Haji, seperti ibadah lainnya, memiliki etika, sunah, dan kewajiban yang sebagian merupakan petunjuk. Sebagian bersifat sunah dan sebagian lainnya bersifat wajib. Semua etika, sunah, dan kewajiban haji bertujuan untuk mencapai sifat tsubutiyah (sifat yang tetap pada Zat Allah) dan menjauhkan diri manusia dari sifat salbiyah (sifat yang harus dihilangkan dari Zat Allah).
Manusia dipandang sebagai penampakan keberadaan Zat suci Allah dan khalifah-Nya, memiliki sifat-sifat tsubutiyah (baik) dan salbiyah (buruk). Sifat-sifat kejiwaan manusia mengandung sifat baik dan buruk. Sementara itu, sifat kesempurnaan adalah sifat baik manusia. Manusia memiliki kewajiban untuk mencapai sifat kesempurnaan dan menjauhkan diri dari sifat kekurangan.
Benar, sifat baik dan buruk tampak dalam bentuk sifat baik dan buruk. Artinya, manusia harus terlebih dahulu membersihkan diri dari sifat-sifat buruk, kemudian menghiasi diri dengan kemuliaan akhlak, dan menjadi penampakan keindahan dan kemuliaan Tuhan. Haji adalah salah satu amal perbuatan paling mulia yang menjamin hal-hal tersebut bagi manusia.
Apabila seseorang pergi menunaikan haji tanpa mengetahui rahasia-rahasia haji, ia tidak akan dapat melaksanakannya dengan sempurna. Haji tersebut tidak akan dianggap sebagai jamuan Allah baginya. Meskipun hukum haji tersebut sah, tetapi tidak akan diterima. Ruh seseorang yang menunaikan haji tidak akan mencapai tingkat yang tinggi tanpa memahami rahasia-rahasia haji.
Baca: Ali Syariati: Tiga Berhala yang Harus Dihancurkan dalam Ritual Haji
Untuk memahami rahasia-rahasia haji dengan lebih baik, kita perlu mempelajari sunah dan sejarah orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji dengan benar. Para pelaku haji sejati ini adalah para maksumin. Mereka memahami etika haji, memperhatikan perbuatan mustahab (sunah) dalam haji, dan melaksanakan kewajiban-kewajiban haji. Selain hukum-hukum lahiriah, mereka juga memperhatikan hukum-hukum takwini (penciptaan).
Tidak semua orang yang pergi ke Mekah mengetahui rahasia-rahasia tersebut. Orang yang mengetahui rahasia-rahasia haji adalah orang yang memahami sumber hukumnya. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadis mursal. Imam Ali Sajjad as. berkata: “Ketika kamu membersihkan diri di Miqat, maka maksudnya adalah bahwa kamu menyucikan diri dari kemunafikan dan riya, bukan hanya membersihkan dan menyucikan badan. Sebab, itu merupakan tanda dan simbol kesucian hati. Di saat kamu melakukan ihram, maka maknanya adalah bahwa apapun yang Allah haramkan bagimu, maka kamu harus mengharamkannya kepada dirimu sendiri dan kamu juga harus berjanji untuk tidak pernah melanggar batasan haram tersebut.”
Dalam keadaan ihram, beberapa perbuatan diharamkan sementara waktu bagi manusia, namun setelah ihram, perbuatan tersebut menjadi halal kembali. Contohnya, mencabut atau mencukur rambut, menggunakan cermin, membunuh binatang, berburu, dan sebagainya. Namun, ada beberapa perbuatan yang tetap haram secara mutlak. Ketika Imam Sajjad as. berkata: “Saat melakukan ihram, apa pun yang Allah haramkan atasmu, maka kamu harus mengharamkannya untuk diri sendiri,” yang dimaksud bukan hanya pengkhususan terhadap hal-hal yang diharamkan saat ihram, tetapi semua perbuatan maksiat. Melakukan ihram di Miqat berarti, “Wahai Tuhanku! Aku berjanji untuk mengharamkan bagi diriku sendiri semua perbuatan haram dan aku akan meninggalkannya selamanya.”
Perbuatan lainnya adalah akad ihram, yang terdiri dari tiga bagian. Pertama, mengenakan dua pakaian ihram (dua kain yang tidak berjahit). Kedua, berniat untuk haji atau umrah. Ketiga, mengucapkan kata-kata labbaik (Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu).
Ketika seseorang mengucapkan labbaik, berarti ia telah memulai ihram dan melaksanakan akadnya. Imam Sajjad as. Menjelaskan: “Apakah kamu tahu apa yang dimaksud dengan akad ihram? Rahasianya adalah ketika orang yang berhaji berkata, ‘Tuhanku, aku telah memutuskan hubunganku dengan selain-Mu dan hanya kepada-Mu aku bergantung.'”
