaimana mungkin kecintaan dan kesenangan ini merupakan sesuatu yang buruk dan tercela, dan diwajibkan kepada manusia untuk menjauhkan diri dari kecintaan dan kesenangan yang seperti ini?

Sebagaimana tidak satu pun dari seluruh makhluk yang ada di luar diri manusia dapat disebut buruk dan tidak mengandung hikmah, sebagaimana tidak satu pun dari seluruh anggota tubuh manusia yang dapat dikatakan buruk dan tidak memiliki hikmah. Bahkan tidak ada satu pun urat halus, anggota tubuh yang kecil dan sehelai rambut yang ada pada diri manusia, begitu juga seekor binatang, yang tidak ada hikmah padanya, maka demikian pula halnya dengan berbagai insting dan anggota jiwa manusia.

Baca: Safinah Quote: Tundukkan Dunia

Begitu juga pada kecenderungan-kecenderungan manusia yang bersifat fitri, tidak ada satu pun yang tidak mengandung hikmah dan tujuan. Semuanya mempunyai hikmah. Misalnya kecintaan kepada anak, kecintaan kepada ayah dan ibu, kecintaan kepada istri, kecintaan kepada harta dan kekayaan, kecintaan kepada kemajuan, serta kecintaan kepada kecintaan dan penghormatan, semuanya mempunyai hikmah yang besar, yang mana dengan tanpanya pilar kehidupan manusia akan menjadi runtuh.

Selain itu Alquran sendiri menyebut kecintaan-kecintaan ini sebagai tanda-tanda hikmah dan kebesaran Allah Swt. Di dalam surah ar-Rum Allah Swt menyebutkan bahwa penciptaan manusia merupakan tanda-tanda hikmah dan kebesaran Allah Swt. Dia berfirman:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. ar-Rum: 21)

Artinya, salah satu di antara tanda-tanda kekuasaan Allah Swt adalah Dia menciptakan bagi kamu, wahai manusia, istri-istri yang berasal dari jenismu sendiri, dan Dia telah menciptakan rasa kasih dan sayang di antara kamu. Pada hakikatnya ini semua merupakan tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang mau berpikir tentang masalah-masalah ini. Jika kecintaan kepada istri itu buruk maka tentu di dalam ayat ini tidak akan disebut sebagai salah satu di antara tanda-tanda kekuasaan dan kebijaksanaan Allah Swt.

Tidak diragukan bahwa kecintaan ini telah diletakkan pada tabiat manusia. Bahkan, jelas sekali bahwa kecintaan ini merupakan mukadimah dan perantara bagi teraturnya urusan-urusan dunia. Jika kecintaan ini tidak ada, maka generasi manusia tidak akan terus berlangsung, kehidupan dan peradaban tidak akan maju, dan bahkan tidak akan ada kerja, gerak, dan aktivitas. Sebaliknya, justru spesies manusia akan punah dari muka bumi.

Orang yang memandang seluruh dunia dan wujud ini dengan pandangan yang buruk dan menganggap wujud dan kehidupan ini semata­mata sebuah keburukan, dan mereka pun tidak mempunyai jalan keluar bagi kebahagiaan manusia dan keselamatan dirinya dari kesengsaraan kecuali dengan jalan bunuh diri, sungguh mereka itu adalah orang yang paling sengsara yang tinggal di muka bumi, dan sungguh apa yang mereka katakan merupakan senaif­naifnya ucapan.

Akan tetapi, mereka yang mengatakan bahwa dunia itu sendiri itu tidak buruk melainkan kecintaan kepada dunia itulah yang buruk, mengatakan bahwa ini bukan berarti kita harus membangun dan kemudian kita harus membakarnya, melainkan jalan keluar bagi kebahagiaan manusia dan keselamatan dirinya dari kesengsaraan adalah kita harus memerangi dan mencabut akar kecintaan ini dari diri manusia. Pada saat itulah manusia akan terlepas dari cengkeraman keburukan dan berada di dalam pelukan kebahagiaan.

Sesuatu yang dianggap tercela oleh Alquran Al-Karim adalah kecintaan dalam arti tertambat, terikat, tertawan, merasa puas, dan cukup hanya dengan perkara-perkara materi duniawi. Alquran Al-Karim menggambarkan ahli dunia sebagai berikut: “Mereka itu adalah orang-orang yang tidak mengharapkan perjumpaan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu, dan mereka itu adalah orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami.” (QS. Yunus: 7)

Pada ayat yang lain Alquran berkata: “Dijadikan indah pada [pandangan] manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak­anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali Imran: 14)

Ayat ini tidak berbicara tentang kecenderungan dan kecintaan yang bersifat fitri dan alami. Ayat tersebut berbicara tentang kecintaan yang bernuansa syahwat yang telah dijadikan tampak indah pada pandangan sebagian kelompok manusia, serta lebih besar dan lebih memesona dibandingkan yang sesungguhnya, sehingga menjadikan mereka tertipu.

Pada ayat berikutnya Alquran berkata: “Apakah kamu merasa puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti dari kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (QS. at-Taubah: 38)

Semua ayat di atas berisi kecaman terhadap perasaan puas, tertawan, dan merasa cukup dengan dunia. Jelas berbeda antara kecintaan kepada harta, anak, dan semua urusan kehidupan dunia lainnya dengan perasaan puas dan cukup dengan kehidupan dunia serta menjadikannya sebagai akhir dari tujuan.

Baca: Allah Swt menjadikan dunia sebagai tempat ujian, dan akhirat sebagai tempat balasan

Ketika yang menjadi tujuan adalah menghindarkan manusia supaya tidak terperosok kepada semata-mata mencintai hal-hal yang bersifat materi, maka jalan keluarnya bukan dengan cara membunuh dan menghancurkan kecintaan kepada hal-hal yang bersifat materi yang ada pada diri manusia. Melainkan dengan cara membebaskan dan menggerakkan serangkaian kecenderungan lain yang ada pada diri manusia, yang mana serangkaian kecenderungan ini muncul setelah serangkaian kecenderungan jasmani, dan memerlukan penggerakan dan pemberian semangat.

Jadi, pada hakikatnya pengajaran-pengajaran agama berfungsi untuk membangunkan perasaan-perasaan yang lebih tinggi yang ada pada manusia, dan perasaan-perasaan ini ada pada insting dan fitrah  manusia. Dan, oleh karena perasaan­perasaan ini bersifat lebih tinggi dan bersumber dari kedudukan tinggi manusia, maka dia lebih lambat untuk bangun dan memerlukan penggerak dan pemberi semangat. Perasaan-perasaan ini berkaitan dengan hal-hal yang bersifat spiritual.

*Disarikan dari buku Kumpulan Ceramah Syahid Murtadha Muthahhari


No comments

LEAVE A COMMENT