Oleh: Dr. Muhsin Labib
Setiap orang berhak menafsirkan agama yang dianutnya dan yang tak dianutnya berdasarkan pemahamannya sendiri dengan pertanggungjawaban.
Ketika seseorang merasa cukup alasan berupa interpretasi, inferensi dan konklusi untuk menjadi penganut sebuah agama, maka secara niscaya dia juga, disadarinya atau tidak, mempersepsi agama apapun yang tak dianutnya meski secara umum, tidak rinci dan mendalam. Hal ini juga dilakukan oleh penganut agama terhadap aneka aliran atau ragam info yang berlainan bahkan sebagian bertolak belakang dalam satu agama yang dianutnya.
Itu artinya, ketika memutuskan menganut sebuah agama, tak serta merta misi mencari kebenaran telah rampung, karena di dalamnya terdapat perbedaaan pendapat, bermacam interpretasi dan polemik seputar sumber otoritas yang mengakibatkan agama tidak terwakili oleh satu pandangan. Karena itu, penganut sebuah agama harus tetap mengaktivasi inteleknya untuk terus mengamati dan menghimpun premis-premis utama dan memilih sebagiannya sebagai fondasi bagi keputusannya untuk menganut sebuah metode dan sumber otoritas yang dipilihnya sebagai representasi dari agama yang dianutnya. Inilah yang disebut mazhab.
Ketika telah memastikan sebuah aliran sebagai representasi agama yang telah dianutnya, misi investigasi intelektual tak otomatis selesai. Di dalamnya terdapat ragam pendapat, info dan klaim otoritas yang bila tidak cermat dan malas mengaktifkan rasio logis, cukup membingungkan dan bisa membuat penganut mazhab kehilangan kompas hingga perjalanan intelektual dari agama hingga mazhab seolah sia-sia karena merasa berhenti pada kesamaran yang tidak sesuai dengan harapan awalnya, yaitu menemukan titik terang yang biasa disebut kebenaran, apalagi karena tak sadar epistemologi, mengira kebenaran yang sejak menganut agama kemudia mazhab sebagai kebenaran objektif, mutlak, tunggal dan final, bukan kebenaran interpretatrif. Tak sedikit yang mengalami kegamangan pada fase ini sebagaimana terlihat dari kerancuan pandangan, perubahan sikap dan turunnya antusiasme.
Melihat fenomena carur marut itu, sejumlah individu yang diafirmsasi punya bekal pengetahuan komprehensif tentang anatomi epistemologi agama dan mazhab juga punya keprihatinan tentang ini berusaha mengajak mereka untuk berkenan meningkatkan inteleksi bermazhab melalui program penyetaraan berjenjang yang hanya bisa dilaksanakan dalam sebuah kerja sistematis dan terorganisir dalam kontrak yang menjamin komitmen demi mempersiapkan eksistensi individu-individu rasional dalam beragama dan bermazhab.
Sayangnya, tidak banyak yang menangkap ajakan ini sebagai pengorbanan yang tulus dan meresponnya sebagai peluang memperkuat fondasi keberagamaan dan kebermazhaban yang selaras dengan konteks kesinian dan kekinian dan puas dengan mengulang-ulang narasi sejarah, merawat klaim kebenaran dan sibuk berpolemik seputar isu-isu tak urgen yang pada kenyataannya kembali kepada kejumudan atau perlahan-lahan meninggalkan arena dan tidak kembali.