Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Tetangga… Oh Tetangga…

TetanggaBu Khadijah, begitulah warga desa memanggilnya, setiap harinya, setelah salat tahajud bergegas menuju ladangnya guna memilih sayur yang layak untuk dijual ke pasar.

Ketika azan subuh terdengar, ia segera pulang ke rumah untuk melaksanakan salat subuh. Selesai salat, ia mengikat sayur-sayur itu di sepedanya kemudian menuju ke pasar. Begitulah Bu Khadijah menjalani hidupnya sehari-hari.

Bu Zahra, tetangganya sangat prihatin terhadap kondisi Bu Khadijah. Bu Zahra berfikir, sayur yang dijual Bu Khadijah sangat sedikit, bagaimana mungkin dia bisa menghidupi lima orang anaknya dari berjualan sayur-sayuran itu. Oleh karena itu, Bu Zahra sangat ingin membantu, namun Bu Khadijah orang yang tidak suka menerima bantuan orang lain begitu saja. Dia berpikir bahwa dirinya masih bisa bekerja dan meminta-minta adalah perbuatan yang hina. (Baca: Menjaga Hubungan Baik dengan Tetangga)

Suatu hari, Bu Zahra menawarkan bantuan, “Jika kamu tidak mau menerima bantuan dariku, aku akan memberimu uang sebagai pinjaman. Jika kondisi ekonomimu sudah membaik, kamu bisa mengembalikannya kepadaku.”

Bu Khadijah tersenyum dan berkata, “Kamu ingin membantuku atau menyakitiku?”

Bu Zahra heran dengan jawaban Bu Khadijah dan berkata, “Aku ingin menyakitimu? Tidak, sama sekali tidak pernah terlintas dalam benakku untuk menyakitimu. Demi Allah! Aku ingin membantumu. Kamu adalah tetanggaku dan sudah sepantasnya aku menolongmu.’’

“Jika kamu berniat membantuku, kenapa kamu ingin memberi beban yang harus aku pikul?” timpal Bu Khadijah.

“Maksudmu? Aku tidak ingin membebanimu,” kata Bu Zahra.

Bu Khadijah melanjutkan, “Bukankah hutang itu merupakan kesumpekan sebagaimana sabda Imam Ali bin Abi Talib a.s.? Apakah kamu ingin aku memikul beban hutang ditambah beban dunia ini? Tidak, wahai Bu Zahra, Allah pasti memberi jalan keluar.” (Baca: Doa untuk Para Tetangga)

Setibanya di rumah, Bu Zahra masih memikirkan nasib Bu Khadijah. Tiba-tiba dia mendapatkan ide untuk membantunya.

Esok harinya pagi-pagi sekali, Bu Zahra keluar rumah menuju ke pasar untuk menemui sahabatnya, Bu Zainab yang memiliki toko barang antik. Setelah mengucap salam dan berbincang-bincang dengan Bu Zainab, Bu Zahra langsung mengajak Bu Zainab ke rumah Bu Khadijah.

Bu Zainab bertanya, “Kenapa kamu ingin aku menemanimu ke rumah Bu Khadijah, sementara kamu tahu bahwa aku tidak kenal akrab dengannya?”

“Aku ingin meminta bantuanmu untuk membeli teko yang ada di rumah Bu Khadijah dengan harga 10 juta rupiah,” jawab Bu Zahra.

Bu Zainab berkata, “Kenapa tidak kamu sendiri saja yang membelinya?”

Bu Zahra menjelaskan, “Bu Khadijah orang yang memiliki harga diri tinggi. Setiap aku tawarkan bantuan, dia menolaknya. Pernah aku ingin membeli teko itu, namun dia malah ingin memberikannya cuma-cuma.” (Baca: Menghilangkan Pola Komunikasi Buruk)

Sore harinya, Bu Zainab dan Bu Zahra datang ke rumah Bu Khadijah. Bu Zainab melihat rumah Bu Khadijah sangat sederhana. Saat mereka berdua sampai di depan pintu rumah Bu Khadijah, Bu Zahra mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Bu Khadijah membalas salam dan mempersilahkan mereka berdua masuk. Setelah mereka berdua masuk dan duduk, Bu Khadijah membawakan teh.

