Diriwayatkan bahwa Imam Husain as saat bertekad untuk pergi ke Irak beliau berdiri berkhutbah dan berkata;
الحمد لله، وما شاء الله، ولا حول ولا قوّة إلاّ بالله، وصلَّى الله على رسوله وسلّم. خُطَّ الموت على ولد آدم مخطّ القلادة على جيد الفتاة. وما أولهني إلى أسلافي اشتياق يعقوب إلى يوسف، وخير لي مصرع أنا لاقيه، كأ نّي بأوصالي يتقطّعها عسلان الفلوات بين النواويس وكربلا، فيملأن منّي أكراشاً جوفاً وأجربة سغباً، لا محيص عن يوم خطّ بالقلم، رضى الله رضانا أهل البيت، نصبر على بلائه، ويوفّينا اُجور الصابرين.
“Segala puji bagi Allah, inilah yang dikehendaki Allah, tiada daya dan upaya melainkan dengan (pertolongan) Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasul-Nya. Kematian telah digariskan bagi anak keturunan Adam ibarat kalung yang melingkar di leher gadis. Saratnya kerinduan untuk bertemu dengan para pendahuluku bagaikan kerinduan Ya’qub kepada Yusuf, dan apa yang akan kualami adalah bagian yang terbaik. (Baca: Ingatlah Allah Sebanyak-banyaknya)
“Aku seolah telah melihat tubuhku yang tercabik-baik oleh serigala-serigala padang pasir, antara Nawawis dan Karbala, lalu mereka mengisi perut-perut yang kosong dan kantung-kantung yang lapar dengan serpihan tubuhku. Tak ada jalan keluar dari hari (kematian) yang telah digariskan dengan qalam. Keridhaan Allah adalah keridhaan kami Ahlul Bait. Kami bersabar atas cobaannya, dan semoga Dia mencurahkan kepada kami pahala orang-orang yang bersabar.”[1]
Sebagian orang berpendapat bahwa ridha merupakan bagian dari tahap awal perjalanan suluk kalangan khusus, sedangkan bagi kalangan umum merupkan tahap yang paling berat.[2] Karena itu kedukakan ridha lantas dipandang lebih tinggi daripada sabar, karena sabar – sebagaimana dibahas di artikel tentang kesabaran– dinilai sebagai bagian dari tahap yang dijalani kalangan umum. Tampaknya, ridha yang dimaksud adalah ridha yang dihasilkan oleh kecintaan (hubb).
Dalam artikel tentang kesabaran juga telah dibahas bahwa juga dialami oleh kalangan khusus, namun di sini kita menegaskan bahwa yang benar ialah bahwa kedudukan ridha berada di atas sabar. Jadi, meskipun sabar dialami bukan hanya oleh kalangan umum, namun ridha lebih utama daripada sabar. Sebab, sabar bisa jadi ada karena ada keluhan, sedangkan ridha berarti tidak ada keluhan. Dengan kata lain, ridha adalah rasa suka dan cinta kepada apa saja yang dikehendaki Allah SWT, sebagaimana terlukis dalam ucapan Imam Husain as: “Keridhaan Allah adalah keridhaan kami Ahlul Bait. Kami bersabar atas cobaannya, dan semoga Dia mencurahkan kepada kami pahala orang-orang yang bersabar.” (Baca: Beberapa Nasihat Imam Husain A.S.)
Dua Kategori Ridha
Ridha memiliki dua kategori;
Pertama, ridha yang memancar dari cinta, sebab ridha dan kerelaan seorang pecinta terletak pada kerelaan kekasih sehingga bahkan ketika kekasih menyukai kematiannya maka pecintapun rela untuk mati, atau jika kekasih ingin mengujinya maka diapun rela untuk diuji.
Sebuah hadis tentang ini menyebutkan;
إذا أحبّ الله عبداً ابتلاه، فإن صبر اجتباه، فإن رضي اصطفاه.
“Jika Allah menyukai seorang hamba maka Dia akan mengujinya, dan jika hamba itu sabar maka akan memilihnya, dan jika hamba itu ridha maka Dia akan mengistimewakannya.”[3]
Imam Ali as pernah bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai sunnahnya, dan beliaupun menjawab;
المعرفة رأس مالي، والعقل أصل ديني، والحبّ أثاثي، والشوق مركبي، وذكر الله ـ عزّوجلّ ـ أنيسي، والثقة كنزي، والحزن رفيقي، والعمل سلاحي، والصبر ردائي، والرضا غنيمتي، والفقر فخري، والزهد حرفتي، واليقين قوّتي، والصدق شفيعي، والطاعة جنّتي، والجهاد خُلُقي، وقرّة عيني في الصلاة.
“Pengetahuan adalah modalku, akal adalah prinsip agamaku, cinta adalah perkakasku, rindu adalah kendaraanku, zikir kepada Allah Azza wa Jalla adalah pelipurku, kepercayaan adalah harta karunku, sedih adalah temanku, bekerja adalah senjataku, sabar adalah jubahku, ridha adalah keuntunganku, kefakiran adalah kebanggaanku, zuhud adalah keterampilanku, keyakinan adalah kekuatanku, kejujuran adalah penolongku, ketaatan adalah surgaku, jihad adalah budi pekertiku, dan penyejuk mataku ada pada shalat.”[4]
Ridha yang tumbuh dari cinta adalah ridha yang terbaik.
Kedua, ridha yang tumbuh dari pengetahuan bahwa Allah SWT tidak menghendaki apapun dari hamba kecuali yang baik baginya. Kedudukan ridha kategori ini masih berada di bawah ridha kategori pertama yang tumbuh dari cinta. (Baca Imam Ali Khamenei: Selalu Jaga Niat dalam Mencari Ridha Allah)
Imam Jakfar Al-Shadiq as berkata;
قال الله عزّوجلّ : عبدي المؤمن لا أصرفه في شيء إلاّ جعلته خيراً له، فليرض بقضائي، وليصبر على بلائي، وليشكر نعمائي، أكتبه يا محمّد من الصديقين عندي.
“Allah Azza wa Jalla berfirman; ‘HambaKu yang beriman tidak akan Aku kerahkan pada sesuatu kecuali menjadikan sesuatu itu baik baginya, maka relalah dengan ketentuanKu, bersabarlah atas ujianKu, dan bersyukurlah atas nikmat-nikmatKu. Tulislah, wahai Muhammad, siapakah para siddiqin di sisiKu.’”[5]
Ridha Allah
Sisi lain yang juga perlu diingat adalah ridha Allah SWT sendiri yang ditegaskan dalam al-Quran sebagai kenikmatan yang lebih besar daripada surga fisik. Ridha inilah yang menjadi puncak tujuan para arif dan wali Allah. Tentang ini Allah SWT berfirman;
وَعَدَ اللّهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّات تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْن وَرِضْوَانٌ مِّنَ اللّهِ أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ.
“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.”[6]
[*]
[1] Bihar al-Anwar, jilid 44, hal. 366 – 367.
[2] Lihat Manazil al-Sa’irin, bagian Al-Akhlaq, Bab Al-Ridha.
[3] Al-Mahajjah al-Baidha’, jilid 8, hal. 88.
[4] Ibid, hal 101.
[5] Ushul Kafi, jilid 2, hal. 61, Kitab al-Iman wa al-Kufr, Bab al-Ridha wa al-Qadha’, Hadis 6.
[6] QS. Al-Taubah [9]: 72.
Baca: Doa dan Keberpihakan