Pasangan pengantin baru yang mulai perjalanannya dengan penuh cinta, kegembiraan, dan harapan untuk masa depan. Namun, di Gaza, pengalaman mereka berbeda. Saat seorang ibu biasanya mengalami momen paling indah ketika bayinya lahir, di Gaza situasinya tak terduga dan menyedihkan. Bayangkan pertemuan keluarga di mana anak-anak bermain dengan senang, sementara orang tua sibuk memasak. Saat aroma makanan mengisi udara, ibu memanggil anak-anaknya untuk makan bersama, menciptakan momen manis. Namun, di Gaza, ibu-ibu menghadapi situasi yang berbeda dengan perasaan yang berbeda pula.
Tersingkirnya Gaza dari situasi yang disebutkan di atas adalah hasil dari tindakan salah satu rezim paling kejam dalam sejarah dunia. Sejak menguasai tanah Palestina, rezim Zionis Israel telah melakukan banyak kejahatan, yang paling parah adalah genosida yang sedang berlangsung di Gaza sejak awal Oktober 2023. Dengan dalih memerangi terorisme, rezim Zionis tanpa henti melakukan genosida besar-besaran dan pengusiran warga Palestina dari Gaza. Yang paling mengkhawatirkan adalah serangan rezim Zionis terhadap perempuan dan anak-anak di Gaza. Hal ini telah menyebabkan meningkatnya pengucilan terhadap perempuan Gaza; pengucilan dari kehidupan.
Pembunuhan Perempuan oleh Rezim Zionis
Tantangan yang dihadapi oleh perempuan di Gaza jauh lebih besar dari yang disampaikan dalam cerita-cerita tersebut. Dampak serangan kejam rezim Zionis terhadap perempuan Gaza terlihat jelas ketika kita melihat jumlah korban dalam puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan jutaan. Menurut laporan Kementerian Kesehatan Palestina, lebih dari 8.200 wanita Palestina telah gugur sebagai syahid di Gaza. Setiap jamnya, dua ibu kehilangan nyawa mereka, telah menyaksikan kesyahidan lebih dari 13.000 anak-anak mereka.
Perjuangan perempuan dan anak perempuan di Gaza melebihi rasa sakit kehilangan orang yang dicintai. Lebih dari 290.000 rumah hancur, memaksa lebih dari satu juta perempuan dan anak perempuan Gaza mengungsi. Mereka tinggal di kamp-kamp pengungsian yang padat di Gaza selatan dan kota Rafah, menghadapi tantangan besar dalam hal makanan, perawatan medis, kebersihan, kesehatan mental, dan ekonomi.
Sekitar 50.000 wanita hamil tinggal di Jalur Gaza, dan lebih dari 5.500 di antaranya akan melahirkan bulan ini. Dari mereka, sekitar 840 perempuan mungkin memerlukan perawatan medis khusus untuk melahirkan, tapi karena infrastruktur kesehatan yang buruk, hampir tidak ada yang bisa mendapatkannya. Ini meningkatkan risiko bayi lahir dengan kelainan bawaan seperti cacat intelektual atau kelumpuhan. Kelahiran prematur dan bayi mati juga bisa terjadi ketika ibu tidak mendapat nutrisi dan layanan kesehatan yang memadai. Dalam situasi perang saat ini, sekitar 180 wanita melahirkan setiap hari, namun hampir tidak ada yang mendapatkan akses ke layanan kesehatan, nutrisi, atau dukungan kesejahteraan mental yang dibutuhkan. Ibu-ibu ini, dengan anak-anak mereka yang hanya memiliki sepertiga peluang untuk bertahan hidup, bahkan tidak memiliki kondisi yang diperlukan untuk merawat anak-anak mereka jika mereka berhasil bertahan.