Bu Zahra langsung memberikan isyarat kepada Bu Zainab ke arah teko yang disuguhkan Bu Khadijah. Bu Zainab berbisik kepada Bu Zahra, “Apakah teko itu yang kamu maksudkan?”

“Ya, teko itulah yang aku ceritakan,” jawab Bu Zahra.

Bu Zainab bertanya keheranan, “Namun teko itu benda biasa, bukan barang antik. Harganya paling mahal cuma 10 ribu, bukan 10 juta.”

Bu Zahra memberikan isyarat kepada Bu Zainab bahwa teko itu adalah benda antik yang dicari. Bu Zahra ingin supaya Bu Zainab memulai pembicaraan tentang teko tersebut. (Baca: Kemanusiaan Dulu Keyakinan Kemudian)

Setelah Bu Khadijah duduk menemui tamunya, Bu Zainab memulai pembicaraan.

“Oh… teko apa ini? Sungguh bagus dan antik!” seru Bu Zainab.

Sambil menunjuk ke arah teko, Bu Khadijah menyahut, “Ini… teko ini maksudmu?”

Bu Zainab memegang teko dan menunjukkan kekagumannya, “Benda seperti ini yang aku cari. Aku ingin membelinya dengan harga yang pantas.”

Bu Khadijah menjawab, “Kenapa kamu ingin membelinya? Ambil saja sebagai hadiah dariku.”

“Teko ini barang antik dan pantas dihargai puluhan juta. Aku ingin menjualnya kembali. Oleh karena itu, aku tidak ingin menerimanya sebagai hadiah. Jika kamu ingin membantuku, biarkan aku membelinya darimu,” kata Bu Zainab.

Bu Khadijah akhirnya berkata, “Baiklah, belilah dengan 10 ribu dan ambillah.”

Bu Zainab menimpal, “Apa yang kamu katakan, wahai teman? Teko ini sangat berharga. Kamu tahu berapa harganya? Paling tidak 10 jutaan. Aku akan membayarnya 10 juta.” (Baca: Ma’rifatullah Asas Kemanusiaan)

Bu Khadijah tetap bertahan, “Aku tidak ingin kamu rugi. Aku tahu tekoku ini tidak berharga.”

Sambil mengeluarkan uang 10 juta, Bu Zainab berkata, “Ini 10 juta, aku bayar teko itu.”

Setelah berhasil membelinya, Bu Zainab dan Bu Zahra pamit. Di luar rumah, Bu Zainab memberikan teko itu kepada Bu Zahra sambil berkata, “Ambillah teko ini dan jelaskan kepadaku apa maksud dari semua ini? Kamu berani membeli teko ini 10 juta, padahal di pasar harganya paling mahal 10 ribu!”

Bu Zahra menjelaskan, “Aku tahu harga teko itu tidak sampai 10 juta. Bu Khadijah adalah tetanggaku. Dia tidak pernah mau menerima bantuanku, sementara aku tahu, dia sangat membutuhkan uang untuk modal dan kehidupannya sehari-hari. Dengan cara ini aku bisa membantunya tanpa dia merasa terhina.”

Beginilah seharusnya hidup bertetangga…!

Berkenaan dengan hak-hak tetangga, Nabi saw. bersabda:

Jika ia (tetanggamu) meminta bantuan, bantulah. Jika meminjam uang, pinjamilah. Jika membutuhkan, penuhilah kebutuhannya. Jika tertimpa musibah, kuatkanlah hatinya (jadilah pelipur laranya). Jika menerima kebaikan, ucapkanlah selamat. Jika sakit, jenguklah…

[*]

Baca Sehari Satu Ayat: Tetangga

No comments

LEAVE A COMMENT