Sejarah mencatat, ribuan warga Kufah telah mengirimkan surat dukungan kepada Imam Husain as. Mereka mengundang beliau datang ke Kufah dan menjadikannya basis perlawanan terhadap Yazid. Namun, ternyata warga Kufah ingkar janji dan melanggar sumpah setia mereka terhadap Imam as.
Atas dasar ini, sejumlah orang mengkritik langkah Imam Husain as yang memercayai warga Kufah. Padahal, sejumlah pihak seperti Ibnu Abbas telah melarang beliau pergi ke Kufah. Alasannya, warga Kufah telah bersikap tidak loyal kepada Imam Ali as dan Imam Hasan as. Karena itu pula, sebagian orang tak ragu menyebut langkah beliau sebagai blunder politik.
Benarkah demikian?
Menanggapi pendapat di atas, kita mengatakan, bila seorang tokoh politik mengambil suatu keputusan berdasarkan pertimbangan matang dan logis, kemudian ada suatu faktor tak terduga yang mementahkan perhitungan dan keputusannya, maka ia tidak bisa dianggap telah melakukan blunder.
Kita meyakini bahwa dalam masa itu, Imam Husain as telah memperhitungkan segala situasi di Kufah. Semasa Muawiyah masih hidup, beliau secara terang-terangan menolak permohonan penduduk Kufah.[1] Bahkan beliau melarang saudaranya, Muhammad bin Hanafiyah, memberi respons positif kepada surat-surat mereka.[2]
Imam Husain as pun tidak segera merespons begitu surat-surat penduduk Kufah sampai ke tangannya. Bahkan, Imam as terlebih dahulu mengutus Muslim bin Aqil untuk mengecek keseriusan mereka saat mengundang beliau ke Kufah. Setelah Muslim tinggal di Kufah lebih dari satu bulan dan melihat situasi Kufah dari dekat, ia menyimpulkan bahwa kondisinya memungkinkan Imam as datang ke sana. Setelah ia melapor kepada Imam as dalam suratnya, beliau pun segera pergi menuju Kufah. Tentunya, kita harus menyadari bahwa ketergesa-gesaan Imam Husain as disebabkan bahaya yang mengancam jiwa beliau di Makkah.
Pada saat itu, faktor tak terduganya adalah kedatangan Ubaidilah bin Ziyad menggantikan Nu`man bin Basyir sebagai gubernur Kufah. Hal ini benar-benar di luar dugaan, karena fakta di luar berbicara lain. Disebutkan bahwa pada masa itu, Yazid tidak menyukai Ubaidilah bin Ziyad[3] dan berniat untuk memecatnya dari jabatan gubernur Bashrah.[4] Bahkan dalam sebagian sumber disebutkan demikian:”Yazid adalah orang yang paling membenci Ubaidilah bin Ziyad.”[5]
Dengan adanya faktor tak terduga ini, andai kata Muslim dan para pendukungnya menggunakan metode intimidasi, ancaman, dan iming-iming hadiah (seperti yang digunakan Ibnu Ziyad), atau memanfaatkan faktor ekonomi, politik, sosial dan psikologis (yang juga dilakukan musuh) untuk menghimpun dukungan, niscaya mereka bisa menguasai Kufah.
Bahkan, andai kata Muslim, dalam sebuah kesempatan yang sungguh langka, menerima usulan Syuraik bin A`war dan `Amarah bin Abd as-Salul untuk meneror Ibnu Ziyad di rumah Hani bin Urwah[6], niscaya ia bisa memegang kendali Kufah.
Namun, tentu saja ini cuma andai-andai. Sebagai figur yang berafiliasi kepada Imam Husain as, yang prinsipnya bukan menghalalkan segala cara, Muslim mustahil melakukan dua hal di atas.
Di sinilah bisa dikatakan bahwa pengetahuan Imam Husain as terkait penduduk Kufah lebih realistis dibanding pengetahuan orang-orang seperti Ibnu Abbas, karena:
Pertama, pengetahuan Ibnu Abbas berhubungan dengan periode Imam Ali as dan Imam Hasan as (yaitu sekitar dua puluh tahun sebelumnya), sedangkan pengetahuan Imam Husain as lebih aktual dan berdasarkan situasi zaman itu.
Kedua, pengetahuan Imam as ini, selain berasaskan isi surat para pemuka Syiah seperti Sulaiman bin Shard dan Habib bin Madhahir, juga dipertegas oleh laporan dari wakil beliau (Muslim bin Aqil). Sedangkan Ibnu Abbas dan selainnya tidak memiliki sarana semacam ini untuk mengetahui kondisi aktual Kufah.
Poin yang perlu disebutkan adalah bahwa kondisi Kufah di zaman itu jauh berbeda dengan kondisi dua puluh tahun sebelumnya. Kondisi saat itu menciptakan banyak motivasi bagi penduduk Kufah untuk mendukung Imam Husain as. Tak satu pun yang memikirkan kemungkinan warga Kufah berkhianat.
Ada sejumlah alasan yang mendasari pemikiran ini, yaitu:
Pertama, Kufah kalah bersaing dengan Syam untuk menjadi ibu kota dunia Islam. Selain itu, kebijakan-kebijakan Bani Umayah menjadikan Kufah tetap terbelakang. Inilah yang mendorong mereka untuk kembali menghidupkan kebesaran Kufah yang telah pudar.
Kedua, tekanan-tekanan dari pihak Bani Umayah terhadap penduduk Kufah, khususnya komunitas Syiah, semakin membulatkan tekad mereka untuk menentang Bani Umayah.
Ketiga, warga Kufah mengenal kebobrokan Yazid dan kemuliaan Imam Husain as. Inilah yang membuat mereka kian termotivasi menentang kekhilafahan Yazid.
Patut diperhatikan bahwa faktor-faktor lain seperti lemahnya pemerintahan pusat (Syam) yang disebabkan berbagai hal, semisal minimnya pengalaman Yazid yang tidak bisa dibandingkan dengan ayahnya, juga lemahnya pemerintahan Kufah (yang dipegang oleh orang seperti Nu`man bin Basyir), memperbesar kemungkinan keberhasilan Imam Husain as untuk membentuk pemerintahan Islam di Kufah dan melawan pemerintahan pusat di Syam.
Oleh karena itu, dari sudut pandang analisis historis, keputusan Imam Husain as menuju Kufah, setelah mempertimbangkan situasi-situasi di atas, adalah keputusan yang tepat. Andai faktor tak terduga tidak muncul, maka keputusan Imam as ini akan berujung pada kemenangan lahiriah beliau. (BT)
* Referensi: Porseshha va Pasokha (vizheye Moharram)
[1] Dainawari, al-Akhbar ath-Thiwal 203.
[2] Ibnu Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah 8/163.
[3]Tarikh Thabari 5/356-357 dan al-Kamil fi at-Tarikh 2/535.
[4] Ibnu Maskawaih, Tajarub al-Umam 2/42 dan al-Bidayah wa an-Nihayah 8/152.
[5] Sibth bin Jauzi, Tadzkirah al-Khawwash 138.
[6]Al-Kamil fi at-Tarikh 2/537.