Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Sekilas Keistimewaan Imam Ali di Mata Nabi

Banyak hadis tentang keistimewaan Imam Ali di mata Nabi. Antara lain sanad dari para sahabat Nabi yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw dan Imam Ali bin Abi Thalib as berasal dari “satu penciptaan”.

Salah satunya, riwayat al-Hamuwaini dengan sanadnya dari Salman al-Farisi, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Ketika Allah menciptakan Adam, Dia antarkan kami ke sulbi-sulbi para lelaki dan rahim-rahim para wanita yang suci, hingga kami sampai pada sulbi Abdul Muthalib. Lalu Dia membagi kami menjadi dua bagian; yang satu Dia tempatkan di sulbi ayahku, Abdullah, dan yang lain Dia tempatkan di sulbi pamanku, Abu Thalib.”[1]

Lalu dalam hadis yang serupa, beliau bersabda, “Dia mengeluarkan aku sebagai seorang nabi, dan mengeluarkan Ali sebagai washi.”[2]

Dalam hadis lainnya yang mirip, riwayat az-Zarandi al-Hanafi dari Ibnu Abbas, di bagian akhir kalimat, Nabi Saw bersabda,

“Ali bagian dariku dan aku bagian darinya. Dagingnya adalah dagingku dan darahnya, darahku. Siapa yang mencintainya maka dengan cinta kepadaku dia kucintai, dan siapa yang membencinya maka dengan benci kepadaku dia kubenci ..”[3]

Satu Pohon Penciptaan dengan Rasulullah Saw

Dari beberapa penggal hadis di atas, jelaslah bahwa Imam Ali senasab dengan Rasulullah Saw dari Abdul Muthalib sampai ke atas. Ayahnya, Abu Thalib, adalah saudara kandung ayah Rasulullah, yang bernama Abdullah. (Baca: Abu Dzar dan Berhala Munat)

Dalam riwayat Hakim Naisaburi dari Jabir bin Abdillah ra, Rasulullah Saw bersabda,

“Semua orang dari berbagai pohon. Sedangkan aku dan Ali dari satu pohon.” Kemudian beliau membaca ayat suci:

dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman, dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama..“ (QS. ar-Ra’d [13]: 4)[4]

Di riwayat lain milik al-Kanji dengan sanadnya dari Abu Umamah al-Bahili, Rasulullah Saw bersabda,

“Sesungguhnya Allah menciptakan para nabi dari berbagai pohon, dan menciptakan aku serta Ali dari satu pohon. Maka aku sebagai akarnya, Ali sebagai cabangnya, Fatimah sebagai sarinya dan al-Hasan serta al-Husain sebagai buahnya. Siapa yang berpegangan pada rantingnya akan selamat, dan yang berpaling darinya akan menyimpang.”[5]

Ayatullah Sayed al-Mailani menjelaskan bahwa hadis-hadis di atas menjadi sebagian di antara dalil yang menunjukkan keimamahan Ali bin Abi Thalib bagi umat secara langsung sesudah Rasulullah Saw. Sebab, orang yang penciptaannya satu cahaya dan satu pohon dengan Rasulullah Saw, adalah yang paling utama setelah beliau Saw dan memiliki semua keutamaan yang dimiliki Rasulullah kecuali kenabian. Artinya, Imam Ali tidak menyamai Rasulullah, apalagi lebih utama dari beliau! Melainkan, ketinggian kedudukannya adalah di bawah Rasulullah Saw.

Sejak Kecil Sensitif Terhadap Patung

Diriwayatkan; ketika Abu Thalib bercerita kepada isterinya, Fatimah binti Asad, bahwa ia melihat Ali (saat itu dalam usia kanak-kanak) memecah patung-patung. Ia khawatir hal ini diketahui para pembesar Quraisy! Sang istri mengatakan, “Aku beritahu hal yang lebih mengherankan dari itu. Saat aku lewat tempat yang ada patung-patung mereka, Ali dalam kandunganku saat itu, kedua kakinya menendang-nendang di dalam perutku (seakan) tidak membiarkan aku mendekati tempat itu…”[6]

Dari riwayat ini, ada dua realitas yang diangkat oleh Sayed Ja’far Murtadha al-‘Amili:

Pertama

Ali di dalam kandungan ibunya sangat sensitif terhadap patung. Meski saat itu masih berupa janin, ia mengetahui bahwa ibunya berada di dekat patung berada, dan berusaha menjauhkannya dari patung itu. Reaksi menolak terjadi pada dirinya terhadap hal berdekatan itu. Karena itu ia langsung bertindak secara fisik untuk mencegahnya. (Baca: Persalinan Agung)

Kedua

Sejak kecil Ali sangat anti patung. Tindakannya saat merusak patung, tak ada orang yang melihatnya selain Abu Thalib, ayahnya. Artinya, ia melakukan itu dengan cara tertentu dan bukan tanpa maksud yang berarti.

Abu Thalib sempat khawatir tindakan putranya itu diketahui orang-orang. Hal ini menandakan bahwa kaumnya itu dalam kebodohan meski mereka adalah para pemuka Quraisy.

Patut dicatat bahwa sama sekali tak ada tanda sikap protes atau marah dari Abu Thalib kepada putranya, kecuali rasa khawatir akan terjadi hal yang tak diinginkan jika orang-orang tahu apa yang dilakukan Ali terhadap patung-patung itu.[*]

_

Referensi:

Sayed Ja’far Murtadha al-‘Amili, Ash-Shahih min Sirati al-Imam ‘Ali, j. 1.

[1] Faraid as-Simthain, 1/41

[2] Ibnu al-Mughazili dengan sanadnya dari Jabir bin Abdillah; Manaqib Ali ibn Abi Thalib, hal 89, hadis 132.

[3] Nazhmu Durar as-Simthain, hal 79; dan al-Manaqib, pasal 14/88, riwayat al-Khawarezmi dengan sanadnya dari Muhammad bin Ali bin Husain dari ayahnya dari kakeknya.

[4] al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, 2/241

[5] Kifayah ath-Thalib, hal. 317.

[6] Madinah al-Ma’ajiz, 3/147-8, dan lainnya

Baca Juga: Dari Manakah Informasi Tragedi Asyura?

 

No comments

LEAVE A COMMENT