Apa yang dapat dimengerti dari ungkapan “lebih luas daripada langit dan bumi” ialah satu di antara dua hal yang sama benarnya sebagai berikut;
Pertama, Allah SWT membekali manusia dengan kemampuan untuk berbuat atau tidak berbuat, dan mencurahkan kepadanya kemampuan demikian pada pada setiap saat. Manusia kemudian menggunakan kemampuan yang dibekalkan Allah SWT kepadanya itu bahkan ketika dia berbuat ataupun tidak berbuat. (Baca sebelumnya: Tawakkal-2)
Kedua, perbuatan manusia tersandar pada Allah SWT sesuai teori emanasi, yakni memancar dan mengalir dariNya, sehingga tidak berkontradiksi dengan ikhtiar.
- Riwayat yang juga berasal dari Yunus dari beberapa perawi lain bahwa seseorang berkata kepada Imam Ja’far al-Shadiq as; “Biarlah aku menjadi tebusanmu, apakah Allah SWT memaksa hamba-hambaNya untuk berbuat maksiat?” Imam menjawab;
الله أعدل من أن يجبرهم على المعاصي ثُمّ يعذّبهم عليها.
“Allah SWT terlampau adil untuk memaksa mereka bermaksiat kemudian mengazab mereka.”
Orang itu berkata lagi. “Biarlah aku menjadi tebusanmu, apakah lantas Allah SWT melimpahkan kepada hamba-hambaNya?” Imam menjawab;
لو فوّض إليهم لم يحصرهم بالأمر والنهي.
“Seandainya Allah SWT melimpahkan kepada mereka maka Dia tidak akan mengitari mereka dengan perintah dan larangan?”
Orang itu berkata lagi, “Lantas apakah ada posisi lain di antara keduanya?” Imam menjawab;
نعم، أوسع ما بين السماء والأرض.
“Ya, lebih luas dari antara langit dan bumi.”[1]
- Riwayat dari Sahl bin Ziyad dan Ishaq bin Muhammad dan lain-lain yang dimarfu’kan bahwa suatu hari ketika Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berada di Kufah seusai Perang Shiffin seorang lelaki tua berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, beritahukan kepada kami mengenai perjalanan kita menuju penduduk Syam, apakah karena ketetapan dan takdir (qadha’ dan qadar) dari Allah?” Beliau berkata;
أجل يا شيخ، ما علوتم تلعة، ولا هبطتم بطن واد إلاّ بقضاء من الله وقدر.
“Ya, wahai Syeikh, kami tidaklah menaiki suatu ketinggian dan tidaklah turun ke perut lembah kecuali dengan qadha dan qadar dari Allah.”
Orang itu berkata, “Lantas apakah aku melimpahkan jerih payahku kepada Allah, wahai Amirul Mukminin?” Beliau menjawab;
مَهْ يا شيخ ! فوالله لقد عظَّم الله الأجر في مسيركم وأنتم سائرون، وفي مقامكم وأنتم مقيمون، وفي منصرفكم وأنتم منصرفون، ولم تكونوا في شيء من حالاتكم مكرهين ولا إليه مضطرين.
“Cukuplah, wahai Syeikh. Demi Allah, sungguh Allah telah melimpahkan pahala dalam perjalanan kalian dan kalianpun berjalan, dan di pesinggahan kalian dan kalianpun singgah, dan di saat kamu kembali (dari perang) dan kalianpun kembali. Dan dalam keadaan apapun kalian tidak terpaksa.”
Lelaki tua itu menyoal, “Bagaimana mungkin kita tidak terpaksa sedangkan kepergian, keberdiaman, dan kembalinya kita bergantung pada qadha’ dan qadarnya?” Imam menjelaskan;
وتظنّ أ نّه كان قضاءً حتماً وقدراً لازماً ؟ إنّه لو كان كذلك لبطل الثواب والعقاب، والأمر والنهي والزجر من الله، وسقط معنى الوعد والوعيد، فلم تكن لائمة للمذنب، ولا محمدة للمحسن، ولكان المذنب أولى بالإحسان من المحسن، ولكان المحسن أولى بالعقوبة من المذنب. تلك مقالة إخوان عبدة الأوثان، وخصماء الرحمان، وحزب الشيطان، وقدرية هذه الأُمّة ومجوسها. إن الله ـ تبارك وتعالى ـ كلّف تخييراً، ونهى تحذيراً، وأعطى على القليل كثيراً، ولم يُعصَ مغلوباً، ولم يطع مكرهاً، ولم يملّك مفوّضاً، ولم يخلق السماوات والأرض وما بينهما باطلاً، ولم يبعث النبيين مبشرين ومنذرين عبثاً. ذلك ظنّ الذين كفروا فويل للذين كفروا من النار.
“Apakah kamu mengira qadha’ itu pasti dan qadar itu mengikat? Sungguh jika demikian maka sia-sialah pahala dan siksa, perintah dan larangan serta pencegahan (ancaman) dari Allah, gugurlah makna janji dan ancaman, sehingga tak patut lagi celaan bagi pendosa maupun pujian bagi orang baik. Pendosa bahkan akan lebih utama daripada orang baik untuk mendapat perlakuan baik, dan orang baik lebih utama daripada pendosa untuk mendapatkan siksa. Itu adalah keyakinan kaum penyembah berhala, musuh Sang Maha Pengasih, golongan syaitan, dan merupakan kaum Qadariah dan Majusi yang ada di tengah umat (Islam) ini. (Baca: Zikir Pemberi Syafaat)
“Sungguh Allah SWT telah membeban kewajiban disertai ikhtiar, menetapkan larangan disertai peringatan, melimpahkan pahala untuk amalan yang sedikit. Dia didurhakai bukan karena keterkalahan, ditaati bukan dengan pemaksaan, tidak berkuasa dengan pelimpahan, tidak menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah, dan tidak mengutus para nabi pembawa kabar gembira dan peringatan dengan sia-sia. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.”[2]
(Bersambung)
[1] Al-Kafi, jilid 1, hal. 159, Bab al-Jabr wa al-Qadr wa al-Amru Baina al-Amrain, Hadis 11.
[2] Al-Kafi, jilid 1, hal. 155 – 156, Bab al-Jabr wa al-Qadr wa al-Amru Baina al-Amrain, Hadis 1.
Baca selanjutnya: Tawakkal (4)
جويرية | 1 November 2017
|
أهنئك على السرد الجميل
admin | 26 February 2018
|
شكرا اختي، فمن فضلك الإشتراك لموقع شبكتنا
خليدة | 1 November 2017
|
أعجبت بطريقة كتابتك للموضوع
admin | 26 February 2018
|
شكرا اختي، فمن فضلك الإشتراك لموقع شبكتنا