Akad dan janji ini disertai dengan sebuah jalan keluar, yaitu memutus hubungan dengan selain Allah. Pertama-tama adalah memutus hubungan dengan selain Allah dan selanjutnya adalah bergantung kepada-Nya. Imam Sajjad menegaskan: “Jika seseorang, di Miqat, ketika melakukan ihram, tidak terlintas dalam hatinya kata-kata, ‘Tuhanku! Aku telah memutuskan hubungan dengan apa pun selain diri-Mu. Dan hanya kepada-Mu hatiku bertaut,’ maka pada hakikatnya ia tidak berada di Miqat dan tidak melaksanakan ihram!”
Salat ihram adalah salat yang dilaksanakan di Miqat. Salat dalam kondisi ihram adalah mustahab (sunah). Meskipun sebagian ulama berfatwa ihtiyat wujubi (wajib dilaksanakan sebagai tindakan pencegahan), namun mereka juga berfatwa bahwa salat ihram hukumnya mustahab. Makna dari salat ini, ketika melakukan ihram, adalah, “Tuhanku! Melalui tiang agama-Mu, aku mendekatkan diri kepada-Mu.”
Penyucian Lisan juga merupakan bagian penting. Arti ucapan labbaik dalam keadaan ihram adalah, “Tuhanku! Apa yang benar akan aku ucapkan dan apa yang salah tidak akan pernah aku ucapkan.” Maksudnya, ketika seseorang mengucapkan “Labbaik,” maka rahasia dari ucapan ini adalah penyucian lisan dari segala bentuk maksiat lisaniah. Meskipun lidah adalah sesuatu yang kecil, tetapi dampak kejahatan yang ditimbulkannya sangat besar. Banyak dosa yang muncul melalui perkataan kita. Kejahatan lisan ini dapat berupa fitnah, gosip, kebohongan, kepalsuan, dan penghinaan. Imam Sajjad menjelaskan: “Rahasia di balik ucapan labbaik adalah, ‘Wahai Tuhanku, aku berjanji … Apa pun yang merupakan ketaatan kepada-Mu, maka akan aku ucapkan dengan lisanku. Dan apa pun yang merupakan maksiat kepada-Mu, maka lisanku tidak akan mengucapkannya.'”
Seorang haji tidak akan memberikan kesaksian palsu, tidak akan menggossip, berbohong, atau memfitnah. Ia juga tidak akan menghina orang lain. Lisan orang yang berkunjung ke rumah Allah adalah lisan yang suci. Rahasia di balik ucapan labbaik adalah membimbing lisan menuju ketaatan kepada Allah dan menjauhkannya dari maksiat. Dan hal ini tidak hanya terbatas saat melaksanakan ibadah haji dan umrah saja, tetapi untuk selamanya.
Imam Sajjad kemudian bertanya kepada Syibli: “Apakah Anda sudah memasuki batas Masjidil Haram dan Mekah? Apakah Anda sudah berziarah ke Kabah?”. Syibli menjawab, “Ya”.
Masjidil Haram dan Mekah memiliki batas yang ditentukan secara jelas. Batas Masjidil Haram dan batas Kabah juga jelas. Beberapa bagian perbatasan Masjidil Haram lebih kecil daripada perbatasan Mekah. Hanya orang Muslim yang diizinkan memasuki sana. Namun, ada pengecualian, seperti penduduk Mekah yang beraktivitas di sana setiap hari atau orang yang telah melakukan ihram dan belum lewat satu bulan. Tetapi, ini hanya beberapa pengecualian saja. Jika tidak, maka siapa pun tidak berhak memasuki perbatasan dan batas Masjidil Haram.
Baca: Keagungan Ibadah Haji dalam Perspektif Mazhab Syiah
Rahasia dalam memasuki Masjidil Haram adalah berdoa, “Ya Allah, Tuhanku… Aku tidak akan menggunjing, mengucapkan kata-kata kotor, atau mencari-cari kekurangan orang lain di kalangan umat Islam. Aku mengharamkan perilaku ini atas diriku sendiri.”
Imam Ali Sajjad mengatakan: “Ketika kamu memasuki Mekah, apakah kamu mengetahui rahasia di balik memasuki tanah suci ini? Rahasianya adalah, ‘Ya Allah, aku datang hanya untuk mendekatkan diri kepada-Mu, bukan untuk tujuan berdagang, mencari popularitas, mengubah nama, berlibur, atau melakukan perjalanan wisata.'”
Ketika seseorang melampaui batas-batas tersebut, berarti ia telah memasuki Masjidil Haram. Ia telah berziarah ke Kabah, melakukan tawaf, dan berhubungan dengan empat sudut, yaitu Hajar Aswad, Syami, Mustajar, dan Yamani. Semua ini merupakan bagian dari sunah dan etika dalam tawaf. Setelah itu, ia mendatangi Maqam Ibrahim dan melaksanakan salat tawaf dua rakaat.
*Disadur dari buku Rahasia dan Makna Haji – Ayatullah Jawadi Amuli