Lebih dari 68.000 ibu di Gaza menghadapi risiko anemia dan kekurangan gizi yang parah, membuat sulit bagi mereka untuk memberikan nutrisi yang tepat bagi anak-anak mereka. Angka ini hampir sama dengan jumlah penduduk Kota Kansas di Amerika Serikat. Perempuan dan anak perempuan di Gaza menghadapi tantangan kesehatan yang sangat berat. Di kamp-kamp pengungsian, lebih dari 310.000 kasus penyakit pernapasan dan lebih dari 75.000 kasus kutu dan kudis tercatat, dengan perempuan menjadi korban utama. Kekurangan barang-barang kebersihan yang penting membuat beberapa wanita terpaksa menggunakan pil penunda haid dengan efek samping yang serius untuk mencegah menstruasi, sementara yang lain menggunakan pakaian bekas untuk menjaga kebersihan.
Pemerintah Zionis bertanggung jawab atas rata-rata lebih dari 210 kematian dan lebih dari 500 orang terluka setiap hari di Gaza. Selain itu, sejak dimulainya perang, setidaknya 3.000 wanita telah menjadi janda, dan sekarang mereka harus mengatasi tantangan untuk menghidupi diri mereka sendiri dan keluarga mereka. Semua ini terjadi di tengah-tengah ekonomi Gaza yang lemah, dengan masalah pengangguran yang signifikan bahkan sebelum peristiwa ini terjadi. Meskipun demikian, wanita-wanita di Gaza menunjukkan ketangguhan di bawah tekanan psikologis dan emosional yang besar akibat kekejaman Zionis, menimbulkan keingintahuan dunia tentang alasan di balik perlawanan mereka yang teguh. Namun, dampak emosional tragedi semacam itu terhadap perempuan dan anak-anak perempuan di kota itu tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Perempuan Gaza Dikucilkan sebagai Perempuan
Pernyataan “Ketidaksetaraan atau penderitaan apa pun adalah salah” dan “Setiap [anak perempuan] sudah menjadi pribadi yang unik dan berharga saat ia dilahirkan” adalah prinsip kesetaraan dan nilai kemanusiaan yang universal. Namun, ketika kita melihat situasi perempuan di Gaza, terlihat kesenjangan yang mencolok antara prinsip-prinsip ini dan kenyataan yang dihadapi perempuan di sana.
Gloria Steinem, seorang pemimpin feminisme yang berpengaruh, yang telah lama berjuang untuk hak-hak perempuan, tidak secara aktif mendukung perempuan di Gaza meskipun mengadvokasi hak-hak perempuan secara global. Bahkan, sekutu feminisnya juga terlihat mengabaikan isu perempuan Gaza, tanpa mengakui sifat penjajah yang melekat pada rezim Zionis. Ini tercermin dalam kurangnya perhatian terhadap isu perempuan Palestina di media sosial dan dalam pernyataan resmi dari tokoh-tokoh feminis.
Kenyataannya, hanya sedikit upaya yang dilakukan untuk mengatasi penderitaan perempuan di Gaza, sementara perhatian lebih banyak diberikan pada isu-isu lain atau bahkan untuk mengkritik para aktivis yang mendukung perempuan Palestina. Ini menunjukkan ketidakseimbangan dalam perjuangan kesetaraan dan keadilan global, di mana isu-isu tertentu diabaikan atau dianggap kurang penting.
Diskriminasi yang Ditargetkan
Pemerintah Barat dan gerakan hak-hak perempuan sering terlibat dalam advokasi hak-hak perempuan di negara-negara seperti Iran, Afganistan, dan Irak, menggunakan tekanan politik, ekonomi, dan militer. Mereka mendapat penghargaan dan dukungan yang signifikan untuk upaya mereka. Namun, mengapa perempuan di Gaza tidak mendapatkan dukungan serupa? Pengucilan mereka dari para politisi dan aktivis hak-hak perempuan Barat menimbulkan pertanyaan penting: Apakah kita bisa menganggap diskriminasi ini sebagai kecenderungan ideologi-politik dalam mendukung hak-hak perempuan secara global?
Ayatullah Khamenei menyebut dukungan Barat terhadap hak asasi manusia sebagai pembohongan, mengingat kebijakan-kebijakan mereka yang terkadang bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia. Ini menimbulkan pertanyaan tentang keseriusan mereka dalam mendukung hak-hak perempuan di Gaza dan negara-negara lain yang mungkin diabaikan oleh kepentingan politik dan ekonomi Barat.
Sumber: Khamenei.ir