Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Syarat-Syarat Pendakwah Menurut Imam Ja’far Shadiq a.s.

Dakwah Imam Ja’far Shadiq a.s. menitikberatkan pada pemberian contoh, teladan dan panutan. Karena manusia teladan akan menjadi sumber propaganda yang efektif, dengan perilaku dan sikap-sikapnya. Untuk itu, beliau menasihatkan kepada para pengikut dan muridnya.

Beliau berkata: “Jadilah kalian pendakwah kami yang diam.”

Sebagian mereka bertanya: “Bagaimana caranya kami berdakwah dengan diam?”

Imam a.s. menjawab: “Dengan melaksanakan perintah-perintah kami berupa taat kepada Allah, memperlakukan orang lain dengan jujur dan adil, menunaikan amanat, memerintahkan kebaikan, dan mencegah kemunkaran. Jangan sampai orang-orang mengenali kalian kecuali dengan kebaikan. Jika mereka melihat kalian dalam keadaan seperti itu maka mereka akan meyakini keunggulan ajaran kami, lalu mereka akan berduyun-duyun kepadanya.” (Abdul Halim Jundi, al-Imam Ja’far Shadiq, hal. 327)

Baca: Metode Dakwah yang Ditempuh Imam Muhammad Jawad a.s.

Pada yang demikian itulah program-program perbaikan Imam a.s. Beliau berangkat dari serangkaian ajaran akhlak mulia yang bergemerlapan dengan kejujuran, keadilan, kebaikan bertetangga, dan ketakwaan. Dengan demikian mereka akan menjadi para pendakwah yang diam, dan menjadi penghias ajaran Ahlulbait, bukan pengotor ajaran tersebut.

Untuk itulah Imam a.s. mengulang-ulang untuk hadis berikut untuk menyeru para murid dan pengikutnya: “Jadilah kalian penyeru orang lain bukan dengan lidah-lidah kalian.” (Al-Kafi, jil. 2, hal. 105, hadis ke-10)

Karena orang yang berperilaku mulia dan berakhlak lurus akan menjadikannya teladan dan contoh, kemudian akan menjadikannya sebagai sumber inspirasi bagi orang-orang di sekitarnya. Demikian itulah yang dikatakan oleh ilmu sosial dalam menekankan peran pemberian contoh dan teladan yang terbukti memiliki kekuatan besar dalam menciptakan perbaikan.

Baca: Metode Dakwah Keluarga Imam Husain A.S.

Dan sesuai dengan nasihat Imam Ja’far Shadiq a.s. kepada murid-muridnya, terutama sekali berkenaan dengan dakwah diam, ada beberapa unsur penting yang harus terpenuhi sebagai tonggak-tonggak pondasi:

  1. Dimensi kejiwaan dimana kepribadian seorang manusia berangkat dari sana, demikian pula kualitas hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla.
  2. Dimensi moral dan sifat-sifat seorang Muslim yang ada pada seseorang.
  3. Dimensi sosial dan apa saja yang harus dimiliki dalam menjalin hubungan dengan masyarakat, seperti kebaikan bertetangga dan kejujuran dalam mengemban amanat.

Sementara itu Imam Ja’far Shadiq a.s. tidak pernah memaparkan masalah sujud yang lama dan tasbih yang banyak sebagai tolok ukur penilaian. Beliau berkata: “Janganlah kalian memandang kepada lamanya rukuk dan sujud seseorang, karena itu adalah sesuatu yang telah biasa dia lakukan. Tetapi lihatlah kejujuran ucapannya dan keteguhannya dalam menunaikan amanat.” (Al-Kafi, jil. 2, hal. 105, hadis ke-2)

Oleh sebab itu, disebutkan dalam syariat Islam, “Cintailah untuk saudara Muslimmu apa yang engkau cintai untuk dirimu.” (Al-Kafi, jil. 2, hal. 170, hadis ke-5)

Baca: Para Imam Ahlulbait dan Kondisi Zamannya

Diriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq as bahwa beliau berkata: “Mukmin itu saudara Mukmin lainnya. Dia adalah matanya dan petunjuknya. Janganlah dia mengkhianatinya, jangan menzaliminya, jangan menipunya, dan jangan berjanji kepadanya lalu tidak menepatinya.” (Al-Kafi, jil. 2, hal. 166, hadis ke-3)

Seorang pendakwah dan mubaligh haruslah memiliki itu semua agar program-program perbaikannya di tengah masyarakat mencapai kesuksesan.

Sebagai catatan dari dakwah dengan diam yang diperintahkan Imam Ja’far a.s.

  1. Ucapan Imam a.s.: Jadilah kalian juru dakwah yang diam, bukan berarti diam total, karena yang demikian itu tentu saja bertentangan dengan dakwahnya di bidang amar makruf dan nahi mungkar. Yang dimaksud adalah mewujudkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran dalam perbuatan dan pemberian contoh, teladan dan panutan.
  2. Seorang pendakwah mestilah memikul tanggung jawabnya dalam setiap keadaan, karena kewajiban melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar berlaku setiap saat. Beliau mencela orang yang hanya berpangku tangan: “Celakalah suatu kaum yang tidak menjalankan perintah Allah dalam masalah amar makruf dan nahi mungkar.” (Al-Tahdzib, jil. 6, hal. 176, hadis ke-353)
  3. Aktivitas dakwah pastilah akan menghadapi berbagai tantangan dari dalam, yang datang dari para penyusup yang berpura-pura mencintai Ahlulbait. Akan tetapi mereka ini berusaha membuat kerusakan dari dalam, di antaranya dengan mengarahkan esensi Syi’ah kepada sikap ghuluw (berlebihan).
  4. Dakwah kepada perbaikan (ishlah) menghadapi tiga kelompok manusia. Yang pertama adalah mereka yang memenuhi panggilan dakwah ini dan mendukungnya secara terang-terangan dan diam-diam. Mereka inilah Mukmin yang sebenarnya. Yang kedua adalah mereka yang memusuhi secara terbuka dan diam-diam. Mereka ini adalah para penentang dan musuh yang nyata. Sedangkan yang ketiga adalah mereka yang diam-diam mendukung Muawiyah dan berpura-pura mendukung para Imam Ahlulbait. Mereka inilah musuh dalam selimut alias kaum munafik.

*Dikutip dari buku Asad Haidar – Universitas Imam Jafar Shadiq: Pengaruhnya pada Mazhab-Mazhab Lain


No comments

LEAVE A COMMENT