Mungkin sebagian orang bertanya-tanya, kenapa Imam Husain as tidak bangkit di masa Muawiyah, padahal ia juga merupakan penguasa zalim dan penindas umat? Adakah alasan-alasan yang mendasari sikap beliau ini? Tulisan ini mencoba menjelaskan, secara ringkas, alasan-alasan Imam Husain as tidak melakukan revolusi di era Muawiyah.
Satu hal yang mesti dicamkan adalah, tidak bangkitnya Imam Husain as di masa kekuasaan Muawiyah tak berarti beliau bersikap ‘adem ayem’ terhadap ayah Yazid ini. Dalam jangka waktu lima belas tahun masa imamah Imam Husain as (49-60 H), sejarah mencatat sejumlah gesekan antara keduanya.
Sebagian di antaranya bisa kita saksikan dalam surat-surat beliau kepada Muawiyah. Dalam surat-surat itu, Imam as menyinggung kejahatan-kejahatan Muawiyah (seperti membunuh para sahabat besar semisal Hujr bin Uday dan Amr bin Hamq). Beliau menyebut pemerintahan Muawiyah sebagai bencana terbesar bagi muslimin[1] dan dengan cara ini, beliau mempertanyakan legalitas pemerintahannya. Menurut Imam as, jihad melawan Muawiyah sebagai amalan paling utama. Tidak melawan Muawiyah disebut beliau sebagai hal yang mengharuskannya beristighfar kepada Allah.[2]
Adapun sebab Imam Husain as tidak melakukan revolusi menentang Muawiyah berakar pada beberapa hal. Sebagian darinya bisa kita lihat dari ucapan-ucapan Imam as. Sedangkan untuk mengetahui sebab-sebab lainnya, kita harus melakukan sebuah analisis sejarah.
Pertama: Adanya Kesepakatan Damai
Dalam salah satu suratnya kepada Muawiyah, Imam Husain as menyebut dirinya masih menaati isi janji perdamaian Imam Hasan as dengan Muawiyah. Beliau menolak tuduhan bahwa ia melanggar perjanjian itu.[3]
Jika ada yang bertanya: bukankah Muawiyah malah menginjak surat itu dan menganggap dirinya tidak memiliki tanggungan apapun terhadap surat perjanjian itu?[4] Lalu, kenapa Imam Husain as tetap setia dengan isi perjanjian itu, sementara musuh beliau sejak awal tidak menghiraukannya sama sekali?
Pertanyaan ini bisa dijawab dari beberapa sisi:
- Bila ucapan-ucapan Muawiyah diperhatikan dengan seksama, kita akan melihat bahwa ia tidak pernah menyatakan melanggar perjanjiannya dengan Imam Hasan as secara gamblang. Ia hanya mengatakan,”Aku telah menjanjikan beberapa hal kepada Hasan,” dan mungkin hal-hal yang dijanjikannya itu bukan bagian dari perjanjian sehingga ia tidak melaksanakannya. Sebab itu, ia tidak menganggap dirinya telah melanggar perjanjian damai itu, atau paling tidak, ia bisa mengarang dalih bahwa ia tidak melanggarnya.
- Figur politis Imam Husain as harus dibedakan dari figur politis Muawiyah, sebagaimana halnya perbedaan ini juga terdapat antara Imam Ali as dan Muawiyah.
Pada prinsipnya, Muawiyah adalah seorang politikus yang bersedia melakukan segala tipu daya demi tujuannya. Sebagian dari muslihatnya bisa dilihat saat ia berhadapan dengan Imam Ali as, seperti dalih menuntut balas darah Utsman, memprovokasi Thalhah dan Zubair, menancapkan Alquran di ujung tombak di perang Shiffin, menyerbu daerah-daerah kekuasaan Imam Ali as, dan lain sebagainya.
Sebaliknya, Imam Husain as adalah seorang pribadi idealis dan fundamentalis yang tidak bersedia menggunakan segala cara demi tujuannya. Beliau bersikap sama seperti ayahnya, yang pernah berkata,”Aku tidak akan menggapai kemenangan dengan perantara kezaliman.”[5]
Sebab itu, wajar bila Imam Husain as tidak melanggar perjanjian yang dilakukan saudaranya dengan Muawiyah, walau Muawiyah telah melanggarnya.
- Kita harus melihat kondisi zaman itu dan dampak yang mungkin timbul bila Imam Husain as melanggar perjanjian damai itu. Pada zaman itu, Muawiyah adalah penguasa mutlak umat Islam. Kekuasaannya meliputi berbagai penjuru kawasan Islam, mulai dari Syam, Irak, Hijaz dan Yaman. Di setiap sudut kawasan, para bawahannya melakukan propaganda politiknya dengan giat dan membelanya sepenuh hati.
Di saat pertikaiannya dengan Imam Ali as, Muawiyah mampu menyembunyikan kesalahannya yang menyebabkan Utsman ia terbunuh. Bahkan, ia mengumumkan kepada para penduduk Syam bahwa dirinya adalah satu-satunya penuntut balas darah Utsman. Dalam kondisi semacam ini, jelas dengan mudah ia akan mencitrakan Imam Husain as di mata masyarakat sebagai pembelot dan pelanggar perjanjian bila beliau benar-benar tidak mematuhi kesepakatan damai tersebut.
Walhasil, segala upaya Imam Husain as dan para pengikutnya untuk mengenalkan Muawiyah sebagai pihak yang pertama kali melanggar perjanjian, tidak akan berguna sama sekali.(BT)
Bersambung.
* Referensi: Porseshha va Pasokhha (vizheye Moharram)
[1] Al-Imamah wa as-Siyasah 180/1, “Aku tidak pernah mengenal bencana yang lebih besar bagi muslimin selain pemerintahanmu atas mereka.”
[2] Ibid, “Demi Allah, aku tidak mengetahui amalan yang lebih utama dari berjihad melawanmu. Bila aku melakukannya, maka itu akan mendekatkan diriku kepada Allah. Bila tidak, maka aku harus meminta ampun dari Allah.”
[3] Mausuah Kalimat al-Imam al-Husain 239 “Aku berlindung dari Allah bila aku melanggar perjanjianmu dengan saudaraku Hasan as.”
[4] Al-Irsyad, Mufid 355, “Ketahuilah, sebelum ini aku telah menjanjikan beberapa hal kepada Hasan. Namun, sekarang aku meletakkan semuanya di bawah kakiku dan aku tidak akan melaksanakannya.”
[5] Nahj al-Balaghah, khotbah 126.